Pandemi dan Krisis Iklim Tingkatkan Buruh Anak di Dunia

Bencana alam, kelangkaan pangan dan perang memaksa jutaan anak-anak di dunia meninggalkan sekolah untuk bekerja
Buruh anak bekerja di Dhaka, Bangladesh. (Foto: dw.com/id/Sony Ramany/NurPhoto/picture alliance)

TAGAR.id, Jakarta - Bencana alam, kelangkaan pangan dan perang memaksa jutaan anak-anak di dunia meninggalkan sekolah untuk bekerja. Perlindungan anak dinilai harus menjadi prioritas dalam bantuan pembangunan di masa depan.

Sampai tahun lalu, rumah Alamin yang berusia 12 tahun masih berdiri di bantaran Sungai Ilsha, selatan Bangladesh. Namun, banjir merenggut segalanya. Sejak saat itu, Alamin, ibu dan kedua adiknya yang masih balita terpaksa mengungsi ke kawasan kumuh di Ibu Kota Dhaka.

Mereka kini bekerja kasar untuk bertahan hidup. Alamin membantu membongkar bangkai kapal, sementara ibunya memasak untuk para buruh di pabrik pembongkaran. Upah yang mereka terima cuma cukup untuk membeli makan dan menyewa rumah.

"Dulu kami sempat makmur,” kisah Amina Begum, ibu Alamin, kepada Reuters. "Mendiang suami saya bertani dan anak saya belajar membaca di sekolah.”

pekerja anak utamaPekerja anak di Indonesia (Foto: factsofindonesia.com)

Kerugian akibat banjir dan biaya pengobatan bagi sang ayah yang mengidap kanker sebelum meninggal dunia, akhirnya menguras harta terakhir keluarga Begum.

Di Bangladesh yang acap dilanda banjir dan siklon tropis, kisah serupa dialami ribuan keluarga lain yang kini menghuni kampung-kampung kumuh di Dhaka. Bagi anak-anak, bencana yang dipicu krisis iklim memaksa mereka meninggalkan bangku sekolah dan menjalani kehidupan sebagai buruh kasar.

Dan kisah mereka dipastikan bukan yang terahir, seiring eskalasi krisis iklim di seluruh penjuru dunia.

pekerja anakJumlah buruh anak di dunia menurut wilayah pada 2020. (Sumber: dw.com/id)

Dampak pandemi perparah krisis

Menyambut Hari melawan Buruh Anak Sedunia pada Minggu, 12 Juni 2022, badan PBB untuk hak anak, Unicef, memperingatkan dampak ekonomi dari pandemi corona bisa menimpa sembilan juta anak-anak di seluruh dunia.

Padahal menurut Unicef, saat ini saja sudah sekitar 160 juta anak-anak yang tercatat meninggalkan sekolah dan dipaksa bekerja untuk menyambung hidup.

Bahkan sebelum pandemi sekalipun, upaya memerangi buruh anak sudah kehilangan momentum, kata Direktur Unicef Jerman, Christian Schneider. "Sasaran dunia internasional adalah menghapuskan buruh anak hingga 2025,” kata dia. "Jika kita tidak bertindak cepat, maka sasaran itu akan semakin menjauh,” imbuhnya.

Jumlah buruh anak sempat menurun antara 2000 dan 2016 ketika berkisar di angka 94 juta anak-anak. Namun dalam periode 2016-2020, jumlahnya kembali meningkat sebanyak 8,4 juta anak, menurut perkiraan Unicef dan Organisasi Buruh Internasional (ILO).

pekerja anak2Pekerja anak di perkebunan sawit (Foto: earthisland.org)

Petaka bagi negeri agrarian

Bangladesh, yang dialiri hampir 700 sungai, memiliki lahan subur yang menghidupi jutaan petani. Namun pesona agraria itu belakangan kian terancam oleh erosi dan banjir yang semakin mendesak masyarakat di pedesaan.

Menurut Unicef, anak-anak yang mewakili 40 persen populasi di Bangladesh, terutama menjadi korban terbesar dalam ekosodus keluarga petani ke kawasan miskin di Dhaka. Kebanyakan tidak bersekolah dan menggantungkan hidup di kawasan yang rawan kejahatan.

Saat ini sekitar 1,7 juta anak-anak di Bangladesh tercatat bekerja sebagai buruh. Seperempat dari jumlah tersebut berusia lebih muda dari 11 tahun.

Di kawasan kumuh di Dhaka, anak-anak terpantau bekerja di pabrik peleburan logam, galangan kapal, penjahitan atau bengkel mobil. Sebagian lain bekerja sebagai buruh kasar di pasar atau terminal.

Pekerja AnakIlustrasi Pekerja Anak. (Foto: Istimewa)

Investasi masa depan

Karena bencana alam tidak hanya merenggut fondasi ekonomi keluarga, tetapi juga merusak infrastruktur pendidikan.

Dua organisasi bantuan Jerman, Welthungerhilfe dan Terre des Hommes, sebabnya mendesak perubahan paradigma dalam bantuan pembangunan dan proyek kemanusiaan.

Menurut kedua lembaga, perubahan iklim, pandemi dan perang menuntut kucuran dana bantuan kepada sektor "yang penting dan bernilai eksistensial bagi anak-anak.” Hal itu mencakup "antara lain hak bagi lingkungan yang sehat dan perlindungan dalam perang atau konflik, serta perlindungan dari kewajiban bekerja bagi anak.”

Kedua organisasi juga melaporkan kelangkaan pangan akibat kekeringan dan dampak invasi Rusia di Ukraina menempatkan sekitar 300 juta orang dalam bahaya kelaparan.

Mereka menuntut pendanaan yang konsisten bagi "untuk tujuan sipil,” yakni pembangunan infrastruktur kesehatan dan pendidikan bagi kawasan yang terdampak.

Pertemuan puncak G7 di Elmau, Jerman, akhir Juni mendatang menjadi kesempatan bagi organisasi bantuan untuk menarik perhatian negara-negara kaya. Menurut kedua lembaga bantuan, G7 harus menambah porsi bantuan kemanusiaan sebanyak 14 miliar dolar AS setiap tahun. Jumlah itu diperlukan untuk mencegah munculnya bencana kelaparan. [rzn/hp (kna,afp,rtr)]/dw.com/id. []

Berita terkait
Buruh Anak di Tambang Berlian Afrika Tengah di Masa Pandemi
Selama pandemi virus corona buruh anak di tambang berlian di Republik Afrika Tengah, negara penghasil berlian terbesar di dunia, meningkat drastis
0
Pandemi dan Krisis Iklim Tingkatkan Buruh Anak di Dunia
Bencana alam, kelangkaan pangan dan perang memaksa jutaan anak-anak di dunia meninggalkan sekolah untuk bekerja