Oleh: Timboel Siregar
TAGAR.id, Jakarta – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang saat ini sudah disahkan sebagai inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terus menuai polemik di masyarakat. Salah satunya adalah tentang Revisi UU BPJS di RUU Kesehatan.
Pasal 7 ayat (2) UU BPJS yang mengamanatkan, BPJS bertanggung jawab langsung ke Presiden akan direvisi di RUU Kesehatan dengan ketentuan, yaitu BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan (Menkes).
Ketentuan ini didukung oleh Pasal 13 ayat (2) huruf a RUU Kesehatan yang menyatakan, BPJS melaksanakan penugasan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Dalam Undang-Undang (UU) BPJS saat ini, BPJS bertanggung jawab ke Presiden secara langsung tanpa melalui Menteri.
Selain itu juga, tidak ada ketentuan tentang BPJS melaksanakan penugasan dari Kementerian Kesehatan. Ketentuan di RUU Kesehatan tersebut akan menurunkan kewenangan BPJS, yaitu Direksi dan Dewan Pengawas BPJS.
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan amanat konstitusi tidak bisa dilaksanakan sendiri oleh BPJS Kesehatan, namun perlu dukungan dari Kementerian maupun lembaga lainnya.
Hadirnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang melibatkan melibatkan 30 Kementerian dan Lembaga (K/L) dan Pemerintahan Daerah (Pemda) memosisikan BPJS memang harus bertanggung jawab langsung ke Presiden.
Sehingga, pelaksanaan program JKN ini memiliki check and balanced system antara BPJS dan 30 K/L. Bila BPJS di bawah Menkes, maka program JKN akan terancam tidak berjalan dengan baik, yang dampaknya langsung kepada masyarakat.
Dengan pasal-pasal tersebut, maka Menteri Kesehatan berpotensi akan mengintervensi kerja-kerja BPJS. BPJS akan melaksanakan tugas-tugas Kemenkes dengan menggunakan dana masyarakat yang dikumpulkan sebagai iuran JKN. Tugas Kemenkes yang seharusnya dibiayai APBN bisa dialihkan menjadi pembiayaan dari iuran masyarakat.
Program kesehatan yang bersifat Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) yang dilakukan Kemenkes dengan pembiayaan APBN, seperti Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), bisa saja nanti diserahkan kepada program JKN untuk membiayainya. Demikian juga dengan program Kemenkes lainnya. Memosisikan tanggung jawab BPJS melalui Menteri Kesehatan merupakan celah untuk menyalahgunakan iuran JKN.
Saya kira Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menganalisis usulan revisi UU BPJS di RUU Kesehatan, khususnya Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (2) huruf a. Pasal-pasal tersebut berpotensi menjadi celah korupsi dana masyarakat yang dikumpulkan sebagai iuran JKN.
Bila hal ini terjadi, maka program JKN akan kembali berpotensi mengalami defisit, karena penggunaan iuran masyarakat yang dikumpulkan di BPJS Kesehatan digunakan untuk kepentingan Kemenkes. Bila defisit, maka akan berdampak langsung pada penurunan pelayanan kepada masyarakat.
Mengingat program JKN sudah memberikan banyak manfaat kepada rakyat Indonesia, walaupun masih ada persoalan di lapangan, seharusnya BPJS ditingkatkan kewenangannya.
Sehingga, kendala-kendala yang dihadapi di lapangan terkait pelaksanaan Inpres oleh K/L dan Pemda dapat segera dicarikan solusinya.
Presiden harus mendukung kerja-kerja BPJS Kesehatan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Masih ada K/L yang tidak serius mendukung JKN, dan oleh karenanya Presiden harus mengevaluasi K/L tersebut.
Peningkatan kualitas program JKN harus didukung oleh peningkatan kewenangan BPJS.
BPJS merupakan badan hukum publik yang mengelola dana masyarakat, harus diposisikan tetap bertanggung jawab langsung kepada Presiden tanpa melalui Menteri. []
*Timboel Siregar adalah Koordinator Advokasi BPJS Watch.
Berita terkait