Jakarta- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah saling melempar tanggung jawab terkait kelanjutan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Senayan mengaku menunggu surat presiden (surpres) mengenai RUU HIP sementara pemerintah mengklaim telah mengembalikan masalah ini kepada DPR sebagai inisiator.
"Jangan saling ngeles," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie kepada Tagar, Jakarta, Senin, 29 Juni 2020.
Jangan saling ngeles
Menurut Jimly, Senayan dan Istana tak perlu menyikapi polemik RUU HIP terlalu formalistik. Meskipun DPR inisiatornya, kata dia, pemerintah juga dapat berinisiatif untuk menghentikan pembahasan RUU HIP.
"Harus ada komunikasi politik, bagaimanapun pemimpin di suatu negara itu ialah eksekutif," ujar mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini.
Presiden Jokowi, misalnya, dapat memanggil pimpinan DPR ke Istana. Kedua pimpinan lembaga berunding bersama dalam rangka menindaklanjuti aspirasi masyarakat terkait RUU HIP yang mengundang banyak kritik dan penolakan.
"DPR dan pemerintah duduk bersama dan dapat memutuskan bersama," ucapnya.
Presiden juga dapat mengundang para pimpinan partai ke Istana. Fenomena yang sebetulnya sudah sering dilakukan oleh Jokowi selama berkuasa.
"Jadi Presiden ambil inisiatif , berunding dengan partai koalisi," ujarnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah ormas Islam lain menegaskan RUU HIP harus dicabut dari program legislasi nasional (Prolegnas). Pada 26 Juni 2020, sejumlah ormas tergabung dalam Aliansi Antikomunis menggelar demonstrasi menolak RUU HIP di kompleks DPR.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyatakan secara lisan pemerintah pun menolak RUU HIP. Ia lalu menyerahkan DPR sebagai inisiator untuk ditindaklanjuti.
"Jadi sudah dikembalikan ke DPR untuk dibahas," katanya.
Sementara Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Fraksi Partai NasDem Willy Aditya mengatakan RUU HIP tidak bisa langsung dikeluarkan dari Prolegnas prioritas 2020. Ia mengatakan, nasib pembahasan RUU HIP kini berada di tangan pemerintah.
"DPR sudah ada aturannya, jika RUU sudah diambil keputusan di Rapat Paripurna maka untuk membatalkannya harus di paripurna. Lalu saat ini RUU HIP sudah masuk ranah pemerintah maka tunggu pemerintah karena saat ini domainnya bukan di DPR," kata Willy di Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly sudah menjelaskan bahwa pemerintah punya waktu 60 hari kerja setelah DPR mengirimkan RUU HIP. Menurut Willy, sebelum batas waktu itu, pemerintah akan mengeluarkan Surat Presiden (surpres), isinya bisa membatalkan atau menindaklanjuti RUU HIP.
"Sebelum batas waktu itu pemerintah akan kirimkan Surpres, bisa membatalkan, bisa tindaklanjuti, bahkan Surpres tanpa Daftar Inventarisir Masalah (DIM) pun tidak bisa dibahas," ujarnya. []
Baca juga: