Ombudsman Endus Monopoli dan Oligopoli Rapid Test

Anggota Ombudsman RI Alvin Lie mengendus selama ini ada indikasi terjadinya monopoli atau oligopoli alat rapid test virus corona atau Covid-19.
Petugas medis lengkap menggunakan Alat Pelindung Diri, saat melakukan rapid test terhadap 100 imigran Rohingya yang terdampar di perairan Aceh, Jumat, 26 Juni 2020. (Foto: Tagar/Istimewa)

Jakarta - Anggota Ombudsman RI Alvin Lie menanggapi Surat Edaran (SE) Kementerian Kesehatan RI Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi. Dalam SE tersebut ditetapkan biaya rapid test tertinggi adalah Rp 150 ribu. 

"Kenyataannya, itu bisa ditekan menjadi Rp 150 ribu," ujar Alvin di Jakarta dalam keterangannya yang diterima wartawan, Selasa malam, 7 Juli 2020. 

Selama ini biaya rapid test itu harganya gila-gilaan karena sudah menjadi komoditas dagang.

Dia mengendus selama ini ada indikasi terjadinya monopoli atau oligopoli alat rapid test, sehingga tarifnya lebih tinggi daripada yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI.

Kekhawatiran tersebut didasarkan pada laporan yang ia terima di sejumlah daerah bahwa alat rapid test itu dibeli dengan harga di atas Rp 200 ribu. 

Baca juga: Hasil Rapid Test Massal Hari Kedua di Makassar

"Selama ini biaya rapid test itu harganya gila-gilaan karena sudah menjadi komoditas dagang, itu ada sanksinya atau tidak (kalau menetapkan tarif di atas Rp150 ribu," kata Alvin. 

Dia khawatir rumah sakit di daerah mematok biaya rapid test di atas batasan biaya yang ditetapkan Kemenkes RI karena tidak memiliki pilihan untuk membeli alat rapid test tersebut sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah. 

"Belinya di tempat itu-itu saja. Yang dikhawatirkan rumah sakit tidak bisa berbuat banyak. Ketika (batasan harga) ini diturunkan, siapa yang menanggung rugi," ujarnya. 

Alvin kemudian menanyakan apakah mereka yang sudah telanjur membeli stok alat rapid test di atas batasan harga tersebut, kelebihan uangnya apakah dapat dikembalikan. Masalahnya, selama ini sertifikat bebas Covid-19 berdasarkan hasil rapid test telah menjadi kebutuhan masyarakat yang mau melakukan perjalanan domestik. Bahkan, sudah dijadikan persyaratan oleh kebijakan pemerintah.

Kendati hasil rapid test nonreaktif pun, kata dia, sebetulnya tidak membuktikan bahwa seorang pelancong tidak mengidap Covid-19. 

"Rapid test ini hanya tes antibodi. Tidak ada gunanya untuk mencegah penularan Covid-19," kata dia. 

Baca juga: BIN dan Pemkab Bogor Rapid Test Covid-19 di Ciawi

Untuk itu Alvin meminta peninjauan ulang kebijakan pemerintah yang mengatur tentang persyaratan bepergian harus menunjukkan sertifikat bebas Covid-19 berdasarkan hasil rapid test. 

Ia menyarankan sebaiknya alat rapid test yang ada selama ini difungsikan khusus untuk pendeteksian kasus Covid-19 di kawasan zona merah saja. 

Alvin juga menyarankan alat tes cepat itu difungsikan kepada orang-orang yang benar-benar terindikasi (suspect) Covid-19, sehingga bisa lebih cepat ditangani. 

"Tidak menjadi syarat administratif untuk perjalanan menggunakan pesawat, kereta, atau kapal," ujarnya.

Alvin berharap Kementerian Kesehatan RI juga dapat menertibkan pelayanan Polymerase Chain Reaction (PCR) test atau tes usap (swab test) serta juga menetapkan batasan biayanya. "Agar transparan karena ini sudah menjadi kebutuhan publik saat ini," kata anggota Ombudsman itu. []

Berita terkait
Rapid Test Lion Air-Dompet Dhuafa, Cek Lokasinya Yuk
Lion Air Group dengan Dompet Dhuafa Republika sepakat bekerja sama menawarkan rapid test Covid-19 untuk setiap penumpang Lion Air Group.
Rapid Test 28 Peserta UTBK Unair Dinyatakan Reaktif
Sementara berdasarkan data Dinas Kesehatan Surabaya 740 peserta UTBK telah melakukan rapid test di Puskesmas, dari jumlah itu 49 hasilnya reaktif.
Hari Pertama Rapid Test Gratis, 14 Orang Reaktif Covid
Hari pertama rapid test gratis yang dilakukan Pemprov Sulawesi Selatan menemukan 14 warga reaktif terhadap Covid-19.
0
Elon Musk Sebut Pabrik Mobil Baru Tesla Rugi Miliaran Dolar
Pabrik mobil baru Tesla di Texas dan Berlin alami "kerugian miliaran dolar" di saat dua pabrik kesulitan untuk meningkatkan jumlah produksi