Oleh: Edy Wuryanto*
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan saat ini tengah merancang dan mengujicobakan penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK).
Tentunya rencana ini pun akan terkait dengan proses penentuan paket biaya INA CBGs dan Kapitasi serta penyediaan obat-obatan dalam Formularium Nasional (Fornas).
Terkait dengan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK), rencana Pemerintah untuk menetapkan KDK harus mengacu pada Pasal 22 ayat (1) UU SJSN. Yaitu JKN menanggung seluruh Kuratif yang terindikasi medis.
Saat ini ada beberapa pelayanan kuratif yang tidak dibiayai JKN seperti amanat Pasal 52 ayat (1r) Perpres no. 82 tahun 2018 yaitu korban tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme dan korban perdagangan orang tidak dijamin JKN.
Tentunya pelaksanaan Pasal 52 ayat (1r) Perpres no. 82 tahun 2018 ini masih menyisahkan masalah karena pengetahuan masyarakat yang belum sepenuhnya mengetahui LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sebagai institusi yang membiayai kuratifnya.
Pasal 22 ayat (1) UU SJSN juga menjamin obat-obatan, namun beberapa obat dikeluarkan dari Fornas sehingga tidak dijamin, seperti obat cancer usus besar yaitu Bevatizumab dan Xetuzimab.
Demikian juga pada tataran pelaksanaan, obat-obatan yang seharusnya diberikan kepada pasien JKN secara gratis tetapi harus dibeli oleh Peserta JKN.
Perhatikan kepentingan seluruh pemangku kepentingan JKN khususnya kesiapan Fasilitas Kesehatan seperti RS dan FKTP, dan kesiapan peserta JKN.
Selama ini peserta JKN tidak mengetahui tentang obat-obat yang dijamin dalam Fornas sehingga masih ada peserta JKN menanggung sendiri obat-obatan yang diresepkan dokter.
Tentang KDK tidak bisa dilepaskan dengan paket INA CBGs, tentunya proses penetapan INA CBGS yang baru harus memenuhi mekanisme formil di Pasal 24 ayat (1) UU SJSN dan Pasal 11 (d) UU BPJS beserta penjelasannya.
Yaitu melalui mekanisme kesepakatan antara Asosiasi Faskes dan BPJS Kesehatan di wilayah tertentu, sebelum ditetapkan dalam Permenkes.
Kehadiran Permenkes no. 51 Tahun 2018 tentang Urun Biaya dan Selisih Biaya tentunya belum terimplementasi khususnya untuk Urun Biaya.
Kemenkes belum selesai mengkaji soal Urun Biaya sehingga urun biaya di Permenkes 51 belum berjalan, padahal Urun Biaya adalah amanat UU SJSN.
Tentunya sebelum menetapkan KDK dengan berbagai masalah di atas, seharusnya proses penentuan KDK dilakukan secara terbuka dengan melibatkan masyarakat langsung.
Sehingga seluruh pelayanan kuratif dan obat-obatan yang dibutuhkan peserta dapat dijamin JKN.
Pelibatan public adalah sesuai amanat Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011, yaitu pembuatan peraturan perundangan harus melibatkan public.
Tentang KRIS, saat ini isu KRIS sudah menjadi wacana public tanpa ada kepastian dari KRIS itu sendiri. Oleh karenanya proses penetuan KRIS seharusnya juga melibatkan masyarakat dan tidak dilakukan dengan terburu-buru.
Banyak hal yang harus dipersiapkan sehingga KRIS tidak menjadi kontraproduktif bagi masyarakat peserta JKN nantinya.
Kembali, mengacu pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, sebuah regulasi harus dikaji dalam naskah akademik yang mengkaji nilai filosofis, sosiologis dan yuridis.
Walaupun Pasal 54B Perpres no. 64 tahun 2020 mengamanatkan pelaksanaan KRIS dan KDK di tahun 2023, sebaiknya penerapan KRIS dan KDK jangan dilakukan terburu-buru.
Lakukan dulu kajian filosofis, sosiologis dan yuridis secara mendalam dengan melibatkan masyarakat.
Perhatikan kepentingan seluruh pemangku kepentingan JKN khususnya kesiapan Fasilitas Kesehatan seperti RS dan FKTP, dan kesiapan peserta JKN.
*Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Dapil Jateng III