Jakarta - Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyebut Omnibus Law sebagai Undang-Undang (UU) sangat memberikan ruang kepada pemerintah untuk mendetailkan peraturan yang berbahaya.
Mardani menilai UU tersebut sangat 'happy government'. Oleh karena itu, kata Mardani, di versi awal dalam 1035 halaman Omnibus Law ada lebih dari 500 pasal yang buntut atau ujung pasalnya berbunyi 'aturan detail akan dilaksanakan melalui peraturan pemerintah atau peraturan presiden'.
Dan itu bukan cuma 1 pasal, ada lebih dari 500-an pasal. Enggak tahu kalau yang 812 (halaman), kami lagi sisir
"Jadi eksekutif diberikan wewenang yang sangat besar. Padahal kondisi sekarang, ketika koalisi oposisi jomplang, maka memberikan 'cek kosong' kepada eksekutif untuk mendetailkan peraturan berbahaya," kata Mardani dalam webinar Indonesia Leaders Talk, bertajuk 'RUU Omnibus Law: Cacat Norma dan Rasa Berkeadilan' di kanal YouTube PKSTV seperti dikutip Tagar, Sabtu, 17 Oktober 2020.
Menurut dia, hal tersebut sama berbahayanya dalam pasal 65 di UU Cipta Kerja (Ciptaker) Omnibus Law yang belakangan ramai diperbincangkan lantaran berpotensi menjadi komersialisasi pendidikan.
"Bagaimana kemudian ketika prinsip disampaikan kepada peraturan pemerintah? Dan itu bukan cuma 1 pasal, ada lebih dari 500-an pasal. Enggak tahu kalau yang 812 (halaman), kami lagi sisir. Tapi kalau yang 1035 itu 500 pasal lebih yang kita sisir memberikan kewenangan kepada pemerintah, dan ini berbahaya," ucapnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyebut banyak disinformasi dan hoaks yang membuat UU Ciptaker mendapat penolakan masyarakat. Satu di antaranya anggapan bahwa UU ini mendorong komersialisasi pendidikan.
"Ada juga berita mengenai Undang-Undang Cipta kerja ini mendorong komersialisasi pendidikan. Ini juga tidak benar karena yang diatur hanyalah pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus (KEK)," kata Jokowi.
Padahal, kata Jokowi, perizinan pendidikan secara umum tidak diatur di dalam UU Ciptaker. Termasuk perizinan untuk pendidikan di pondok pesantren.
"Itu tidak diatur sama sekali dalam undang-undang cipta kerja ini dan aturannya yang selama ini ada tetap berlaku," tuturnya.
Faktanya, perizinan pada sektor pendidikan yang dimaksud Jokowi diatur dalam Pasal 65 UU Cipta Kerja. Pasal ini terdapat dalam Paragraf 12 yang mengatur pendidikan dan kebudayaan
Pasal 65 ayat (1) berbunyi: pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Dalam UU Ciptaker, perizinan berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Definisi itu dimuat dalam Pasal 1.
Ketentuan ini lah yang ramai-ramai diprotes oleh pegiat pendidikan. Ketua LP Ma'arif NU Arifin menyebut ketentuan tersebut sama saja memasukkan pendidikan dalam komoditas yang diperdagangkan.
Sementara, dalam UU yang disahkan, tak ada aturan yang menyebutkan bahwa aturan tersebut hanya berlaku bagi pendidikan formal di KEK seperti yang disampaikan Jokowi.
- Baca juga: Mardani Ali Sera: Omnibus Law Ciptaker UU Super Kilat
- Baca juga: PKS Sebut Kadin adalah Pemain Utama di Balik Omnibus Law
Dalam pasal 65 ayat (2) hanya menyebutkan: ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. []