Mengenang Rafa, Bayi Dua Tahun Pasien Cuci Darah

Mengenang Rafa, bayi dua tahun pasien cuci darah. 'Aku sedih dan menangis. Anak itu sudah membuat aku jatuh hati.'
Rafardhan Hasan Athalla dalam gendongan ibundanya, Lienda Wati atau Mama Rafa, saat ia akan menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. (Foto: KPCDI)

Oleh: Petrus Hariyanto*

Pertama bertemu denganmu saat KPCDI (Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia) Lampung menggelar Kopi Darat (Kopdar), pada tanggal 20 Januari 2019 yang lalu. Kamu datang diantar mama kamu, karena usiamu masih dua tahunan. Kamu adalah pasien cuci darah termuda yang datang saat itu.

Awalnya, kamu bingung berkumpul dengan banyak orang yang semuanya lebih tua dari usiamu. Berangsur-angsur, kamu dapat menyesuaikan diri. Mulai berani  menatap dan menyapa yang lain dengan senyum kamu. Awalnya, kami tak tega dengan profilmu, yang sudah cuci darah sejak usia 9 bulan. Senyum kamu yang manis membuat hati kami luluh, seakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan darimu.

Mama kamu  memperkenalkan namamu Rafardhan Hasan Athalla. Mamamu sendiri bernama Lienda Wati, tapi kami akrab memanggilnya dengan nama Mama Rafa.

Ketika diminta forum berbicara dalam Kopdar itu, mamamu berdiri dan menggendong kamu, lantas berbicara tentang siapa diri anaknya. Beberapa saat berbicara, air matanya sudah menetes, bahkan membuat bicaranya berhenti sesaat.

"Saya dan suami lulusan sarjana kesehatan masyarakat UI (Universitas Indonesia). Dan saya juga lulusan S2 Kesehatan Masyarakat di UGM (Universitas Gadjah Mada). Saya tidak lagi bekerja karena harus fokus merawat Rafa. Suamiku, Sigit Budiharto,  sedang mencari pekerjaan barunya di Jakarta,” ujarnya sambil menangis.

Aku memahami apa yang dikatakan Mama Rafa. Di Tangerang juga ada anak berumur dua tahun melakukan cuci darah dengan terapi CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis), persis seperti Rafa. Namanya Rafif.  

Aku  menyaksikan sendiri begitu sulitnya Mama Rafif yang harus menjaga bayinya selama 24 jam. Bayinya usianya sama dengan Rafa dan harus cuci darah. Ayahnya harus berhenti bekerja karena sering bolos untuk merawat Rafif. Mereka kini tinggal di Tangerang, jauh dari desanya di Wonosobo, agar dekat dengan RSCM. RSCM satu-satunya rumah sakit di Indonesia yang bisa menangani pasien seperti Rafa dan Rafif.

Lienda Wati dan suaminya juga harus menerima kenyataan bahwa pengobatannya juga harus di RSCM. Begitu repotnya setiap bulan harus membawa anaknya ke RSCM.

"Saya bingung kalau Rafa sedang drop. Kami kesulitan mendapat fasilitas ambulans menuju Jakarta," keluhnya.

Tak melulu cerita tentang kesedihan, ternyata Rafa bayi yang sangat manis dan penurut. Rafa anak yang  tidak pernah mengeluh dan selalu paham akan kondisinya.

"Setiap kali diajak CAPD  dia langsung paham dan tidak pernah menolak, justru ia ceria. Bahkan, kalau menghadapi jarum suntik saat dirawat, dia  tidak pernah menolak. Paling hanya suara rintihan yang lirih, setelah itu tertawa lagi," ujarnya kini dengan wajah berbinar.

Kami yang datang saat itu sangat terharu ketika mengetahui setiap mendengar azan, Rafa sangat senang.

"Sering kami mengajak Rafa ke masjid. Dia merasa bahagia. Rafa juga sudah bisa mengikuti ayahnya salat berjamaah. Dia sudah mengerti urutan salat," ungkapnya.

Sebagai pasien cuci darah walau melalui terapi CAPD, minum Rafa tetap dibatasi. Kini sang mama dengan sedih menceritakan setiap Rafa minta minum hanya diberi sedikit. 

"Rafa selalu mengucapakan alhamdulillah berulang-berulang, sehabis diberi minum," ujarnya kini dengan mata berkaca.

Rafa Pasien Cuci DarahRafardhan Hasan Athalla dan ibundanya, Lienda Wati atau Mama Rafa (kanan) bersama tim Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) saat ia menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. (Foto: KPCDI)

Koma

"Bismillah... insya Allah ba'da isya ini Rafa akan ke RSCM dengan ambulans. Berangkat dari RSAM (Rumah Sakit Umum Daerah Dr H Abdul Moeloek) Bandar Lampung, didampingi perawat. Mohon doanya, untuk  kelancaran perjalanan kami dan Rafa. Semoga tetap stabil selama perjalanan," ujar Mama  Rafa via WhatsApp.

Berita itu terkirim tanggal 28 Januari 2019. Kutanyakan lebih lanjut ke Ketua KPCDI Lampung, Ellin Igho, lantas ia membenarkan kalau Rafa beberapa hari ini koma.

