Untuk Indonesia

Opini: KDK dan KRIS untuk Pelayanan yang Lebih Baik

Saat ini Pemerintah terus mendorong pelaksanaan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) dan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Timboel Siregar.
Ilustrasi - JNK. (Foto: Tagar/JKN)

Timboel Siregar*


Saat ini Pemerintah terus mendorong pelaksanaan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) dan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Dasar hukum KDK adalah Pasal 19 ayat (2) UU SJSN sementara KRIS adalah Pasal 23 ayat (4) UU SJSN junto Pasal 54A dan Pasal 54B Peraturan Presiden no. 64 Tahun 2020.

Saya mengindentifikasi persoalan terkait pelaksanaan KDK dan KRIS ke depan:

Pertama, tujuan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan dalam Pasal 19 ayat (2) UU SJSN adalah menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Pada point ini penekanan pada manfaat pemeliharaan Kesehatan dan perlindungan.

Dalam Pasal 54A Perpres 64 Tahun 2020 disebutkan tujuan KDK dan KRIS adalah untuk keberlangsungan pendanaan Jaminan Kesehatan. Pada point ini penekanan pada Keberlangsungn Pendanaan Jaminan Kesehatan.

Dari dua hal tersebut di atas, ada potensi terjadinya kontradiktif, fokus pada “manfaat pemeliharaan Kesehatan dan perlindungan” atau “Keberlangsungn Pendanaan Jaminan Kesehatan”

Dari dua hal tersebut, proses peninjauan Manfaat Jaminan Kesehatan sesuai kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar di Pasal 54A Perpres no. 64 tahun 2020 lebih mengarah pada fokus “Keberlangsungn Pendanaan Jaminan Kesehatan” sehingga ada kekhawatiran peserta JKN terjadinya penurunan manfaat dan perlindungan seperti pelayanan Kesehatan yang akan dijamin, obat-obat yang ditanggung dalam formularium nasional, dsb.

Seperti kita ketahui bersama, selama ini telah terjadi penurunan manfaat pelayanan JKN kepada peserta, seperti.

  • Korban penganiayaan, korban KDRT, trafficking dan terorisme tidak lagi dijamin JKN, tetapi diserahkan ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
  • Peserta JKN dari unsur peserta mandiri yang mengalami kecelakaan pada saat bekerja tidak dijamin JKN, tetapi kecenderungannya diserahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Bahwa faktanya peserta mandiri tidak mengetahui tentang BPJS Ketenagakerjaan dan tidak diwajibkan ikut program BPJS Ketenagakerjaan.

Hal ini dialami oleh seorang pemulung bernama Bu Nurul (pemegang kartu PBI JKN) namun ketika mengalami kecelakaan kerja pada jarinya yang hampir putus terkena beling, proses pembiayaannya tidak ditanggung JKN tetapi diserahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. 

Faktanya Bu Nurul bukan peserta BPJS Ketenagakerjaan sehingga tidak ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan. Demikian juga terjadi dengan pekrja informal atau pekerja mandiri lainnya. 

Seharusnya JKN tetap menjamin para pekerja mandiri tersebut karena mereka tidak diwajibkan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan dan mereka tidak tahu tentang BPJS Ketenagakerjaan.

Seharusnya Direksi BPJS Kesehatan memastikan peserta kecelakaan dalam bekerja bagi pekerja informa tetap dijamin JKN. Kalau untuk pekerja formal yang memang diwajibkan ikut jaminan kecelakaan kerja, maka pembiayaan diserahkan ke BPJS Ketenagakerjaan.

  • Ada beberapa obat yang dikeluarkan dari formularium nasional sehingga harus ditanggung sendiri oleh peserta JKN, seperti obat cancer usus besar yang bernama Bevatizumab dan Xetuzimab. Harga obat-obat ini mahal yang harus dibeli sendiri sementara dokter masih merespkan obat ini.

Formularium Nasional merupakan kewenangan Kementerian Kesehatan dalam menetapkannya.

Kedua, selama ini peserta JKN mengalami kesulitan mengakses ruang perawatan inap di RS. Hal ini terkait dengan minimnya informasi tentang ruang perawatan di RS. 

Walaupun seluruh RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib menginformasikan ketersediaan ruang perawatan seperti yang diamanatkan dalam Perpres no. 82 tahun 2018 namun kenyataannya informasi tersebut tidak bisa diakses dengan mudah sehingga peserta JKN cenderung mendapatkan diskriminasi dari pasien umum dalam mengakses kamar perawatan tersebut.

Adalah tugas BPJS Kesehatan untuk mencarikan ruang perawatan bagi pasien JKN, khususnya juga untuk ruang perawatan ICU, PICU, NICU, dsb. Selama ini yang terjadi keluarga pasien JKN yang disuruh mencari ruang perawatan tersebut. 

BPJS Kesehatan harus memiliki sistem pencarian ruang perawatan di RS-RS yang bekerja sama dengan BPJS dengan berbasis teknologi yang cepat dan jelas. Pasien JKN hanya menunggu informasi dari BPJS Kesehatan.

Ketiga, demikian juga dalam proses tindakan operasi, masih banyak pasien JKN yang harus menunggu lama untuk tindakan operasi tersebut. Antrian panjang menyebabkan pasien JKN harus menunggu lama.

Seharusnya tindakan operasi ini harus ada kepastian waktu yang cepat dan oleh karenanya dalam ketentuan KDK dan KRIS nanti harus diatur maksimal waktu antrian atau penantian pasien JKN dalam mendapatkan tindakan operasi, seperti misalnya maksimal 2 minggu. 

Bila memang tidak bisa dipenuhi dalam waktu 2 minggu tersebut maka BPJS Kesehatan harus mencarikan RS lain agar peserta JKN segera dioperasi.

