Mengenang Satayu, Pencipta Lagu Minang Legendaris

Syahrul Tarun Yusuf alias Satayu adalah seorang pencipta lagu Minang legendaris. Dia menutup mata untuk selama-lamanya pada Senin, 29 Juni 2020.
Almarhum Syahrul Tarun Yusuf. (Foto: Tagar/Istimewa)

Agam - Syahrul Tarun Yusuf populer dipanggil Satayu telah menutup mata untuk selama-lamanya. Namun, karya-karyanya abadi sepanjang masa. Sederet musisi Sumatera Barat hingga nasional bahkan melabelinya dengan pencipta lagu Minang legendaris.

Genap berusia 78 tahun, Satayu menghadap Sang Khalik pada Senin, 29 Juni 2020 pagi. Semasa berkarir di dunia seni, sudah lebih dari 400 judul lagu tercipta dari tangan dingin Satayu sejak tahun 1960-an.

Bagi pecinta lagu Minang, karyanya pasti sudah tidak asing di telinga. Seperti Bapisah Bukannyo Bacarai, Ampun Mande, Batu Tagak, Bugih Lamo, Gasiang Tangkurak, Kasiah Tak Sampai, Minang Maimbau dan Oi Andam Oii. Termasuk yang paling fenomenal tentang ungkapan pamit pada desa kelahirannya ranah Balingka yaitu lagu berjudul Tinggalah Kampuang.

Legendaris itu belum spesifik betul, menurut saya beliau pelopor lagu Minang. Roh lagu Minang ada dan amat terasa di lirik-lirik lagu yang beliau ciptakan.

Untuk mengenang bagaimana kiprah sosok yang satu ini, dapat dijumpai dalam sebuah buku bertajuk Syahrul Tarun Yusuf; Alam Takambang Jadi Guru. Buku setebal 326 halaman ini disunting Muchsis Muchtar St Bandaro Putiah dan diterbitkan pertama kali tahun 2008.

Bahkan, buku itu sudah direview ke dalam bahasa inggris serta dirilis di Perpustakaan Nasional Australia dengan judul Biography of Syahrul Tarun Yusuf, A Minangkabau Songwriter.

Satayu dilahirkan di Nagari Balingka, Kabupaten Agam pada 12 Maret 1942. Dia berasal dari keturunan terpandang di desanya. Sang ayahanda, Yusuf menyandang gelar Datuk Lelo Marajo. Sementara ibunya berprofesi sebagai bidan yaitu Hj Nurani Gani.

“Bapisah bukannyo bacarai. Usahlah adiak manangih juo. Basaba sayang nantikan denai. Taguahkan malah iman di dado,” demikian sepenggal lirik lagu berjudul "Bapisah Bukannyo Bacarai" yang ikut mengisi belantika musik tanah air era 1970-an. Lagu ini sempat melambungkan nama penyanyi lawas Elly Kasim dan Tiar Ramon di masa itu.

Lagu-lagu ciptaan Satayu tidak hanya dinikmati warga Sumatera Barat, namun juga digemari publik sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura dan lain-lain. Sering lagu ciptaannya didaur ulang sampai beberapa kali.

Lagu karya Syahrul juga sempat mewarnai film layar lebar yang berjudul Merantau. Bagi warga Sumatera Barat, karya Syahrul Tarun Yusuf adalah bentuk peninggalan budaya Minang modern. Syair lagu-lagu Syahrul sering menjadi sumber tesis bagi para mahasiswa karawitan.

Walaupun namanya kalah tenar dibandingkan lagu-lagu ciptaannya, namun Satayu merupakan nama yang tak bisa dilupakan begitu saja dalam sejarah pop Minang klasik yang berakar pada pantun modern.

Dengan menganut prinsip kehati-hatian, tidak asal jadi dalam mencipta lagu serta belajar dari alam dan budaya Minangkabau, Syahrul telah menghasilkan lagu-lagu berkesan mendalam dan abadi bagi masyarakat Minang maupun warga lainnya.

Kabar duka meninggalnya Satayu sontak mengejutkan para seniman di Ranah Minang. Baik di kampung maupun yang tinggal di perantauan. Rekan seprofesi, sesama pencipta lagu Minang Sexri Budiman misalnya.

Seketika mendapat kabar duka tersebut, dari Kota Padang, Sexri Budiman memacu kendaraannya menuju rumah duka di Balingka, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam. Bagi alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang ini, sosok Satayu bukan hanya legendaris melainkan sebagai pelopor lagu Minang.

