Jakarta - Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean menilai aksi demonstrasi Persaudaraan Alumni (PA 212) bersama dua organisasi kompatriot mereka yang tergabung dalam Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK) NKRI: Front Pembela Islam (FPI), dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, hanya menumpang isu tolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.
Ferdinand mengatakan, sesungguhnya aksi demonstrasi sah-sah saja dilakukan oleh pihak manapun. Namun, dia berharap para pengunjuk rasa dapat memahami apa yang ingin disuarakan, tak serta merta ingin menyerang Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan pemerintahan.
Ujung-ujungnya teriaknya PKI, teriaknya Jokowi mundur. Hahaha ini demo yang ngga jelas
"Tapi kalau demo yang dilakukan dengan dasar sesuatu yang tidak dipahami secara jelas apalagi hanya mau menunggangi isu yang semata tujuannya tak lain hanya mau menyerang pemerintah khususnya Jokowi sebagai presiden, ya tak luculah," kata Ferdinand kepada Tagar, Selasa, 13 Oktober 2020.
Lantas, dia meminta supaya organisasi masyarakat (ormas) itu tak hanya menumpang isu, dan membuat keonaran atas persoalan yang sedang ramai diperbincangkan di Tanah Air.
"Demo silahkan tapi dengan alasan yang original bukan menumpang isu pihak lain untuk tujuan yang sesungguhnya tak sama dengan yang didemokan," ujarnya.
Dia berpandangan, aksi demonstrasi tanpa mengerti konteks yang akhirnya teriak turunkan Presiden Jokowi merupakan unjuk rasa yang tidak jelas.
"Hanya mau menyerang pemerintah, basisnya kebencian dan ketidaksukaan. Ujung-ujungnya teriaknya PKI, teriaknya Jokowi mundur. Hahaha ini demo yang ngga jelas," ucap Ferdinand.
Sebelumnya, Pengamat Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta mengatakan sangat mudah mengetahui tujuan aksi demonstrasi PA 212 bersama dua organisasi kompatriot mereka yang tergabung dalam Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK) NKRI: Front Pembela Islam (FPI), dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama.
Unjuk rasa oleh PA 212 dkk kali ini bertujuan untuk menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang bertajuk ‘Aksi 1310’ pada hari Selasa, 13 Oktober 2020.
Stanislaus mengatakan, unjuk rasa adalah hak konstitusi setiap warga negara, yang tentunya dijamin oleh Undang-Undang. Namun, kata dia, atas hak itu juga melekat suatu kewajiban untuk taat pada aturan yang berlaku di Indonesia.
"Ada batasan waktu, tidak boleh melakukan perusakan dan aturan lain. Jika isu yang diusung unjuk rasa tersebut memang murni terkait UU Cipta Kerja itu sah-sah saja. Namun jika isu berkembang menjadi provokatif rasis, apalagi menjurus kepada ajakan untuk menurunkan Presiden tentu hal tersebut sudah tidak benar," kata dia dihubungi Tagar, Senin, 12 Oktober 2020.
Dia berpendapat, jika dalam aksi ada narasi dengan teriakan turunkan presiden, maka itu merupakan penumpang gelap dalam isu UU Ciptaker yang hendak memperkeruh suasana.
Harapan Stanislaus, para pengunjuk rasa maupun aparat keamanan yang ada di lokasi dapat mengantisipasi adanya provokator dengan narasi turunkan presiden.
- Baca juga: Ruhut Sitompul Sarankan PA 212 dan FPI Balik Badan
- Baca juga: Cara Mengetahui Tujuan Demo PA 212 dkk Selain Tolak Ciptaker
"Jika nanti pada unjuk rasa ada suara-suara untuk menurunkan presiden maka kelompok pelaku adalah penumpang gelap pada isu UU Cipta Kerja yang mempunyai tujuan politik kekuasaan. Ini harus diwaspadai, jangan sampai unjuk rasa ditunggangi oleh kelompok politik praktis yang tujuannya kekuasaan," ujar Stanislaus.[]