Untuk Indonesia

Opini: Hukum Sebagai Perwujudan dari Nilai-Nilai Tertentu, Perspektif Politik Hukum

Pemerintah dalam praktik ketatanegaraan belum dapat meletakkan hukum pada posisi yang semestinya. Lebih sering diintervensi kekuasaan politik.
Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Parahyangan. (Foto: Dok Pribadi)

Oleh: Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Parahyangan

Manusia sebagai makhluk yang dikaruniai akal pikiran oleh Tuhan Yang Maha Esa menjadikannya sebagai pembeda. Ketika manusia memikirkan hal yang sama dengan lainnya, tentu akan terdapat berbagai persepsi masing-masing sesuai sudut pandang pemikirannya. 

Sejalan dengan ini, kira-kira Penulis memberikan istilah: “quot homines, tot sententiae”, berarti sebanyak-banyaknya jumlah manusia maka sebanyak itu pula definisinya. 

Dewasa ini, paradigma hukum merupakan nilai sehingga hukum dapat dilihat sebagai sosok nilai pula Hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. 

Hukum adalah norma yang mengajak masyarakat untuk mencapai cita-cita serta keadaan tertentu, tatapi tanpa mengabaikan dunia kenyataan dan oleh karenanya ia digolongkan ke dalam norma kultur.

Penulis, membahas tentang “Hukum Sebagai Perwujudan dari Nilai-Nilai Tertentu, Perspektif Politik Hukum,” tentu berhadapan dengan suatu pertanyaan besar dan selanjutnya menjadi tuntutan di dalam uraian-uraian dalam penulisan ini. 

Penulis, mengajak kita sejauh mana pemikiran tentang hukum ke latar belakang hubungan dengan konsepsi tentang manusia, tentang hubungan antara manusia dengan manusia dan tentang manusia dengan lingkungan sekitarnya. 

Nilai mempunyai berbagai makna, sehingga sulit untuk menyimpulkan secara komprehensif makna nilai yang mewakili dari berbagai kepentingan dan berbagai sudut pandang, tetapi ada kesepakatan yang sama dari berbagai pengertian tentang nilai yakni berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting.

Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai selalu berkenaan dengan kehidupan manusia sehari-hari. 

Nilai merupakan suatu hal yang diidentikkan dengan sesuatu yang sifatnya baik. Penulis menggambarkan kira-kira: “dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan dan mengejar nilai ”A”, seperti Mahasiswa yang belajar giat untuk memperoleh nilai yang bagus, atau seseorang yang memberikan suatu penilaian terhadap suatu objek. 

Nilai dapat kita maknai sebagai objek atau perihal yang bermakna kualitas atau keadaan yang bermanfaat bagi manusia baik lahir maupun batin. Terkait dengan nilai, ada dua pendapat mengenai hal itu yaitu:

  • 1)Pandangan Objektivisme

Aliran ini berpendapat bahwa nilai itu objektif, ada pada setiap sesuatu. Tidak ada sesuatu hal didunia ini yang diciptakan tanpa memiliki nilai. Sehingga, segala sesuatu hal didunia ini memilki nilai dan bernilai bagi manusia. Hanya saja terkadang manusia tidak atau belum mengetahui nilai dari objek tersebut.

  • 2)Pandangan Subjektivisme

Aliran ini berpendapat sebaliknya bahwa nilai suatu objek melekat pada subjek yang menilainya. Objek memiliki nilai sebab subjek yang memberikan nilai padanya. Misalnya, seseorang musafir yang kehausan ditengah padang pasir tentunya akan sangat memberikan nilai pada setetes air atau lahan yang bernilai bagi seorang petani, dan lain sebagainya. 

Namun, di luar pendapat tersebut ada pendapat lain yang menyatakan bahwa nilai ditentukan oleh subjek yang menilai dan objek yang dinilai.

Hukum merupakan norma, norma sebagai perwujudan dari nilai-nilai belum dapat berfungsi praktis bagi manusia. Nilai perlu dikonkretisasikan atau diwujudkan kedalam norma. Norma merupakan konkretisasi dari nilai. 

Norma digunakan sebagai tolok ukur di dalam mengevaluasi perbuatan seseorang. Norma selalu berpasangan dengan sanksi, yaitu suatu keadaan yang dikenakan kepada si pelanggar norma. 

