Mengunjungi Timor Leste dan Penjara Bekas Penyiksaan Orde Baru

Kantor itu bekas penjara dari zaman penjajahan Portugis. Ketika masih bernama Timor Timur, digunakan TNI untuk menahan rakyat yang melawan.
Di museum bekas penjara. Ada lambang PM dan Kodam IV Diponegoro (Foto: Dok. Nurely Yudha Sinabingrum)

Hari masih pagi, pesawat yang membawaku ke Denpasar, Bali, telah tiba. Sesampainya di Bandara Ngurah Rai, aku segera bergegas menuju pintu keberangkatan internasional.

Hari itu, tanggal 25 Agustus 2019, aku terbang ke Dili, Timor Leste. Kali kedua aku akan menginjakkan negeri penghasil kopi itu. Negeri yang pernah menjadi provinsi ke-27 Indonesia, semasa Orde Baru bercokol.

Kedatanganku kali ini mewakili suamiku kembali, karena ia pasien cuci darah tidak memungkinkan bepergian jauh.

Kedatangan pertama, mewakili suamiku untuk menerima penghargaan dari Asosiasi Brigada Negra. Penghargaan itu diberikan karena suamiku dan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) lainnya berjasa dalam membantu perjuangan Timor Leste meraih kemerdekaannya.

Kali ini memenuhi undangan Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste, dalam rangkain "Perayaan 20 Tahun Jajak Pendapat".

Ketika lift akan tertutup, aku segera berlari mengejarnya agar tetap bisa masuk. Ketika berhasil masuk, aku bertatap muka dengan dua laki-laki yang rasanya aku kenal.

Tiba-tiba, salah satu di antara mereka bertanya kepadaku, "mau kemana?"

"Ke Dili," jawabku.

Mereka berdua tersenyum.

"Kami juga mau ke Dili."

"Jangan-jangan tiket kita sama, karena ada 3 nama dalam satu tiket yang dikirim panitia," ujar pria putih berkacamata itu.

Kami bertiga lantas tertawa, ternyata satu tiket terbang ke Dili. Kami saling menyebutkan nama. Satu bernama Yoseph Adi Prasetyo, satunya lagi Lefidus. Aku memperkenalkan diri sebagai Naning dari PRD.

"Dulu, sekitar tahun 1994, teman-teman PRD (masih SMID) dari daerah kalau aksi di Jakarta menginap di Yayasan Kepodang, di Depok."

"Mereka makannya di Bang Jamal, sebuah warung dekat kantor. Sehabis makan mereka bilang yang bayar Bang Levi dari Kepodang."

"Tagihannya segunung. Waduh, ide siapa ya ini," ujar Lefidus dengan tertawa.

Aku juga tertawa, dan kukatakan SMID Semarang yang termasuk makan dengan kata sandi "Bang Levi" itu.

Ketika Bang Levi memanggil Stenley, panggilan akrab Yoseph Adi Prasetyo, aku jadi ingat kembali akan Yoseph. Dia mantan aktivis Yayasan Geni Salatiga, mantan Komisioner Komnas HAM juga.

Kami bertiga saat itu juga bertemu dengan aktivis dari Filipina. Ada juga yang memperkenalkan diri bernama Made Supriatma. Kuhitung, kami ada 12 orang bersamaan menuju gate 6B, pesawat yang menuju Dili. Tujuannya sama, menghadiri "Perayaan 20 Tahun Referendum di Timor Leste".

Butuh waktu sekitar 2 jam terbang menuju "Bandara Presindente Nicolau Lobato". Nama bandara itu diambil dari nama presiden pertama mereka, sebelum negeri itu menjadi koloni Indonesia.

Kedatangan kami disambut dengan acara protokoler. Kami mendapat kalungan Tais atau kain Timor. Selendang kain Timor itu digunakan untuk menyambut kedatangan tamu. Selembar kain tenun itu dimaknai untuk mengikat tali persahabatan, persaudaraan, dan penghormatan.

Timor LesteKedatangan disambut dengan selendang khas Timor Leste (Foto: Nurely Yudha Sinabingrum)

Agau, demikian aku memanggilnya, satu-satunya panitia penjemput yang aku kenal. Kami berdua berpelukan, serasa kawan yang lama tak jumpa. Dengan ramah dia memperkenalkan para penyambut lainnya.

Salah satu dari mereka bernama Nina. Nina bekerja di kementerian luar negeri. Dia adalah istri Virgilio Gueteres, kami memanggilnya Gill. Aku sendiri sering menjumpai Gill di ruang besukan LP Cipinang, takkala Xanana Gusmao dipenjara di sana.

Gill pernah juga mendekam di LP Cipinang. Pascatragedi Santa Cruz 12 November 1991 ia ditangkap. Kemudian diadili karena terlibat dalam organisasi klandestin Renetil.

Dulu orangnya kurus tinggi. Tahun 2016 lalu saat pertama jumpa lagi di Dili dia sudah gemuk dan rambut kribonya lebih tertata.

Kami dipersilahkan duduk di ruang VVIP, sedangkan paspor diurus para panitia penyambut. Kami diperlakukan sebagai tamu kehormatan. Sebuah sambutan yang begitu hangat.

Tamu undangan dari negara Thailand dan Filipina ditempatkan di Hotel Golgota, dekat bandara. Sementara kami dari Indonesia menginap di Hotel Beach Garden.