"Legendaris itu belum spesifik betul, menurut saya beliau pelopor lagu Minang. Roh lagu Minang ada dan amat terasa di lirik-lirik lagu yang beliau ciptakan," kata Budi, demikian sapaan akrab Sexri Budiman.

Dijelaskan, roh minang, cengkok-cengkok dan aroma tradisi minang begitu terasa ketika syair lagu karya Satayu disenandungkan. Terlebih saat diiringi melodi musik. Kemudian dari segi lirik, memuat etika dan estetika yang mengandung pesan dan sindiran yang halus serta lembut.

Raso pareso dibawa turun dan naik amat terasa. Artinya, ketika roh lagu tersebut dibawa ke pikiran terasa indah dan ketika dibawa ke hati terasa santun beretika.

Menurut Budi, orang akan menjadi arif apabila mendengar sebuah karya musik. Bukan sebaliknya, karena arif barulah orang dapat mendengar karya musik. Karya-karya Satayu demikian, artinya, karya lagu yang membuat orang arif sebab memiliki nilai kesan dan tuntunan.

"Tidak ada kata kasar atau kata yang malu kita mendendangkan. Tidak ada kata-kata langsung, seperti suka disampaikan dengan erang dan gendeng, terpakai kata nan empat," paparnya.

Budi mengenal Satayu sebagai sosok yang jujur, sportif dan tidak neko-neko. Sang pelopor, katanya, tak segan-segan memberi jempol untuk memuji karya yang menurutnya bagus. Kemudian tidak akan mengomentari untuk karya yang tidak mengena di hatinya.

Sanjungan Satayu pernah didapatkan Budi saat pertama kali bertemu di tahun 1990. Dipertemukan oleh produser Minang Record dalam projek penyusunan album. Kala itu, lagu ciptaan Budi "Menanti dalam Rasian" yang dinyanyikan oleh Efrinon, satu album dengan lagu-lagu karya almarhum.

"Saya bertemu dengan beliau di Bukittinggi pukul 09.00 pagi. Langsung disalami dan beliau katakan, jangan hilangkan kekaguman saya padamu. Beliau yang senior seorang maestro terang-terangan kagum pada saya yang lebih muda. Berdiri bulu kuduk rasanya. Ketika penyusunan album, lagu saya disarankan beliau paling atas, penilaiannya paling pas dan bagus," kenangnya.

Sosok Satayu, kata Budi, tak jauh berbeda dengan seniman pencipta lagu lainnya seperti almarhum Masrul Mamuja atau Rustam Raschani. Mereka ini dinilai sebagai orang-orang yang selalu mendukung dan membantu membuka jalan bagi anak-anak muda yang punya keinginan untuk maju.

"Pencipta lagu pendahulu yang saya kenal adalah orang-orang hebat dan luar biasa. Tidak sekedar karyanya yang hebat, tapi hatinya juga luar biasa. Mereka maju tanpa menjatuhkan orang lain," tuturnya.

Kedekatan Satayu dengan sesama musisi tanah air, khususnya di Sumatera Barat terbilang sangat baik. Penyanyi Minang lawas, Elly Kasim merasa punya hubungan seperti saudara dengannya. Satayu sudah dianggap sebagai adik kendati almarhum berusia lebih tua ketimbang dirinya.

"Almarhum itu walau usianya lebih tua dari bunda tapi sudah seperti adik. Dia banyak tidur di rumah bunda, bergelut dengan adik-adik. Dia panggil bunda, uni. Pertama kenal beliau di sekitaran tahun 1965, memberi lagu ke bunda Tinggalah Kampung dan Bugih Lamo," kata Elly yang karib disapa bunda.

Setelah itu, kata Elly, Satayu banyak menghabiskan waktu di kediamannya di Jakarta dalam menciptakan lagu. Prosesnya dilakukan dengan cara banyak diskusi antara dirinya dan almarhum. Menurutnya, syair-syair lagu ciptaan Satayu sangat menyentuh.

Ketika menulis di rumahnya, Satayu banyak berkisah tentang pengalaman Elly Kasim sendiri dalam senandungnya. Seperti, Japuiklah Denai, Jan Cameh, Kasih Tak Sampai, dan sebagainya.

"Kami, antara penyanyi dan pencipta menyatu waktu itu. Bunda bercerita dia menuangkan ke dalam lirik lagu. Penentuan kecocokan irama juga dirundingkan. Jadi kita sudah seperti sahabat juga," kisahnya.

