Semarang – Tangan Beladiana (25) luwes memainkan kuas yang telah dibubuhi cat warna pink. Perempuan itu tampak fokus menyelesaikan pewarnaan dari sketsa lukisan hewan yang ia gambar sebelumnya.
Sesekali ia berdiri, kemudian duduk lagi, menyesuaikan posisi sketsa yang akan diwarnai. Tak peduli kesan kumuh yang ada di sekitar lokasi, bule cantik ini begitu menikmati goresan demi goresan kuasnya.
Dominasi warna cerah putih dan kombinasi merah muda lengkap dengan pernak-pernik ekspresi kucing akhirnya menghiasi lembar papan tripleks itu.
Melukis di papan tripleks? Ya, pelukis grafiti asal Kolombia ini tidak sedang melukis di atas kanvas atau kertas. Tidak pula melukis di tembok yang pada umumnya dilakukan pelukis grafiti.
Beladiana melukis di atas permukaan papan tripleks yang menjadi pengganti tembok di hunian sementara (huntara) warga korban penggusuran Tambakrejo, Kota Semarang, Jawa Tengah.
"Kebetulan saya masih di Kota Semarang. Tahu kegiatan ini lewat postingan teman di media sosial, diajak untuk menggambar di papan huntara. Saya tersentuh jadi saya ikut," kata dia, Sabtu 15 Juni 2019.
Dengan bahasa Indonesia yang kurang lancar, di sela merapikan hasil lukisan, Beladiana sesekali bercerita tentang kesan dan niatnya datang ke huntara Tambakrejo. Ia tersentuh dengan kondisi sosial dari warga Tambakrejo, khususnya anak-anak.
Beladiana datang bersama kawannya dari Meksiko semata untuk memberi dukungan moril ke penghuni huntara.
"Agar bisa berbagi bersama warga yang terdampak dan menghibur mereka. Semoga bisa memberi keceriaan untuk anak-anak," ucap dia.
Tak hanya di papan luar bangunan huntara, sekat pembatas di dalam huntara juga tidak luput dari sapuan kuas para pelukis grafiti.
Hunian yang terletak di bawah jembatan Jalan Arteri Yos Sudarso, Semarang Utara, tersebut memang jauh dari kata layak bagi tumbuh kembang anak-anak.
Tembok hanya terbuat dari tripleks. Tidak ada penyekat maupun bilik ruangan untuk memisahkan setiap keluarga yang menghuni.
Namun apa boleh buat fasilitas yang dibuat oleh Pemkot Semarang ini menjadi satu-satunya tempat mereka berlindung dari teriknya siang dan dinginnya malam.
Siang itu sekitar 15 pelukis grafiti dari berbagai kota di Jawa Tengah dan luar Jawa Tengah ikut andil melukis di papan tripleks huntara. Mereka saling mengisi dan membantu menyelesaikan lukisan di permukaan tripleks berukuran cukup besar.
Tidak Ada Sponsor
Koordinator kegiatan Satrio Sudibyo menyatakan aksi sosial berupa melukis di papan huntara berawal dari keinginan sejumlah seniman lukis Semarang membantu meringankan beban warga terdampak penggusuran. Tidak dengan uang atau barang tapi lewat kemampuan melukis yang dimiliki.
Dan ide melukis baru bisa terealisasi setelah bangunan huntara, lengkap dengan tembok tripleks terbangun.
"Saya kemudian posting melukis di huntara lewat Instagram dan ternyata disambut positif netizen," ujar dia.
Malah rekan sesama pelukis dari luar kota, maupun mancanegara, seperti Beladiana menyanggupi untuk ikut serta. "Dari Bandung, Bekasi juga ada yang mau ikut," tutur dia.
Bahkan saat diinformasikan bahwa kegiatan tidak dibiayai pihak mana pun, mereka tak surut untuk berpartisipasi.
Lukisan maupun motif itu membuat hati kami menjadi cerah. Selama ini kami hanya melihat abu-abu
"Tidak ada sponsor di kegiatan ini. Semuanya bawa peralatan masing-masing dan bahannya seperti cat beli pakai uang sendiri juga," sambung Satrio.
