Malam Mencekam Usai 'Mengotori' Penginapan Bantaeng

Perjalanan yang tak terlupakan bagi seorang wanita saat menyusuri Makassar hingga Bantaeng di Sulawesi Selatan. Kisah ini akan menyala abadi.
Ilustrasi wanita yang meminta tolong. (Foto: law-justice.co).

Bantaeng - Rencana melarikan diri dari hiruk pikuk kehidupan perkotaaan malah berujung mengerikan. Malam kelam yang jauh lebih seram dan tak pernah kubayangkan sebelumnya datang menghampiri. Beberapa konflik membuatku memutuskan kabur dari rumah di Makassar dan memilih Bantaeng sebagai tempat pelarian saat itu.

Semua berawal dari kecerobohanku yang berujung dengan kesialan. Pun perjalanan ini dapat memberiku cukup banyak pengetahuan dan pelajaran baru. Saya akan menceritakan. Ini kisahku.

Pada Minggu, 1 September 2019, bertepatan dengan bulan Muharram sebagai awal bulan baik, namun berjalan sangat buruk bagiku. Jujur saja, saat membagikan cerita ini bulu kudukku lagi-lagi merinding.

Tapi apa boleh buat, bukankah 'mereka' sebenarnya memang selalu ada di sekitar kita? 

Penginapan yang kutempati memang tidak terlalu besar. Tampilannya dari luar tidak menimbulkan kesan apapun. Tapi cukup seram.

Sebenarnya bulan Muharram adalah bulannya kedamaian, tidak boleh ada peperangan. Namun sayangnya, waktu itu aku tidak sedang berdamai dengan diri sendiri.

Saya dapat referensi banyak dari teman-teman kampus, di sini katanya bisa untuk membuang kepenatan. Untuk menyerap udara dingin pegunungan maupun bersantai dengan aroma pantai saya bisa dapatkan semuanya di Bantaeng dengan mudah. Tetapi saya lupa kalau sedang bepergian dalam keadaan 'kotor'. 

Seandainya untuk tetap bertahan di rumah, bolak-balik sibuk dengan urusan kampus, belum dihitung dengan sekelumit permasalahan yang jadi tanggung jawab saya sebagai manajer salah satu event organizer (EO) benar-benar membuatku butuh untuk pergi menjauh dari itu semua.

Saya bukan hendak kabur lalu meninggalkan tanggung jawab, rencanaku hanya ingin menghilang sehari, itu saja. 

Saya Gadis yang Ceroboh 

Memasuki kabupaten sederhana ini sesaat cukup membuat pikiranku tenang. Di kiri kanan jalan masih banyak pohon raksasa, yang jika dipeluk, tangan pun tidak akan mampu menggapai batangnya.

Saking asyiknya mengendarai motor sembari menikmati semilir angin ketika waktu telah memasuki magrib, tiba-tiba saya harus mengerem mendadak, nyaris saja melindas kucing hitam.

"Kucing setan bikin kaget," kataku menyalahkan binatang kecil itu untuk menutupi kedongkolanku. Tapi cepat juga larinya, saya tidak menyaksikannya lagi. Padahal belum 10 detik yang lalu nyawanya nyaris melayang tergilas roda depan.

Saya memilih sebuah penginapan yang berada di pusat kabupaten. Sehingga memudahkan akses untuk jalan-jalan ke sekitar. Ternyata tidak salah jika daerah ini dijuluki Butta Toa, alias tanah tua. 

Keramahan orang-orangnya luar biasa, mereka menyambut pendatang sepertiku yang cuma pelesir domestik. Senyum ramah dan hangat sapa dari masyarakat sekitar membuatku seolah berada di rumah sendiri.

Penginapan yang kutempati memang tidak terlalu besar. Tampilannya dari luar tidak menimbulkan kesan apapun. Tapi cukup seram sih, atau mungkin karena saya datangnya pada malam hari.

Malam yang Panjang Sungguh Kelam 

Setelah mengambil kunci di resepsionis, saya langsung bergegas menuju kamar. 'Becek', spontan, ini benar-benar membanting mood baikku. Tak pakai pikir panjang, saya langsung mengempaskan diri di kasur empuk penginapan. 

Otot dan saraf yang tadinya tegang jadi benar-benar kendor. Persendian tubuhku yang kaku, perlahan mulai relaks. Hingga lama kelamaan semakin ringan dan tidak terasa lagi beban apapun. 

Sepertinya saya telah memasuki fase tidur berkualitas dalam versi sadar. Ya, versi sadar. Kenapa? Karena mataku masih membelalak. Hanya saja tubuhku tidak dapat digerakkan sama sekali.

