Untuk Indonesia

Debat Capres: Bisakah Kita Tidak Impor Beras?

Satu pernyataan yang selalu diulang-ulang oleh Prabowo saat debat tadi malam adalah kata 'swasembada beras'.
Denny Siregar penulis buku "Tuhan dalam Secangkir Kopi"

Oleh: Denny Siregar*

Satu pernyataan yang selalu diulang-ulang oleh Prabowo saat debat tadi malam adalah kata "swasembada beras".

Swasembada adalah konsep memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri. Seperti kita tahu, beras adalah makanan pokok orang Indonesia yang berjumlah ratusan juta manusia.

Dengan tanah di negeri ini yang sangat luas, dimana Prabowo sendiri saja menguasai 340 ribu hektare, masak sih kita gak bisa swasembada - dalam artian tidak impor - bahan makanan pokok kita seperti beras?

Bicara "swasembada" memang gagah, karena itu Prabowo senang beretorika dengannya. Masalahnya untuk menuju swasembada itu, jalannya panjang dan sangat tidak mudah.

Yang pertama harus dibangun untuk menuju itu adalah infrastrukturnya yaitu irigasi atau pengairan. Jadi masalahnya bukan hanya masalah ketersediaan lahan, tapi ada saluran airnya gak? Kan tanah kering gak mungkin ditanami padi.

Dan Jokowi sudah membangun infrastruktur air itu sejak ia memimpin. 58 bendungan besar ia bangun untuk memenuhi kebutuhan air di sawah. Belum lagi ada ribuan embung atau tempat menyimpan air kecil. Kerja keras itu saja baru bisa mengairi 20 persen sawah di Indonesia. Baru 20 persen! Bayangkan....

Nah, apakah dalam kondisi itu kita harus tidak impor beras??

Catat, impor beras itu semata-mata bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi yang paling penting adalah menjaga kestabilan harga. Dengan banyaknya cadangan, maka sulit sekali mafia pangan memainkan harga beras, karena ketika mereka mencoba bermain harga, pemerintah akan menggelontorkan cadangannya supaya harga tetap stabil.

Masalah beras ini bukan hanya masalah produsen atau petani, tetapi yang lebih penting lagi adalah konsumen atau pembeli. Para konsumen ini sensitif sekali. Naik harga 200 rupiah saja menjeritnya ke mana-mana dan bisa mengakibatkan pergolakan sosial.

Jadi sebenarnya yang jauh lebih penting dari sebuah retorika "swasembada pangan" adalah masalah "ketahanan pangan". Kalau pertahanan pangan kita bagus, kelak kita akan menuju swasembada. Semua ada step-stepnya, tidak bisa langsung melejit sesuai keinginan.

Dan juga masalah impor ini juga bukan hanya masalah kestabilan harga, tetapi ada nilai "hubungan" dengan negara tetangga.

Layaknya tetangga, negara kita juga bertetangga dengan Thailand dan Vietnam, negara penghasil beras besar di dunia. Karena mereka memang fokus pada pangan, makanya di negara mereka masalah beras sudah mencapai tahap surplus.

Surplus adalah kondisi dimana ada nilai lebih dari apa yang kita butuhkan. Nah, kelebihan ini tidak bisa disimpan lama-lama oleh Thailand dan Vietnam, harus dijual ke banyak negara atau ekspor termasuk Indonesia.

Tentu Indonesia harus menerima beras ekspor mereka. Kenapa? Karena Indonesia juga punya kepentingan menjual sesuatu ke Thailand dan Vietnam. Kalau Indonesia setop impor beras dari mereka, Thailand dan Vietnam bisa juga menstop hasil ekspor kita. "Enak aja...," kata Thailand dan Vietnam. "Kalau barang lu mau gua beli, ya beli juga dong barang gua."

Jadi impor itu juga penting sepenting ekspor. Tanpa ada "barter" barang dagangan, niscaya negeri kita akan hancur karena tidak ada yang mau berdagang ma kita. Ekonomi berada pada titik bawah, dan bisa saja chaos karena perut kelaparan.

Jokowi menjelaskan pandangan itu pada debat tadi malam dengan sangat jelas, sehingga seharusnya Prabowo mengerti bahwa tidak mungkin kita tidak impor beras, terutama untuk saat ini dimana infrastruktur pangan belum selesai dikerjakan.

Memangnya kita ingin Indonesia seperti Korea Utara yang menganggap bahwa mereka bisa hidup sendirian? Hancur lebur lah, kita kawan....

Sudah diseruput kopinya?

*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.