Sekiranya norma-norma yang berlaku di masyarakat ada empat macam, yakni sebagai berikut:

  1. Norma agama, yaitu perturan hidup manusia yang berisi perintah dan larangan yang berasal dari Tuhan (kepercayaan) ;
  2. Norma moral/kesusilaan, yaitu peraturan/kaidah hidup yang bersumber dari hati nurani danmerupakan nilai-nilai moral yang mengikat manusia ;
  3. Norma kesopanan, yaitu peraturan/kaidah yang bersumber dari pergaulan hidup antarmanusia ;
  4. Norma hukum, yaitu peraturan/kaidah yang diciptakan oleh kekuasaan resmi atau negarayang sifatnya mengikat dan memaksa.

Norma sebagai perintah dan penilaian atas sarana yang dipakai oleh masyarakatnya untuk menertibkan, pada akhirnya kita dapat melihat sebagai suatu tool yang dipakai untuk mengatur masyarakat. Bahwa secara riil orang tunduk kepada hukum, bukan karena nilai kemaslahatannya, tapi semata-mata karena kesadaran palsu (false conciousness) yang berhasil ditanamkan oleh pengusaha dan penguasa. 

Kita dapat ketahui bahwa kepatuhan subjek pada perintah hukum Undang-Undang nyata sekali jika tidak selamanya dapat dijamin secara pasti kalau hanya berdasarkan kekuatan sangsi. 


Pemerintahan Indonesia dalam praktik ketatanegaraannya belum dapat meletakkan hukum pada posisinya yang semestinya, melainkan lebih sering diintervensi oleh kekuasaan politik.


Kecuali disebabkan oleh kondisi-kondisi objektif yang terdapat dalam atau seputar struktur hukum itu sendiri yang sering kali menyebabkan upaya penegakan undang-undang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan, kondisi internal warga masyarakat baik yang psikologis maupun kultural juga tidak dapat diabaikan. 

Subjektivitas dalam bentuk kesediaan warga untuk mentaati hukum tanpa dipaksa, ternyata juga menjadi suatu pra-syarat terealisasinya Undang-Undang secara signifikan dalam kehidupan hukum sehari-hari.

Pendekatan Secara Teoritis

Sebelum kita membahas tentang apa dan bagaimana hukum sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan tentunya kita harus melihat dulu bagaimana padangan para ahli tentang hukum itu. Perkembangan terletak pada hakikat hukum yang dapat dilihat dari berbagai perspektif antara lain tentang tujuan hukum, keadilan, dasar mengikatnya hukum, atau mengapa hukum ditaati dan sebagainya. Referensi Penulis, mengkutip dari pendapat para ahli hukum:

Menurut Socrates : “yang melakukan dialog dengan Thrasymachus (Sofinsft) berbendapat bahwa ketika mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak, jangan diserahkan semata-mata kepada orang perorangan atau kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim, tetapi hendaknya dicari ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang kuat, melainkan keadilan itu hendaknya berlaku bagi seluruh masyarakat.”

Menurut Plato: “juga sudah membahas hampir semua masalah yang tercakup dalam Filsafat Hukum. Baginya keadilan (justice), adalah tindakan yang benar, tidak dapat diidentifikasikan dengan hanya kepatuhan pada aturan hukum. Keadilan adalah suatu ciri sifat manusia yang mengkoordinasi dan membatasi pelbagai elemen dari manusia terhadap lingkungannya agar memungkinkan manusia dalam keutuhannya berfungsi dengan baik. 

Plato juga berpendapat bahwa hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara. Ia menolak anggapan bahwa otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang memerintah (governing power).”

Menurut Aristoteles: “mengatakan bahwa “Hukum adalah suatu jenis ketertiban dan hukum yang baik adalah ketertiban yang baik, akal yang tidak dipengaruhi oleh nafsu, Aristoteles juga menolak pandangan kaum Sofis bahwa hukum hanyalah konfensi. Namun demikian ia juga mengakui bahwa seringkali hukum hanyalah merupakan ekspresi dari kemauan sesuatu kelas khusus dan menekankan peranan kelas menengah sebagai faktor stabilisasi.”

Menurut Georg Wilhelm Friedrich Hegel: “pemisahan “hukum yang ada” dan “hukum yang seharusnya ada” sama sekali tidak meremehkan pentingnya nilai-nilai dalam hukum.”

Perspektif Politik Hukum

Produk-produk hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh konfigurasi politik yang melatar belakanginya. Negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi, maka semua peraturan harus dirumuskan secara demokrasi, yaitu dengan melihat kehendak dan aspirasi dari masyarakat luas sehingga produk yang dihasilkan itu sesuai dengan keinginan hati nurani rakyat. 