Elly Kasim sendiri mengenang pertemuannya terakhir dengan Satayu di tahun 2018 lalu dalam sebuah gala pameran dokumentasi Maestro Satayu di kediamannya di Balingka Kecamatan IV Koto.

Saat itu, Syahrul Tarun Yusuf berulang tahun ke-76 dan masih tampak segar bugar. Kendati duduk di atas kursi roda, Satayu masih mampu melantunkan lagu-lagu kenangan yang ia ciptakan. Ingatannya terhadap lirik lagu yang ia tulis masih begitu melekat.

Sebagai salah satu bentuk penghargaan dan apresiasi dari keluarga, sahabat, fans dan masyarakat setempat, dibuatlah pameran dokumentasi Maestro Satayu yang dipamerkan dalam bentuk foto-foto, birogram. Tujuannya untuk mengenang dan mengabadikan hasil karya Satayu agar bisa menjadi inspirasi bagi generasi penerus.

Pameran yang menampilkan jejak perjalanan dari sang maestro berlangsung sejak 12 Maret sampai 17 Maret 2018. Setahun sebelumnya, Elly pun sempat menerbangkan sang maestro ke ibukota untuk mengikutinya dalam konser Elly yang juga dimeriahkan Judika.

Mengiringi kepergian Satayu, menurutnya, tanah air telah kehilangan sosok seniman yang sangat produktif. Karya-karyanya melegenda, bahkan banyak didaur ulang oleh penyanyi masa kini.

"Selamat jalan Satayu dan tenang di keabadian. Semoga tenang di surgaNya Allah. Keluarga semoga diberi keikhlasan. Bunda sekarang di Jakarta, jadi tidak bisa melayat karena sekarang sedang wabah Covid-19 juga," tutur Elly.

Orang nomor satu di Kabupaten Agam, Bupati Indra Catri pun turut merasa kehilangan atas kepergian putra terbaik Rang Agam itu. Sosok Satayu menurut Bupati, merupakan tokoh yang melegenda, karena berbagai karya seninya sangat luar biasa.

"Bahkan karyanya membawa nama Kabupaten Agam ke kancah Internasional. Tidak hanya melalui lagunya yang spesifik dan pas dengan kondisi daerah, tapi ketokohan Satayu sebagai seorang seniman, sangat disegani, karismatik dan mamak kandung," kata Bupati yang ikut melayat ke rumah duka.

Indra Catri, berjanji akan berupaya tetap membuat sebuah galeri atau museum guna mengenang karya almarhum. Untuk itu, ia minta keluarga dan nagari dapat menyediakan tanah, karena niat itu sudah dicita-citakan sejak 2018 sewaktu acara Galeri Satayu.

"Kita lestarikan, pelihara dan hargai aset atau karya almarhum. Karena karya beliau bukan karya sembarangan. Saya pernah mempelajari karyanya, kalau orang tidak pernah belajar adat, petatah petitih, mengaji, maka tidak akan bisa membuat karya seperti Satayu," sebutnya.

Menurutnya, bukan sekedar bakat dan talenta yang bisa menghasikan karya luar biasa dari Satayu. Tetapi juga memiliki basic dan ilmu pengetahuan yang cukup dalam di bidang agama, adat dan pengalaman.

"Semoga almarhum ditempatkan di tempat terbaik di sisi Allah SWT, serta karya-karyanya bermanfaat bagi kita semua dan selalu menjadi sumber inspirasi," ulas Bupati yang juga pernah berduet dengan Chikita Meidy menyanyikan tembang legendaris Satayu, Bapisah Bukannyo Bacarai ini.

Kini pencipta lagu Minang legendaris itu telah berpulang keharibaan-Nya. Namun, karya-karyanya akan selalu abadi sepanjang masa. Sesuai syair yang dilahirkannya "Bapisah Bukannyo Bacarai". Selamat jalan Mak Satayu, biarlah lagu-lagu menghiasi ruang dengar kami selalu.[]


Berita terkait
Masker Pengantin di Bantaeng Bikin Secantik Syahrini
Situasi sulit bisa membuat orang menyerah dan kalah, bisa juga membuat seseorang menemukan potensi terbaiknya. Fani di Bantaeng memilih yag kedua.
Kisah Perakit Bom Bali Kelahiran Kulon Progo
Berbagi kisah tentang sosok peracik Bom Bali I. Dia adalah Jack Harun, pria kelahiran Kulon Progo, Yogyakarta. Bagaimana kisahnya?
Kisah Pejuang Internet di Pinggiran Limapuluh Kota
Seorang pria berhasil mengalirkan internet ke Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, dengan membangun tower sendiri.