Beberapa hari berikutnya (1/2/2019), Ibu Verra Jonathan, salah satu Pengurus KPCDI Cabang Depok memberi kabar sudah bisa bertemu Rafa dan mamanya.

"Dia sudah siuman. Sudah bisa tertawa dan bermain lagi," ujarnya dengan senang di ujung telepon.

Tentu saja aku dan teman-teman lainnya senang mendengar kabar ini. Tapi, tak berlangsung lama, Ibu Verra memberi kabar susulan kalau tensi Rafa tak mau turun-turun. 

"Akan ada pemeriksaan lebih teliti dan mendalam lagi kenapa tensi Rafa tinggi terus menerus," ungkapnya.

Tanggal 7 Februari, Ibu Vera memberi kabar mengejutkan. Katanya, obat-obatan sudah tak mampu membuat tensi Rafa stabil.

"Ginjal bayi itu harus diambil (nepherectomy). Dengan tindakan itu Rafa akan survive. Tapi, tindakan medis seperti itu sangat berisiko. Kasusnya sangat sulit," ujarnya dengan suara gemetar di ujung telepon.

Kedua orangtua Rafa mendapat fasilitas palliatif care dari RSCM. "Mereka mendapat pendampingan psikiater dan rohaniawan," ujarnya lagi.

"Sungguh perjalanan kali ini tidak mudah," keluh Mama Rafa kepada Ibu Verra.

Pada hari H, Ibu Verra mengantar Rafa menuju ruang operasi. Hatinya cemas, karena Rafa dalam kondisi lemas. "Aku sangat khawatir akan operasi ini. Sangat berisiko mengancam nyawa Rafa," tulisnya di Facebook.

Operasi urung dilakukan, karena kondisi Rafa tidak stabil. Menunggu kondisi Rafa memungkinkan untuk operasi.

Dalam dinding Facebook Mama Rafa tertulis kalau bayi itu harus dibantu alat pernapasan karena napasnya tidak adekuasi.

"Setiap saturasi oksigennya menurun. Kami bersyukur telah mendapat ruang PICU. Doakan agar Rafa terus berjuang,” tulisnya di dinding Facebooknya.

Rafa Pasien Cuci DarahRafardhan Hasan Athalla akrab disapa Rafa usia 2 tahun yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), mengembuskan napas terakhir, Jumat (22/2/2019). Rafa dimakamkan di kampung halamannya di Lampung. (Foto: KPCDI)

Berpulang

Berita duka itu datang dari Tony Samosir (Ketua Umum KPCDI) lewat pesan WA. Ia sendiri sedang berada di RSCM, diberi kabar  Ellin Igho  kalau Rafa meninggal Pukul 09.00 WIB.

Tony berhasil mengurus kepulangan jenazah Rafa dengan menghubungi sebuah sebuah yayasan sosial yang mau meminjamkan mobil ambulansnya.

Berita kepergian anak itu sungguh membuat sedih teman-teman senasibnya. Doa dan dukungan moril mengalir deras di halaman Facebook.

"Aku sedih dan menangis. Anak itu sudah membuat aku jatuh hati. Lirikannya itu membuat hatiku tersentuh. Layak diberi anugerah “Pejuang Cilik GGK”," ujar Ibu Verra.

Ajakan KPCDI agar ada donasi uang duka mengalir deras di rekening atas nama Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia. Sosok Rafa telah mampu menggerakkan rasa kepedulian dan empati para pasien GGK (Gagal Ginjal Kronik).

Ketika Pengurus KPCDI Cabang Lampung melakukan ta’ziyah ke rumah duka (23/2/2019), Lienda Wati menyambut dengan sukacita. Perempuan itu begitu tegar melepas kepergian anaknya. 

“Rafa tadi dikebumikan Pukul 10.00 WIB di Bandar Lampung. Suasana pemakaman begitu hikmat, dihadiri oleh keluarga dan tetangga,” ujar Lienda.

Lienda lantas menceritakan semua keseharian Rafa. Semua kenangan tentangnya kembali hadir dalam ingatannya. 

“Yang tak bisa kulupakan, dia sangat senang dengan hujan. Bila hujan datang, kami berdua membuka pintu. Lantas Rafa menyodorkan tangannya agar terkena air hujan. Dia bisa tertawa lebar dan bahagia sekali bermain air hujan,” ujarnya.

Kami semua tidak akan melupakan Rafa. Sehari ini aku membuka lagi rekaman video saat Rafa bermain komidi putar. Teriakan tawanya membuat air mataku menetes. Anak lucu itu telah pergi, meninggalkan banyak kenangan. Termasuk kenangan kisah orangtuanya yang gigih merawatnya.

Selamat jalan Rafa. Kamu sudah tidak merasakan sakit lagi. Tidak akan ada lagi jarum yang menyentuh tanganmu. Kamu tidak akan haus lagi. Kamu akan bahagia di sana. Biarkan kami yang masih di sini, tetap berjuang untuk hidup, sekaligus mengisi kehidupan ini.

*Penulis adalah Sekretaris Jenderal Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI)

Baca juga:

Berita terkait
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.