Keempat, bahwa mengacu pada Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundangan, disebutkan adanya pelibatan masyarakat dalam menyusun regulasi. Ketentuan ini sepertinya tidak dilaksanakan dalam proses pembuatan regulasi tentang KDK dan KRIS ini. Masyarakat tidak tahu tentang proses pembuatannya sampai dimana saat ini.

Mengacu pada UU No. 12 tahun 2011 tersebut seharusnya regulasi tentang KDK dan KRIS ini dikaji dengan mengacu pada Kajian Akademis yang mengkaji tentang filosofis, yuridis dan sosiologis.

Bahwa secara filosofis, kehadiran KDK dan KRIS harus diabdikan atau fokus pada peserta JKN yang merupakan subyek utama JKN, bukan fokus pada keberlangsungan pendanaan pembiayaan jaminan Kesehatan.

KDK dan KRIS harus mampu menghadirkan jaminan Kesehatan yang lebih mudah diakses oleh peserta JKN tanpa diskriminasi serta menjamin semua kebutuhan medis termasuk obat-obatan.

Secara Yuridis, seharusnya Pasal 54A Perpres no. 64 Tahun 2020 mengacu pada Pasal 19 ayat (2) UU SJSN, yaitu fokus pada manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan peserta JKN.

Secara sosiologis, dengan adanya kasus-kasus yang selama ini terjadi, seharusnya ketentuan tentang KDK dan KRIS bisa mengurai persoalan yang terjadi selama ini dan mampu diselesaikan secara sistemik berbasis teknologi yang mudah diakses masyarakat.

Kelima, sistem rujukan yang panjang menjadi masalah juga dalam proses pelayanan kepada peserta. Seharusnya sistem rujukan ini dapat dipermudah dengan adanya regulasi KDK dan KRIS ini. 

Sistem rujukan harus juga mampu mengakomodir amanat Pasal 5 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU no. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang mengamanatkan masyarakat RENTAN seperti orang miskin, lansia, bayi baru lahir, disabilitas untuk mendapatkan pelayanan lebih, dibandingkan masyarakat lainnya, karena adanya keterbatasan masyarakat rentan tersebut.

Selama ini BPJS Kesehatan belum mengakomodir amanat UU HAM dan UU Pelayanan Publi tersebut.

Keenam, dengan adanya KRIS maka akan ada perhitungan ulang iuran peserta mandiri. Karena klas perawatan menjadi satu maka iuran klas mandiri pun menjadi satu, yang sebelumnya ada 3 iuran yaitu klas 1 sebesar Rp. 150 ribu, klas 2 Rp. 100 ribu dan klas 3 sebesar Rp. 35 ribu (dengan subsidi Rp. 7 ribu dari Pemerintah.

Bila iuran baru yang akan ditetapkan karena adanya KRIS ini antara 50 ribu sampai dengan 75 ribu (seperti yang pernah disampaikan DJSN), untuk peserta klas 1 dan 2 adalah tidak masalah karena nilai iurannya turun, tetapi bagi peserta klas 3 yang tidak mampu akan menjadi masalah karena iuran menjadi naik.

Oleh karenanya, Pemerintah harus memperhatikan peserta klas 3 yang tidak mampu ketika menetapkan iuran nantinya. Bagi peserta klas 3 saat ini yang memang tidak mampu dapat diikutkan dalam kelas rawat inap PBI sehingga iuran yang dibayar sendiri tetap Rp 35.000 dengan subdisi Rp. 7 ribu dari pemerintah, sementara peserta klas 3 yang mampu (awalnya mengambil klas 1 dan 2 tetapi karena ada kenaikan iuran, mereka turun ke klas 3).

Bila Pemerintah tidak bijak dalam menetapkan iuran ini maka jumlah peserta klas 3 yang menunggak iuran akan semakin banyak, dan ini berarti JKN semakin dijauhkan dari masyarakat.

7.Penetapan KRIS juga harus disertai kenaikan biaya INA CBGS. Selama ini Kemnterian Kesehatan tidak mematuhi Pasal 24 ayat (1) UU SJSN dan Pasal 11 huruf (d) UU BPJS yang mengamanatkan tarif besarnya pembayaran ke faskes seperti INA CBGS berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi faskes di wilayah. 

Menteri Kesehatan tidak membuka ruang perundingan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi faskes di wilayah untuk menyepakati INA CBGs dan Kapitasi sebelum ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehtaan.

Kedelapan, bahwa dalam masa pandemi Covid-19 ini RS masih fokus menangani pasien Covid19 sehingga amanat Pasal 54B bahwa uji coba KRIS sampai 31 Desember 2022 akan sulit dipenuhi oleh RS Swasta untuk memenuhi persyaratan KRIS tersebut. Tentunya Pemerintah harus bijak juga menentukan batas masa uji cob aini. Saya usul agar ditunda masa uji coba ini sampai 2025. 

*Koordinator BPJS Watch


Berita terkait
RI Siapkan Aturan Soal Vaksin Booster bagi Peserta JKN
Program vaksinasi dosis ketiga atau booster akan berjalan mulai tahun 2022. Pemberian vaksin pun menjadi 2 jalur, yakni berbayar dan gratis.
Ada 9 Jutaan Orang Miskin Dikeluarkan dari Program JKN
BPJS WATCH menolak kehadiran Kepmensos No. 92 Tahun 2021 ini yang mengeluarkan dengan sangat besar jumlah orang miskin, sekitar 9 juta.
Opini: Takut PPN Kesehatan, Daftar JKN Saja
Rencana Pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada sembako, pendidikan, kesehatan, menuai aksi protes dari berbagai pihak.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.