Saya mulai ragu, ini tidur berkualitas atau bukan. Fasenya berubah drastis menjadi sensasi yang menakutkan. Ada apa ini, saya mau bangun tapi tidak bisa. Saya mencoba mengeluarkan suara tetap tidak bisa. 

Sekarang saya benar-benar takut dengan apa yang sebenarnya terjadi, karena ini sangat aneh. Ingin teriak, tapi hanya mulut yang dapat bergerak, suaraku tercekat.

"Astagfirullahhaladzim," saya menyebut kalimat itu dengan setengah teriak setelah berhasil lolos dari kejadian mencekam yang membuatku tampak keheranan. Sebenarnya apa yang terjadi. Durasinya memang singkat hanya sekitar semenit, namun terasa sangat lama. 

Dan yang membuatku beristigfar berkali-kali adalah suara ketawa yang kudengar tadi. Siapa yang tertawa di depan pintu kamar. Apa mungkin seseorang melihatku saat telentang dengan insiden konyol tadi. Apa penyewa kamar lainnya yang kebetulan lewat. Tapi setahuku, kamar kiri, kanan, dan depan, sedang kosong alias tidak dihuni tamu.

Saya jalan bertelanjang menuju kamar mandi. Persetan dengan darah nifas yang mengotori lantai.

Saya masih bingung bukan kepalang, terus bertanya-tanya dalam hati. Apa yang salah denganku hari ini. Apakah bisa kesialan menghantui hingga ke tempat pelarian. Tidak cukupkah beban pikiranku tertinggal di Makassar saja?

Benar-benar lelah yang tidak berujung. Saya jalan bertelanjang menuju kamar mandi. Persetan dengan darah nifas yang mengotori lantai. Saya benar-benar masa bodoh dengan segala hal.

Setelah keramas, kupikir akan merasa lebih segar. Biasanya sih begitu. Tapi kenapa kepalaku terasa semakin berat. Apa saya kelewatan dan keramas terlalu banyak.

Saya benar-benar merasa di ambang batas. Emosiku tidak karuan dan seketika saya terdiam. Tatapanku terpaku pada lantai ke tempat pakaian berserakan. Harusnya beberapa tetes darah kotorku juga ada di sana. Kenapa sekarang jadi bersih?

Saya melihat telapak kaki untuk memastikan, apakah secara tidak sengaja saya sudah menginjaknya. Tapi ternyata tidak. Kakiku masih bersih sejak mandi tadi. Lalu siapa yang membersihkannya?

Saya cepat-cepat berpakaian, kemudian melangkah setengah berlari menuju resepsionis, karena mulai khawatir dengan teror ini. Benar-benar sangat tidak lucu lagi. 

"Serius? barusan tidak ada yang bersihkan kamar?" Pertanyaanku sudah berputar berulang-ulang. Sampai-sampai saya mulai kasihan melihat resepsionis yang manis itu mulai panik dan risih dengan pertanyaanku yang aneh. 

Padahal, sudah disampaikan dia berkali-kali, tidak ada penghuni atau pengunjung baru yang menempati kamar di sekitar kamarku dan tidak ada cleaning service atau siapa pun yang punya jadwal membersihkan kamarku sejak tadi. Lalu siapa yang membersihkan kotoranku tadi?

Saya panik. Jangan-jangan ada yang sengaja membuatku takut. Ada yang membuntutiku. Atau mungkin teman-teman EO yang sengaja mengerjaiku. 

Jika benar, akan kutembak kepala mereka dengan pistol air sampai mereka menyesal dan memohon ampun atas niat terkutuk yang berjalan lancar dan total mengerjaiku.

Lalu, saya kembali ke kamar. Sambil memijat kepala yang beratnya bikin ampun sampai membuat mataku memerah. Kemudian memunguti pakaian kotor yang masih berserakan di lantai.

Masih jelas saya mengingat beberapa tetes darah kotor tadi. Lalu, ke mana perginya, tadi masih di sana padahal. Sempat terbersit niat membersihkannya setelah mandi.

Saat itu saya mulai kehilangan akal sehat. Mencari-cari di sudut kamar yang hanya berukuran 3x4 meter itu. Bolak-balik ke toilet, membuka tutup pintu lemari dan mana mungkin seseorang mengikuti tanpa sepengetahuanku.

Sambil asik berselencar di media sosial (medsos), samar-samar kembali terdengar suara di luar sana. Seperti seseorang berjalan, ada juga seperti sesuatu yang diseret. Suara itu semakin dekat dan berhenti di depan kamar.

