Jakarta - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa enam saksi di Markas Komando Satuan Brimob Polda Maluku, pada Jumat, 18 Maret 2022 untuk mengonfirmasi dugaan mantan Bupati Buru Selatan Tagop Sudarsono Soulisa (TSS) menarik sejumlah uang dari para aparatur sipil negara (ASN) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buru Selatan, Provinsi Maluku, tanpa dasar aturan yang jelas.
"Enam saksi hadir dan dikonfirmasi terkait dengan dugaan adanya penarikan sejumlah uang dari para ASN Pemkab Buru Selatan oleh tersangka TSS tanpa dasar aturan yang jelas. Selain itu, tim penyidik juga mendalami pengetahuan para saksi perihal aliran uang untuk tersangka TSS dan aset yang dimilikinya," kata Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri, dalam keterangannya di Jakarta, Senin, 21 September.
Ali menyebutkan, enam saksi tersebut terdiri atas lima anggota DPRD Buru Selatan, yakni Ahmad Umasangadji, Ismail Loilatu, Herlin F Seleky, Mokesen Solisa, dan Vence Titawael, serta anggota TNI/Bintara Pembina Desa (Babinsa) Desa Mageswaen Ramil 1506-02 Koptu Husin Mamang.
KPK memanggil empat saksi lainnya, yaitu Wakil Ketua DPRD Buru Selatan La Hamidi dan tiga anggota DPRD Buru Selatan, yakni Orpa A Seleky, Abdul Gani Rahawarin, serta Ahmadan Loilatu. Namun, mereka tidak hadir.
"Tiga saksi tersebut tidak hadir dan tim penyidik akan melakukan penjadwalan pemanggilan ulang," ujar Ali.
Sebelumnya, pada Rabu, 26 Januari 2022 lalu, KPK telah menetapkan tiga tersangka kasus dugaan suap, gratifikasi, serta tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait dengan pengadaan barang dan jasa di Buru Selatan tahun 2011-2016. Mereka adalah Tagop Sudarsono Soulisa (TSS) dan Johny Rynhard Kasman (JRK) dari pihak swasta sebagai penerima suap serta Ivana Kwelju (IK) dari pihak swasta sebagai pemberi suap.
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan Tagop yang menjabat Bupati Buru Selatan periode 2011-2016 dan 2016-2021 diduga memberikan perhatian lebih untuk berbagai proyek Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Buru Selatan, di antaranya, mengundang secara khusus kepala dinas dan kepala bidang Bina Marga untuk mengetahui daftar dan nilai anggaran paket setiap pekerjaan proyek. Bahkan, Tagop memberikan perhatian lebih itu sejak awal masa jabatannya.
Selain itu, Tagop juga merekomendasikan dan menentukan secara sepihak terkait dengan rekanan mana saja yang dapat dimenangkan untuk mengerjakan proyek, baik melalui proses lelang maupun penunjukan langsung.
Dari penentuan para rekanan itu, KPK menduga Tagop meminta sejumlah uang dalam bentuk fee senilai 7 hingga 10 persen dari nilai kontrak pekerjaan. Khusus untuk proyek dari dana alokasi khusus, besaran fee ditetapkan sekitar 7 sampai 10 persen dan ditambah 8 persen dari nilai kontrak pekerjaan.
KPK mengungkap, proyek-proyek tersebut adalah pembangunan jalan dalam kota Namrole Tahun 2015 bernilai proyek sebesar Rp 3,1 miliar, peningkatan jalan dalam kota Namrole (hotmix) bernilai proyek Rp 14,2 miliar, peningkatan jalan ruas Wamsisi-Sp Namrole Modan Mohe (hotmix) bernilai proyek Rp 14,2 miliar, serta peningkatan jalan ruas Waemulang-Biloro dengan nilai proyek Rp 21,4 miliar.
Dalam hal penerimaan sejumlah fee tersebut, Tagop diduga menggunakan orang kepercayaannya bernama Johny untuk menerima sejumlah uang dengan menggunakan rekening bank miliknya. Selanjutnya, uang itu ditransfer ke rekening bank milik Tagop.
KPK juga menduga, Tagop mendapatkan sebagian dari nilai fee sekitar Rp 10 miliar yang diberikan oleh Ivana karena telah dipilih untuk mengerjakan salah satu proyek pekerjaan yang anggarannya bersumber dari dana alokasi khusus pada tahun 2015. []
Baca Juga
- Yunarto Wijaya Yakin Anies Tak Akan Ngumpet Soal Formula E
- PSI DKI Resmi Ajukan Hak Interpelasi Guna Meminta Penjelasan
- Wagub: Pemprov DKI Tak Pernah Menutupi Anggaran Formula E
- PSI Ajukan Hak Interpelasi Soal Balapan Mobil Listrik