Untuk Indonesia

Opini: UU Kesehatan Masih Diskriminatif

Ternyata semangat perlindungan yang dibangun dalam UU Kesehatan masih diskriminatif terhadap para tenaga medis dan tenaga Kesehatan.
Ilustrasi. Opini: UU Kesehatan Masih Diskriminatif. (Foto: Tagar/ Pexels - Dominika Roseclay)

Oleh: Timboel Siregar, Koordinator BPJS Watch

Kehadiran Undang-undang (UU) Kesehatan yang disahkan kemarin, dengan 6 pilar transformasi layanan kesehatan yang salah satunya adalah Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan, diyakini Pemerintah dan DPR akan memberikan kesejahteraan dan perlindungan lebih bagi SDM Kesehatan. Kesejahteraan dan perlindungan SDM menjadi hal yang penting untuk mendukung pelayanan Kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Mengacu pada Pasal 197, SDM Kesehatan terdiri atas Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan; dan tenaga pendukung atau penunjang Kesehatan. Tenaga Medis dikelompokkan ke dalam dokter; dan dokter gigi, dan Jenis Tenaga Medis dokter terdiri atas dokter, dokter spesialis, dan dokter subspesialis.

Adapun Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis, tenaga teknik biomedika, tenaga kesehatan tradisional; dan Tenaga Kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 217 ayat (1) menyatakan Tenaga Medis yang telah menyelesaikan program internsip dapat melanjutkan pendidikan ke program spesialis. Dan pada ayat (2)nya mengatakan Tenaga Medis yang telah menyelesaikan program spesialis dapat melanjutkan pendidikan ke program subspesialis. Demikian juga Pasal 218 mengatur hal yang sama bagi Tenaga Kesehatan dapat melanjutkan pendidikan ke program spesialis.

Tenaga medis pada program spesialis/subspesialis dan Tenaga Kesehatan pada program spesialis sebagai peserta didik didayagunakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam pemberian Pelayanan Kesehatan sebagai bagian proses pendidikan.


Saya berharap Pemerintah memiliki niat baik untuk tetap mewajibkan peserta didik didaftarkan ke Program JKK dan JKm ke BPJS Ketenagakerjaan, yang akan diatur di regulasi operasional.


Sebagai peserta didik, Pasal 219 ayat (1) mengamanatkan mereka berhak atas memperoleh bantuan hukum dalam hal terjadinya sengketa medik selama mengikuti proses pendidikan; memperoleh waktu istirahat; mendapatkan jaminan kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; mendapat pelindungan dari kekerasan fisik, mental, dan perundungan; dan mendapat imbalan jasa pelayanan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai dengan Pelayanan Kesehatan yang dilakukan.

Membaca Pasal 219 ayat (1) tersebut, seharusnya peserta didik mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan juga, tidak hanya jaminan sosial kesehatan, paling tidak program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm).

Walaupun disebut sebagai peserta didik yang memberikan pelayanan Kesehatan sebagai bagian proses pendidikan, faktanya mereka bekerja melayani pasien yang dalam proses melayani mereka juga memiliki resiko kerja di tempat kerja. Demikian juga mereka berangkat dan pulang dari rumah ke fasilitas Kesehatan pastinya memiliki resiko di jalan atau di tempat lainnya. Oleh karenanya peserta didik tersebut pun harus dijaminkan di Program JKK dan JKm yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.

Tentunya peserta didik dalam melayani pasien di faskes bekerja bersama-sama dengan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan lainnya, yang memiliki resiko kerja yang sama juga.

Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, di Pasal 273 ayat (1) huruf e, berhak mendapatkan jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, namun peserta didik hanya mendapatkan jaminan Kesehatan. Memiliki resiko yang sama tapi perlindungannya berbeda.

Sebagai pembanding lainnya, peserta pemagangan di perusahaan diwajibkan ikut Program JKK dan JKm, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan no.6 tahun 2020, yang wajib didaftarkan oleh penyelenggara pemagangan ke BPJS Ketenagakerjaan.

Peserta didik di faskes dan peserta pemagangan di perusahaan adalah subyek hukum yang sama-sama bekerja dan melakukan pendidikan/pelatihan, yang pastinya juga memiliki resiko, tapi kenapa peserta didik diposisikan lebih rendah dari peserta pemagangan dalam perlindungan di Program JKK dan JKm.

Manfaat program JKK dan JKm yang diatur dalam PP No. 82 Tahun 2019 akan secara signifikan melindungi peserta didik (dan keluarganya) ketika mereka memberikan pelayanan Kesehatan, sejak dari rumah hingga pulang ke rumah, baik manfaat kuratif, manfaat ekonomi hingga pelatihan yang semuanya difasilitasi oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Ternyata semangat perlindungan yang dibangun dalam UU Kesehatan masih diskriminatif terhadap para tenaga medis dan tenaga Kesehatan yang bekerja melayani masyarakat sebagai peserta didik.

Atas masalah ini, saya berharap Pemerintah memiliki niat baik untuk tetap mewajibkan peserta didik didaftarkan ke Program JKK dan JKm ke BPJS Ketenagakerjaan, yang akan diatur di regulasi operasional. []

Berita terkait
Presiden Jokowi Harap UU Kesehatan Bisa Mereformasi Pelayanan Kesehatan di Indonesia
Dengan adanya UU Kesehatan ini, Presiden juga berharap kekurangan tenaga kesehatan juga dapat segera dipenuhi
DPR Menyetujui Perubahan UU Kesehatan di Tengah Protes
Ratusan pekerja medis melakukan protes di luar gedung DPR Jakarta, menuntut konsultasi publik lebih lanjut mengenai reformasi
Untuk Atasi Hoax Australia Rancang UU dengan Denda Jutaan Dolar
ACMA juga meminta mereka dan pelaku media lainnya untuk mengembangkan "practice code" atau kesepakatan aturan praktik media