Tetapi apabila sebaliknya maka terlihat bahwa produk hukum yang dikeluarkan tersebut dapat membuat masyarakat menjadi resah dan cenderung tidak mematuhi ketentuan hukum itu. Hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh tanpa memperhatikan kelompok atau golongan tertentu. 

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa ada tiga unsur dari pemerintah yang berkonstitusi, yaitu :

  1. Pemerintah dilaksanakan untuk kepentingan umum ;
  2. Pemerintah dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenangwenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi ;
  3. Pemerintah berkonstitusi berarti pemerintah yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan atau tekanan seperti dilaksanakan pemerintahan despotis. Pemikiran Aristoteles ini jelas sekali merupakan cita negara hukum yang dikenal sekarang, karena ketiga unsur yang dikemukakan oleh Aristoteles tersebut dapat ditemukan di semua negara hukum.

Eksistensi dan peranan hukum itu merupakan perwujudan lebih lanjut dari tujuan hakiki dari setiap negara, yaitu menciptakan kesejahteraan dan keamanan bagi warga masyarakatnya. Menurut pandangan aliran realisme dalam filsafat bahwa hukum adalah produk politik. 

Hukum tidak lahir dari ruang hampa sosial, hukum hasil kompromi politik. Oleh karena itu, hukum menjadi salah satu alat bagi kepentingan politik. Jika hukum dan politik berhadapan, maka hukum bisa dipastikan akan tersingkir.

Kepentingan hukum adalah untuk mendukung kepentingan atau kelas dalam masyarakat yang membentuk hukum tersebut. Apalagi dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka peranan penguasa politik terhadap hukum adalah sangat besar. 

Begitupun dalam sistem hukum kita di Indonesia undang-undang adalah produk bersama antara dewan perwakilan rakyat dengan pemerintah. Kenyataan ini tidak mungkin disangkal betapa para para politiklah yang memproduk undang-undang (hukum tertulis). 

Hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang berkembang dan nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan. 

Dengan demikian idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat.

Berbicara Hukum, hukum akan dijadikan sebagai tool yang digunakan untuk mencapai tujuan Negara. Seperti yang diketahui bahwa hukum merupakan petunjuk dan tata aturan terkait dengan konsep hidup bermasyarakat dan akan selalu sesuai dengan keadaan kondisi masyarakat. 

Oleh karenanya idealnya hukum dibuat dengan mengutamakan adanya keadilan. Keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan.

Simpulan Penulis

Dengan merujuk pembahasan diatas, maka penulis, memberikan simpulan bahwa Negara Indonesia pada hakikatnya berlandaskan atas hukum (rechtstaat) dan bukan atas dasar kekuasaan (machstaat) Indonesia menuangkan cita-cita ataupun tujuan. 

Negara melalui hukum sebagai sarananya dengan kata lain hukum adalah sarana yang digunakan dalam mencapai tujuan Negara yang sudah di cita-citakan. 

Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa batas tentang hukum tersebut di atas, mengandung makna, pertama, bahwa, perwujudan hukum terkait dengan aparatur hukum (lembaga-lembaga hukum), dan kedua, bahwa, hukum akan dapat diwujudkan melalui suatu mekanisme proses penegakan hukum. 

Keterkaitan antara hukum dengan aparatur hukum, dalam batasan tersebut di atas, sangat diutamakan. 

Berikutnya berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan konfigurasi politik dan karakter produk hukum selalu berubah sejalan dengan masa pembahasan Perjalanan konfigurasi politik dan karakter produk hukum tersebut. 

Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan Indonesia dalam praktik ketatanegaraannya belum dapat meletakkan hukum pada posisinya yang semestinya, melainkan lebih sering diintervensi oleh kekuasaan politik. []

Berita terkait
Opini: Hukum Tidak Berarti Banyak Kalau Tidak Dijiwai Moralitas
Pembuat Undang-Undang dan Penegak Hukum di Indonesia Kunci Mendasar Pada Postulat Etika dalam Kodrat Hakikat dalam Moralitas Diri - Tulisan Opini
Opini: Menegakkan Ketertiban yang Adil di Tengah Kebhinnekaan Indonesia
Di antara faktor penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah kualitas para penegak hukumnya - Tulisan Opini Darwin Steven Siagian.
Teknologi Media Sebagai Sarana untuk Menghidupkan Hukum Masyarakat Indonesia
Teknologi Media Sebagai Sarana untuk Menghidupkan Hukum Masyarakat Indonesia - Tulisan Opini Darwin Steven Siagian, Advokat, Akademisi.