Hotel itu berada di pusat Kota Dili. Aku takjub akan hotel itu, di depannya terhampar pantai yang sangat indah.

Hanya 1,5 jam kami menikmati nyamannya hotel tersebut, setelahnya panitia membawa kami menikmati kompetisi tari tradisional dan pameran kerajinan rakyat di negara itu.

Masing-masing distrik memamerkan tarian, yang rata-rata bertema perang. Pukul 10 malam waktu di Dili, acara berakhir. Acara hari itu diakhiri dengan menari "Tebe-Tebe".

Timor LesteMelihat festival tari rakyat (Foto: Nurely Yudha Sinabingrum)

Tari Tebe-Tebe diperagakan oleh para pria dan wanita bergandengan tangan sambil bernyanyi bersahut-sahutan melantunkan syair dan pantun yang berisikan puji-pujian, kritikan atau permohonan, sambil menghentakkan kaki sesuai irama lagunya.

Tari Tebe-Tebe berakhir ketika semua penari duduk untuk bersama-sama mencicipi hidangan ringan sebagai tanda untuk berpisah dan pulang ke rumah masing-masing.

Hari Kedua

Pukul 06.00 waktu Timor Leste atau 06.40 WIB, kami sudah harus mandi. Setelah selesai sarapan kami sudah dibawa panitia menuju Kantor CNC (Centro Nacional Chega), tempatnya berada di Balide.

Ternyata, kantor itu bekas penjara dari zaman penjajahan Portugis. Ketika Timor Leste (masih bernama Timor Timur) menjadi provinsi ke-27, digunakan penguasa militer Indonesia untuk menahan rakyat yang melawan TNI.

Begitu memasuki pintu utama sudah terpampang foto-foto kisah sejarah perjuangan rakyat Timor Leste, termasuk kisah kepahlawanan Xanana Gusmao.

Pintu-pintu penghubung ruangan dan kamar-kamar ruangan masih meninggalkan jejak-jejak penjara. Pintu-pintunya berjeruji besi dicat warna biru.

Aku menemukan sebidang tembok yang masih menyisakan lambang PM (Polisi Militer) dan lambang Kodam IV Diponegoro.

Di sebuah pojok ruangan, terdapat kursi dengan sanggahan per besi, dapat digoyang ke kiri dan kanan dan belakang.

Ketika kutanya fungsinya untuk apa kepada panitia, jawabannya membuat hatiku miris.

"Kursi itu untuk menyiksa para tahanan. Tahanan yang duduk di kursi itu akan dialiri listrik. Dia tidak akan terlempar, hanya bergoyang ke kiri, ke kanan, ke belakang dan depan," kata salah seorang panitia kepadaku.

Timor LesteKursi dengan per besi. Tempat tahanan disetrum listrik (Foto: Nurely Yudha Sinabingrum)

Aku mencoba membayangkan, hanya kengerian yang terlintas di benakku. Sebuah cara penyiksaan yang biadab.

Setelahnya, aku memasuki ruangan yang disebut dark site room. Ruangannya sangat gelap sekali, ada enam kamar saling berhadapan.

Kata panitia penjemput, tahanan dalam ruangan itu tidak bisa melihat, bahkan tubuhnya sendiri. Bila pintu dipukul dengan keras akan menimbukan gaung yang sangat keras dan memekakkan teliga. Aku baru tahu ada metode penyiksaan seperti ini, tersiksa karena gelap dan telingga kesakitan.

Ruang sebelahnya tak kalah sadis sebagai tempat menyiksa para tahanan. Ruangan 3x3 meter yang sangat sempit dipakai untuk menahan orang sebanyak-banyaknya. Alhasil, para tahanan berjejalan berdiri tanpa bisa duduk. Dalam hatiku darimana para aparat punya ide sejahat itu.

Masih banyak kengerian yang ditampilkan dalam ruangan itu. Aku bertanya kepada pegawai di Chega, ruangan berukuran 3x4 kok pintunya aneh. Pintunya ditembok dari bawah sampai sekitar 1-1,5 meter.

"Itu tempat merendam orang. Ruangan itu diisi air sebatas tembok pintu. Tahanan akan direndam di sana berhari-hari," ungkapnya.

Seketika buluk kudukku berdiri. Kengerian yang luar biasa ada dalam benakku. Berendam dalam air sungguh tersiksa dan kedinginan.

Selain sebagai kantor CNC, gedung itu juga menjadi museum. Sebuah museum yang akan mengenang sejarah kelabu aparat militer Indonesia di bumi bekas jajahannya. (bersambung)

Bagian satu dari 2 tulisan

Penulis: Nurely Yudha Sinabingrum (mantan anggota Komite Pimpinan Pusat PRD 1998-1999)

Berita terkait
Xanana Mengenang Habibie Saat Kemerdekaan Timor Leste
Presiden pertama Timor Leste, Xanana Gusmao, mengenang pesan Presiden ketiga RI BJ Habibie. Kenangan yang tak bisa ia lupakan.
Polda DIY Buru Pembunuh Mahasiswa Timor Leste
Polisi memburu pelaku dugaan pembunuhan terhadap mahasiswa asal Timor Leste.
Jembatan dan Taman BJ Habibie di Timor Leste
BJ Habibie mendapatkan tempat tersendiri di hati warga Timor Leste. Namanya dijadikan sebuah nama jembatan dan taman disana.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.