Untuk Indonesia

Orang-orang yang Ingin Jokowi Jatuh Tersungkur

Ada narasi kolektif di tengah situasi sulit pandemi corona, beramai-ramai merujuk pada ide pemakzulan Presiden Jokowi. Siapa saja orang-orang itu?
Presiden Jokowi beraktivitas dengan memakai masker dan menjaga jarak fisik atau physical distancing pada masa pandemi Covid-19. (Foto: Facebook/Presiden Joko Widodo)

Oleh: Ade Armando*

Barangkali Anda juga sudah dengar Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah mengajukan somasi kepada saya agar saya meminta maaf kepada Muhammadiyah dan Prof. Dr. Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum Muhammadiyah atas tuduhan bahwa saya sudah mencemarkan nama baik dan memfitnah Muhammadiyah dan Pak Din Syamsuddin.

Kepada Muhammadiyah saya sudah meminta maaf melalu Facebook, tapi kalau kepada Pak Din Syamsuddin saya rasa saya menolak untuk meminta maaf kepada beliau.

Konteksnya begini, jadi yang dipersoalkan adalah sebuah status Facebook saya pada 1 Juni 2020. Ketika itu saya mengomentari web seminar yang diselenggarakan sebua organisasi bernama Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama).

Maaf saya sebut itu karena memang kalangan kadrun ini seperti belum kunjung juga bisa menerima kenyataan bahwa Presiden Jokowi itu adalah Presiden Indonesia sampai 2024, maka mereka terus mempersoalkan pemakzulan presiden itu.

Walaupun saya harus katakan yang mengangkat isu ini bukan hanya mereka, ada juga yang lain. Tapi yang paling utama adalah kalangan kadrun ini. Maka karena itulah pada tanggal 1 Juni di Facebook saya menulis, "Isu pemakzulan Presiden digulirkan Muhammadiyah. Keynote Speaker-nya Din Syamsuddin, si dungu yang bilang konser virtual corona menunjukkan pemerintah bergembira di atas penderitaan rakyat."

Kenapa saya bilang begitu? Pertama, kenapa saya sebut Muhammadiyah? Jawaban saya sederhana, karena memang organisasinya menggunakan nama Muhammadiyah. Mahutama itu 'ma'-nya Muhammadiyah, kalau saja penyelenggaranya NU, saya sebut Mahutanu dan akan saya sebut bahwa isu pemakzulan presiden bergulir dari NU.

Tapi ini kan kenyataannya tidak bergulir dari organisasi lain, tapi dari Muhammadiyah. Karena itulah saya katakan isu pemakzulan presiden bergulir dari Muhammadiyah.

Kontroversi Din Syamsuddin

Kemudian, menurut saya menjadi penting kenapa nama Din Syamsuddin saya sebut, karena dia adalah Keynote Speaker, pembicara utama jadinya. Ada delapan orang lain, tapi pembicara utamanya adalah Din Syamsuddin.

Masalahnya menurut saya, Din Syamsuddin ini adalah orang yang bermasalah. Yang saya sebut dungu itu konteksnya begini, kalau Anda ingat tanggal 17 Mei 2020 itu ada sebuah konser virtual oleh Bimbo dan kawan-kawan yang tujuannya menggalang dana untuk membantu korban corona. Penyelenggaranya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Ada narasi kolektif, beramai-ramai yang memang merujuk pada ide pemakzulan presiden.

Webinar Din SyamsuddinWebinar dengan pembicara utama Din Syamsuddin, berjudul Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19. (Foto: Istimewa)

Menurut Din Syamsuddin, acara penggalangan dana untuk korban corona itu adalah semacam bukti bahwa pemerintah bergembira di atas penderitaan rakyat. Ini kan tidak masuk di akal, dan jahat jadinya.

Orang mengumpulkan dana untuk korban, kok disebut bergembira di atas penderitaan rakyat? Itulah yang saya sebut sebagai dungu. Tapi buat saya ini menunjukkan bahwa dia itu memang anti-pemerintah.

Jadi, saya mulai menduga-duga bahwa acara itu sebetulnya salah satu tujuannya adalah memang menggulirkan isu pemakzulan, dan ini kan ada konteksnya. Sebelum ini pun sudah ada webinar lain tentang pemakzulan presiden yang terkenal itu yang di UGM oleh Constitutional Law Society pada 29 Mei 2020.

Kalau Anda ingat, itu juga webinar yang bicara tentang persoalan pemecatan presiden di tengah pandemi. Itu ramai karena kemudian acara tersebut gagal dijalankan karena adanya ancaman demi ancaman terhadap panitia, bahkan keluarga panitia, bahkan ancamannya bisa sampai berbentuk pembunuhan.

