Oleh: Saiful Huda Em*
TAGAR.id, Jakarta – Jika masyarakat yang melek politik ditanya, siapa politisi Indonesia yang pertama kali menyulut huru-hara konflik horizontal bernuansakan SARA, pastinya mayoritas masyarakat itu akan menjawab: Anies Baswedan.
Ya, Anies Baswedan dikenal sebagai sosok politisi yang kental dengan politik identitas, yang bila disederhanakan pengertiannya adalah suatu gerakan yang menjadikan agama, suku, ras, kelompok atau pun budaya sebagai alat untuk menunjukkan jati dirinya, dan yang digunakan untuk meraih tujuan politik kekuasaannya.
Masyarakat pun jika ditanya, bersediakah mendukung gerakan politik yang demikian, mayoritas akan menjawab tidak bersedia. Ini semua bisa kita baca dari hasil survei terbaru, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menyurvei warga Nahdliyin (NU).
Di mana mereka mayoritas lebih memilih sosok nasionalis dan toleran Ganjar Pranowo 49 persen, baru kemudian memilih Prabowo 18,6 persen, dan terakhir yang memilih Anies Baswedan hanya 14 persen, yang persentasenya jauh di bawah Ganjar Pranowo.
Nahdlatul Ulama (NU), merupakan basis massa Islam terbesar yang tidak hanya di Indonesia melainkan di dunia. Siapapun yang tidak didukung oleh NU, tidak akan pernah dapat menjadi pemimpin nasional yang kuat di Indonesia.
Meskipun demikian, masih ada saja partai-partai politik yang mau mendukung Anies Baswedan sebagai bakal Calon Presiden (Capres) Republik Indonesia 2024. Yang pertama Partai Nasdem, dan akan menyusul kemudian PKS serta Partai Demokrat.
Tak hanya itu, tanda-tanda negara Adidaya Amerika Serikat bersama sekutunya di NATO yang ekonomi dan keamanan dalam negerinya sendiri hampir sekarat pun, sepertinya mau mendukung Anies Baswedan.
Ini bukan hanya bisa dilihat saat perwakilan Kedutaan Besar USA telah datang sowan ke PKS, melainkan juga bisa dilihat dari kedatangan agen intelijen Jerman yang pernah diam-diam sowan ke markas FPI di waktu yang telah lama berlalu.
Sedangkan kita semua sudah tahu, massa pendukung andalannya Anies Baswedan itu ya kelompok atau partai semacam FPI, HTI, dan PKS.
Beruntung sekali pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah berani dan berhasil membubarkan FPI dan HTI. Tinggal selangkah lagi membubarkan PKS, sebagai sarang kawah candradimukanya pengkaderan kelompok-kelompok ekstremis, intoleran.
Pertanyaannya, kenapa meski FPI dan HTI sudah dibubarkan, mengapa gerakan intoleransi ini tak ada mati-matinya, terus saja hidup dan membuat gaduh Republik Indonesia?
Orang-orang Kristiani beribadah dipaksa bubar, gereja-gereja dilarang dibangun, dan lain-lain. Tak hanya itu, orang Muslim sendiri yang beraliran Syiah masih dimusuhi. Bahkan pernah ada kejadian di Solo, seorang habib dipukuli karena dituduh Syiah.
Kita pun bertanya, pemerintahan Jokowi ini serius tidak melawan dan menghukum gerombolan-gerombolan radikalisme intoleran tersebut. Jika serius, mengapa gerakan mereka tak ada kapok-kapoknya?
Jika Anies Baswedan merupakan antitesa karakter Jokowi yang sangat membahayakan persatuan dan kesatuan nasional, lalu kenapa saat Nasdem mendeklarasikan pencalonan Anies sebagai Capres 2024, Presiden Jokowi terlihat tidak bereaksi.
Paling tidak, harusnya Presiden Jokowi mengeluarkan seluruh menteri-menteri perwakilan Nasdem di Kabinet Indonesia Maju, namun kenapa sampai sekarang hal itu belum juga dilakukan.
Padahal seluruh pendukung Jokowi sudah memberikan hukuman dengan anjloknya suara Nasdem di berbagai survei.
Kita kembali bertanya, apakah Presiden Jokowi takut, gentar menghadapi ancaman Nasdem, jika sampai Presiden Jokowi me-reshuffle perwakilan Nasdem di Kabinet?
Bangsa ini akan celaka jika saja Presiden Jokowi tidak berani secara tegas membabat gerakan-gerakan intoleransi dan politik identitas di Indonesia.
Anies Baswedan sebagai representasi dari gerakan intoleran dan politik identitas itu, tidak boleh dibiarkan terus berpenetrasi politik dan budaya dengan sebagian ormas-ormas Islam yang masih lugu-lugu dan gagap membaca peta politik Indonesia.
Bila mereka sudah terprovokasi oleh gerakan politik identitas, mereka akan tumbuh menjamur dan susah sekali dihentikannya.
Bangsa ini jangan sampai terjebak untuk kesekian kalinya, perang saudara yang tiada guna, karenanya sebelum lidah api itu membakar punggung Nusantara.
Jauh lebih baik memblokade setiap lorong-lorong politik, agar mereka tidak mudah leluasa merebut Indonesia nantinya.
Relawan-relawan pendukung Presiden Jokowi, meskipun sebagian sudah tergerogoti oleh kekuatan seberang, masihlah banyak yang berdiri dengan tegap menanti panggilan Presiden Jokowi untuk pengamanan ring 1 politik Presiden Jokowi.
Orang-orang militan dan yang sudah terbukti terus menerus menjaga konsistensi relawan pendukung Presiden Jokowi, seperti Bang Haidar Alwi, itu kenapa tidak segera direkrut untuk menggeser para menteri yang tidak becus bekerja, terutama dari perwakilan Nasdem itu
Bukankah lebih baik bagi Presiden Jokowi untuk lebih maju dan bahagia bersama tokoh-tokoh relawan pendukungnya, daripada mundur dan nantinya hancur dikhianati lawan-lawan politiknya.
Semoga Presiden Jokowi bersedia mempertimbangkan masukan-masukan kami ini. Terima kasih. []
*Saiful Huda Ems adalah lawyer, aktivis ‘98, dan Ketua Umum Harimau Jokowi.