Oleh: Syaiful W. Harahap
Jumlah pekerja anak di Indonesia yang disebut besar sering dikaitkan dengan pengawasan. Yang perlu diingat adalah persyaratan pelamar untuk bekerja di berbagai sektor adalah belum berkeluarga atau belum menikah.
Padalah, banyak penduduk yang membutuhkan pekerjaan justru untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Tapi, karena persyaratan belum menikah mereka tidak bisa bekerja di sektor formal, seperti di pabrik.
Ketika anak-anak kian besar pada usia SD dan SMP kebutuhan kian banyak sedangkan usaha mencari kerja formal terhadang karena status pernikahan, maka pilihan yang logis adalah mempekerjakan anak di pabrik. Sementara orang tuanya mengojek atau bekerja informal sebagai pedagang minuman dan makanan atau pekerjaan lain.
Di pihak lain ada pabrik juga membutuhkan tenaga yang tidak membebani keuangan perusahaan, seperti tunjangan istri dan anak, asuransi, kesehatan, dll.
Anak pada umur 7 – 17 tahun sejatinya menghabiskan waktu di bangku sekolah dan bermain bersama teman-teman sebayanya. Tapi, sebagian dari mereka harus meninggalkan bangku sekolah karena bekerja untuk menopang kehidupan keluarga. Bahkan, ada anak-anak yang sama sekali tidak pernah duduk di bangku sekolah.
Pada tahun 2017 pekerja anak di Indonesia diperkirakan 1,5% dari populasi anak sebesar 84,4 juta. Selain di sektor formal, terutama di kota-kota besar, anak-anak di pedesaan bekerja di sektor pertanian, perkebunan dan perikanan. Di beberapa daerah anak-anak bekerja di jermal di tengah laut. Bahkan, terjadi pelecehan seksual. Pada tahun 2017 anak-anak yang bekerja di sektor pertanian 59%, jasa 24%, manufaktur 7%, dan di beberapa sektor lain.
Melalui “Hari Dunia Menentang Pekerja Anak” (World Day Against Child Labour) yang diperingati setiap tanggal 12 Juni, masyarakat dunia menyerukan untuk mengakhiri pekerja anak. Sejalan dengan ini pemerintah menargetkan Indonesia bebas pekerja anak pada tahun 2022. Untuk mendukung bebas pekerja anak, pemerintah juga mendeklarasikan program “Zona Bebas Pekerja Anak” di kawasan-kawasan industri di seluruh Indonesia.
Soalnya, program ‘wajib belajar’ yang menyasar anak-anak usia 7-12 tahun yaitu sebagai murid SD. Selain itu usia masuk kerja perlu dinaikkan dari 15 tahun ke umur 18 tahun. Umur ini berarti sudah lulus SMA/SMK/Aliyah.
Kalau pun terpaksa menerima anak-anak perusahaan diharapkan tidak mengbaikan hak-hak universal anak yaitu mendapatkan makanan bergizi, bermain dan belajar. Hanya dengan memberikan hak-hak anak ini pekerja ikut membantu ekonomi keluarga anak-anak itu tanpa merampas hak-hak anak.
Perlindungan terhadap anak-anak terkait dengan dunia kerja diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU ini diatur semua hal yang berhubungan dengan pekerja anak mulai dari batas usia diperbolehkan kerja, siapa yang tergolong anak, pengupahan dan perlidungan bagi pekerja anak.
Ada pula UU No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No 138 Tahun 1973 mengenai Batas Usia Minimum Diperbolehkan Bekerja. Umur paling rendah untuk boleh bekerja adalah 13 tahun. Karena tidak secara formal pekerja anak sering jadi korban pengupahan yang tidak layak.
Ini merupakan pekerjaan rumah bagi Menaker Ida Fauziyah yaitu menghapus pekerja anak dan mempertimbangkan syarat belum menikah bagi calon pekerja. Justru sebaliknya yang diutamakan mendapat pekerjaan formal adalah orang tua, baik laki-laki maupun perempuan, karena mereka membutuhkan pekerjaan untuk menghidupi keluarganya. []