Itu akhirnya dibatalkan walaupun kita akhirnya tidak pernah tahu siapa yang mengancam tersebut. Karena ancaman-ancaman tersebut datang melalui WhatsApp yang tidak bisa dilacak siapa pemiliknya. Karena ternyata menurut polisi, WA-WA tersebut adalah WA-WA bodong. WA-WA yang tidak didaftarkan, padahal kewajibannya nomor WA itu harus didaftarkan, tapi ini tidak. Jadi, tidak bisa dilacak.

Seminar Pemecatan PresidenSeminar bertema Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan. Seminar lewat konferensi video Zoom direncanakan Jumat, 29 Mei 2020. (Foto: Bagas Pujilaksono)

Syahganda Nainggolan, Profesor Suteki

Tapi lebih jauh dari itu, dari webinar di UGM ini, sebetulnya isu pemakzulan presiden, seperti saya katakan, sudah sering terdengar, terutama di kalangan tertentu itu. 

Misalnya saja Februari 2020, Syahganda Nainggolan mengatakan Jokowi akan jatuh enam bulan lagi. Syahganda ini memang datang dari kubu anti-Jokowi. 

Kemudian ada Profesor Suteki dari Universitas Diponegoro. Dalam sebuah webinar mengenai corona juga mengatakan, "Jika Presiden tidak mampu dan tidak dipercaya, sebaiknya mundur."

Kontroversi Rocky Gerung

Kemudian ada Rocky Gerung yang mengatakan Indonesia ini seperti kapal karam sekarang ini. Siap-siap melompat. Itu ada di YouTube, sampai sekarang Anda bisa melihat videonya. Atau ada anggota Ombudsman, Ahmad Alamsya Saragih namanya, yang di sosial medianya juga menulis, "What new normal needs is new government."

Jadi, ada narasi kolektif, beramai-ramai yang memang merujuk pada ide pemakzulan presiden.

Belum lagi beragam meme, lucu-lucuan, menghina, melecehkan Presiden Jokowi sebagai orang yang tidak punya kapasitas untuk memimpin dan sebaiknya diganti saja. Indonesia seperti sebuah menara yang sudah miring, tinggal jatuh. Buat saya ini tidak masuk akal. Gugatan agar Jokowi mundur karena corona, karena pandemi.

Ini kan begini, mereka menciptakan imajinasi tentang kehancuran Indonesia. Imajinasi, khayalan, image. Kemudian mereka sebarkan, mereka percayai sendiri, dan kemudian dengan alasan kehancuran yang mereka ciptakan itu, yang mereka imajinasikan itu, mereka menuntut Jokowi untuk digulingkan.

Saya ingat pada bulan lalu ada sebuah lembaga internasional dari Amerika Serikat yang bilang Indonesia akan mengalami catastrophe, malapetaka. Ramalannya itu luar biasa menakutkan.

Menurut mereka, akhir Mei 2020 akan ada satu juta orang terkena virus corona, dan yang meninggal akan 100 ribu, akan ada urban riot, kerusuhan kota di kota-kota besar di Indonesia. Tidak terjadi, kan?

Boro-boro satu juta, dan mudah-mudahan memang tidak akan satu juta, tidak usah seratus ribu, sampai sekarang yang terkena corona di Indonesia, yang teridentifikasi baru dua puluh ribuan. Yang meninggal, jauh lebih kecil lagi. Boro-boro seratus ribu, di bawah lima ribu bahkan.

Jadi, catastrophe ini tidak terjadi. Memang penyebabnya bukan hanya karena pemerintah, karena masyarakat Indonesia beramai-ramai sebetulnya. Tapi pemerintahnya tidak bisa dong disebut gagal dalam menangani pandemi ini, dan tidak ada kehancuran ekonomi seperti yang dibayangkan tersebut.

Tapi, itu kan diulang terus, dan kata ahli propaganda Jerman namanya Goebbels, dia bilang bahwa kebohongan yang terus-menerus diulang akan diyakini sebagai kebenaran. Indonesia gagal. Indonesia gagal. Indonesia gagal. Jokowi gagal. Jokowi gagal. Harus diganti. Harus diganti. Inilah yang menjadi narasi mereka.

Masalahnya buat saya kalau ini terus diulang, yang akan terjadi juga kekalutan, orang panik, orang marah, kehilangan trust satu sama lain.

Jadi perang melawan corona kita akan diganggu narasi-narasi tentang pemakzulan-pemakzulan, gagal, kehancuran, dan seterusnya.

Ternyata Bukan Muhammadiyah

Karena itulah saya mempertanyakan webinar tersebut. Saya mengatakan, ide pemakzulan presiden ini memang digulirkan oleh Muhammadiyah, dan karena itulah Pemuda Muhammadiyah mensomasi saya, menganggap saya memfitnah Muhammadiyah, dan menghancurkan nama baik Din Syamsuddin.