Namun, lanjut dia, dengan pertimbangan minimnya permukaan tripleks yang bisa dilukis, peserta akhirnya dibatasi 15 pelukis.
"Kalau dua pelukis dari luar negeri itu, dari Meksiko dan Kolombia, kebetulan berada di Semarang, sedang ikut program pertukaran pelajar," imbuh Satrio.
Butuh Bantuan
Ketua RT 5 RW 16, Tambakrejo, Rohmadi mengaku sangat bersyukur ada pelukis yang mau memperindah huntara. Lukisan mampu membuat nuansa dan pemandangan yang berbeda.
"Lukisan maupun motif itu membuat hati kami menjadi cerah. Selama ini kami hanya melihat abu-abu," ucap dia.
Hidup di bedeng bernama huntara, bagi 97 kepala keluarga di Tambakrejo ini memang dilematis. Penawaran dari pemerintah untuk menempati Rusanawa Kudu dan hunian transito di Tugu terpaksa ditolak.
Pertimbangannya, mayoritas mata pencaharian warga mengandalkan hasil laut yang tak jauh dari Tambakrejo.
Ketika pindah ke Kudu maupun Tugu, mereka akan kesulitan mengakses ke laut. Belum lagi persoalan harus pindah sekolah bagi anak-anak dan adaptasi di lingkungan baru.
Warga akhirnya sepakat memilih menempati lahan kosong yang dinamai Kalimati. Lahan ini persis di bawah jembatan Jalan Arteri Yos Sudarso, tak jauh dari lokasi perkampungan sebelumnya.
Sempat ada bentrok antara warga dengan aparat Satpol PP kala melakukan penggusuran pada 9 Mei 2019 lalu. Anggapan kesewenang-wenangan pemerintah yang dipicu proyek revitalisasi Banjir Kanal Timur oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana ini memanas hingga media sosial.
Bahkan akun Instagram Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi sempat diserang oleh netizen dan aktivis sosial. Namun hubungan antara pemerintah dan warganya mencair setelah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo turun memediasi kedua belah pihak.
Hendrar Prihadi pun juga sudah turun langsung menemui warga dan memastikan bangunan huntara yang disepakati bisa selesai secepatnya.
Rohmadi mengaku dengan segala keterbatasan yang ada di huntara, ia dan warga masih bisa menerima ketimbang harus pindah ke tempat lain.
Sejumlah permintaan warga, utamanya terkait dengan ketersediaan fasilitas umum (fasum), sudah disampaikan ke Pemkot Semarang.
Satu di antaranya adalah daya tampung huntara yang masih terbatas. Bangunan huntara saat ini belum mampu menampung semua warga Tambakrejo. Dari 97 kepala keluarga korban penggusuran, huntara baru bisa menampung 35 kepala keluarga.
"Sisanya masih mengontrak di luar," sebut dia.
Fasum lain yang belum disediakan adalah toilet umum dan musala. Dua fasilitas ini sudah ada namun dengan kondisi seadanya lantaran swadaya masyarakat dan aktivis sosial.
"Musala kami tidak mampu menampung banyak jamaah. Kami ingin musala ditempatkan di bawah jembatan arteri yang saat ini dijadikan tempat kain perca milik warga luar. Agar lebih banyak menampung jamaah," beber dia.
Pria paruh baya ini pun sangat berharap agar pemerintah segera dapat merealisasikan fasum huntara yang sangat dibutuhkan warga. Termasuk memperhatikan persoalan kesehatan warga.
"Di sini banyak debu karena dekat jalur truk. Jadi sangat rentan kena penyakit, terutama anak-anak dan orang tua," tukas dia.[]
Baca juga:
- Pemkot Semarang Akan Tutup Lokalisasi Sunan Kuning
- Wali Kota Semarang: Tak Upacara, TPP PNS Dipotong
- Suryanto, Sopir Angkot Jadi Anggota DPRD Semarang
- Revitalisasi Ancam Situs Sejarah Semarang