Apa itu tadi? kalau seseorang memang datang, bukankah dia seharusnya mengetuk pintu terlebih dahulu atau berbicara sesuatu.

Saya penasaran, ada apa di luar sana. Perlahan saya membuka kunci pintu kamar. Dan, yang kulihat hanyalah seekor kucing hitam kecil sejarak kurang lebih 2 meter sedang duduk membelakangiku. Belum sempat saya mendekatinya tapi kucing itu sudah pergi berlalu.

Kulirik jam di telepon genggam, ternyata waktu masih menunjukkan jam 11 malam, waktu Indonesia Tengah. Saya sadar, hingga detik ini belum ada satupun asupan yang masuk ke perut. Cuma banyak makan angin di sepanjang perjalanan tadi.

Saya baru tahu, ternyata makan angin bisa bikin sekenyang itu. Mengingat hal tadi, saya bisa sedikit menghibur diri sendiri. Kemudian memutuskan untuk tidur saja, besok waktunya berkeliling dan membuktikan kata teman-temanku tentang pesona kabupaten kecil ini.

Menyusuri Lorong Gelap

Seumur hidup, tempat yang paling kubenci adalah lorong. Sebuah lorong, ditambah lagi sempit, penerangan yang remang-remang, apalagi gelap adalah sesuatu yang benar-benar membuat dadaku sesak.

Saya menyusuri sebuah lorong yang tidak diketahui sebelumnya. Sepertinya tempat ini adalah bangunan tua yang tidak terurus puluhan tahun lamanya. Bentuknya masih sangat kuno.

Di ujung sana sebuah bayangan kecil menarik perhatianku. Ekornya bergerak perlahan menyentuh tubuh bagian belakang. Ternyata seekor kucing lagi.

Lorong ini benar-benar memuakkan, mengapa ada tempat seseram ini di dunia. Namun, saya terus berjalan walau sesekali tersandung sesuatu yang entah apa. Sangat gelap dan saya juga tidak ingin melihatnya.

Saat disoroti, kepalanya menoleh hingga berputar 180 derajat. Tidak ada mata, hidung, dan mulut.

Saya hanya terus berjalan mendekati kucing kecil itu. Ketika semakin dekat, saya terus mempercepat langkah dan si kucing perlahan membalikkan kepala.

Saat disoroti, kepalanya menoleh hingga berputar 180 derajat. Tidak ada mata, hidung, dan mulut. Seluruh wajahnya hanya tertutup bulu hitam sama seperti warna tubuhnya.

Saya kaget, pikiranku hanya berlari. Berlari sekencang dan sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. Namun semakin berpikir untuk berlari kencang, semakin berat derap langkah kubawa.

Saya berteriak meminta tolong tapi kejadian yang sama saat pertama kali menginjakkan kaki di sini terulang kembali.

Suaraku tercekat, badanku lemas dan kakiku tak bisa digerakkan. Kini, saya benar-benar mati rasa dan pasrah dengan apapun yang akan terjadi.

Saya terbangun dan mendapati seluruh tubuhku sudah basah berpeluh keringat. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Sungguh malam yang kacau dengan kejadian-kejadian penuh misteri yang membuatku ingin segera pergi dari sana.

Setelah berkemas merapikan barang bawaan, saya memutuskan meninggalkan tempat itu. Sebuah pelarian yang sempurna dan membuatku trauma.

Suatu saat, dalam keadaan yang lebih baik, saya berjanji akan datang kembali ke tempat ini. Mungkin memang, sejak awal saya sudah melakukan banyak hal buruk.

Andai saja saya bisa bersikap lebih terbuka dan mau membagi masalah dengan tim kerja ataupun keluarga, mungkin saya tidak harus jalan sejauh ini dan mengalami malam suram yang jauh lebih menegangkan dari semua masalahku yang sebenarnya. []

Berita terkait
Tragedi Berdarah Rumah Berhantu di Bantaeng
Di sebuah rumah angker tak berpenghuni di Bantaeng, Sulawesi Selatan, kabarnya sempat terjadi tragedi berdarah, saat suami memenggal istrinya.
Pengalaman Bertemu Hantu di Rumah Kontrakan di Sleman
Beberapa biji salak tergantung di sekitar rumah kontrakan itu di Sleman, menandakan ada makhluk astral berupa anak kecil. Dan memang itu terjadi.
Kuntilanak Penculik dari Bantaeng Sulawesi Bernama Anja
Menjadi cerita turun-temurun Anja sosok kuntilanak menakutkan di Banteang, Sulawesi Selatan, karena kerap menculik anak kecil selepas magrib.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.