Mereka menuntut saya meminta maaf di lima televisi, lima media cetak, lima media online. Tiba-tiba saja seperti kebenaran pun terungkap. Sebenarnya saya agak heran kenapa saya dianggap memfitnah Muhammadiyah karena organisasinya memang organisasi Muhammadiyah.

Ternyata sekarang terbukti bahwa itu memang bukan organisasi Muhammadiyah. Itu pencatutan nama organisasi Muhammadiyah, dan yang mengatakan ini adalah Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah yang bernama Anwar Abbas, yang dia menyesalkan penggunaan nama Muhammadiyah dalam webinar tersebut.

Ternyata organisasi itu melakukan itu tanpa sepengetahuan PP Muhammadiyah, dan Pak Anwar Abbas ini mengatakan penggunaan nama Muhammadiyah dalam webinar tersebut bisa merusak nama baik dan mempersulit posisi Muhammadiyah.

Din ternyata memang menyatakan bahwa Jokowi adalah pemerintahan diktator, sehingga memenuhi syarat untuk dimakzulkan.

Dengan kata lain, Muhammadiyah menolak dan mengatakan itu acara bukan acara mereka, dan mereka mengatakan penyelenggara tersebut sudah mencatut nama baik Muhammadiyah.

Saya harus hormati, kita semua harus hormati pernyataan Muhammadiyah itu, dan karena itulah saya meminta maaf kepada Muhammadiyah.

Jadi, kalimat bahwa pemakzulan itu digulirkan Muhammadiyah menjadi salah, karena sebetulnya memang bukan Muhammadiyah, itu oknum dalam Muhammadiyah.

Jadi, saya sudah meminta maaf kepada Muhammadiyah. Tapi kepada Pak Din, tidak akan saya meminta maaf, karena Pak Din ini memang menyatakan ungkapan-ungkapan, pernyataan-pernyataan yang kontroversial.

Apa maksudnya ketika dia bilang bahwa pemerintah bergembira karena menyelenggarakan acara penggalangan dana melalui konser virtual tersebut. Itu logikanya di mana? Itu buat saya tetap dungu sampai sekarang, dan sekarang pun kecurigaan saya kepada Pak Din menjadi semakin menguat gara-gara webinar tersebut.

Dalam webinar yang mencatut nama Muhammadiyah itu, Din ternyata memang menyatakan bahwa Jokowi adalah pemerintahan diktator, sehingga memenuhi syarat untuk dimakzulkan. Din bahkan meminta masyarakat tidak segan melawan kepemimpinan yang zalim, apalagi jika melanggar konstitusi.

Din tidak bilang harus melawan pemerintahan Jokowi, tapi logika yang dia gunakan adalah, satu, pemerintah Indonesia sudah menjadi pemerintah diktator, memenuhi syarat untuk dimakzulkan, dan dia mengatakan masyarakat tidak boleh segan melawan pemerintah yang memang melanggar konstitusi.

Jadi menurut saya, saya tidak perlu meminta maaf kepada Din. Bolehkah Din menganggap bahwa pemerintah Jokowi layak dimakzulkan? Ya, boleh. Dalam demokrasi, itu memang diizinkan. Tapi pada saat yang sama dalam demokrasi saya juga diizinkan mengatakan bahwa pendapat Pak Din itu ngaco atau dungu.

Jadi, silakan Pak Din menjelek-jelekkan pemerintah Indonesia, menjelek-jelekkan Jokowi, tapi saya juga punya hak mengatakan pendapat itu dungu.

Karena menurut saya memang segala macam narasi pemakzulan ini membahayakan Indonesia dan merusak suasana perlawanan terhadap corona.

Saya sarankan kita semua jaga terus akal sehat kita, jangan biarkan provokasi, kebencian semacam ini terus tumbuh, kita lawan dengan akal sehat. Gunakan akal sehat agar negara ini selamat. 

*Dosen di Universitas Indonesia

Baca juga:

Berita terkait
UGM: Seminar Pemecatan Presiden Jokowi, Diskusi Ilmiah
Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto mengatakan seminar online Pemecatan Presiden Jokowi adalah diskusi ilmiah. Diskusi batal dan diteror.
Seminar Pemecatan Jokowi, Guru Besar UII Mengaku Diteror
Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta Profesor Nimatul Huda mengaku diteror karena menjadi pembicara dalam seminar Pemecatan Jokowi.
Mengutuk Teror Terhadap Warga UGM dan UII Yogyakarta
Saya mengutuk keras peristiwa teror yang menimpa mahasiswa UGM dan keluarga, juga narasumber seminar Pemecatan Presiden dari UII Yogyakarta.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.