Pematangsiantar - Lima pemimpin gereja di Indonesia meminta pasal penodaan atau penistaan agama ditinjau ulang keberadaannya dalam produk hukum negara ini.
Hal itu disampaikan mengingat produk hukum dimaksud sangat diskriminatif dan sarat dengan pasal-pasal karet.
Sikap itu mereka sampaikan merespons kasus terakhir menimpa empat tenaga kesehatan di RSUD dr Djasamen Saragih, Pematangsiantar.
Ke lima pemimpin gereja yang menyampaikan sikap tersebut di antaranya, Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pdt Dr Robinson Butarbutar, Ephorus Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Pdt Dr Deddy Fajar Purba.
Bishop Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Pdt Oloan Pasaribu MTh, Ephorus Huria Kristen Indonesia (HKI) Pdt Manjalo Pahala Hutabarat STh MM, dan Sekum Moderamen Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Pdt Rehpelita Ginting STh MMin.
"Kami mengimbau pemerintah, DPR/DPD, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan lembaga-lembaga negara/pemerintahan lainnya, baik di pusat maupun di daerah untuk meninjau ulang produk hukum terkait penodaan agama yang sangat diskriminatif dan sarat dengan pasal-pasal karet," demikian isi pernyataan sikap tersebut.
Proses peninjauan ulang disebut bisa melalui legislative review, judicial review, ataupun hal-hal lain sesuai hukum yang berlaku.
Baik untuk norma maupun pelaksanaan/enforcement dari produk hukum tersebut dengan prinsip yang berkeadilan dan restorative justice untuk membawa kedamaian di masyarakat.
"Gereja-gereja di Sumatera Utara membuka diri terhadap seluruh komponen masyarakat untuk mencari solusi bersama dalam menyelesaikan masalah ini agar bisa tetap fokus bersama pemerintah untuk menghadapi pandemi Covid-19, demi terciptanya hubungan sosial yang baik dan harmonis," kata para pemimpin gereja tersebut.
Kasus Nakes Siantar
Pemimpin gereja tersebut juga merespons kasus kriminalisasi empat tenaga kesehatan (nakes) yang bertugas di RSUD dr Djasamen Saragih Pematangsiantar, Sumatera Utara.
Sebelumnya pada Minggu, 20 September 2020, seorang pasien perempuan di RSUD dr Djasamen Saragih Pematangsiantar meninggal dunia dan empat nakes laki-laki melakukan pemulasaran jenazah untuk protokol pemakaman pasien Covid-19 yang harus segera dilakukan.
Kami percaya hal ini didasari oleh semangat dari para aparat penegak hukum dalam melakukan tugasnya secara adil
Tindakan ke empat nakes tersebut dilakukan dengan alasan ketiadaan nakes perempuan untuk pemulasaran jenazah. Kasus ini kemudian mendapat protes dari suami pasien yang meninggal dan melaporkannya ke Polres Pematangsiantar.
Kepolisian menerima laporan dan menindaklanjutinya, di mana kemudian ke empat nakes ditetapkan sebagai tersangka pada 25 November 2020 dengan Pasal 156A tentang Penistaan Agama.
Kasus dilimpahkan ke kejaksaan dan dinyatakan berkas lengkap atau P21. Ke empat nakes pun menjadi tahanan kota oleh kejaksaan.
Baca juga:
- Mereka yang Terjerat Pasal Penistaan Agama di Indonesia
- Daftar Orang Islam Dipenjara Karena Penistaan Agama
Namun pada 24 Februari 2021, Kejaksaan Negeri Pematangsiantar akhirnya mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2), artinya kasus dihentikan dengan alasan unsur-unsur penistaan agama tidak terpenuhi.
Para pemimpin gereja melihat kasus ini telah mengundang berbagai reaksi dalam masyarakat.
Karena itu, untuk menjaga kerukunan dan kedamaian dalam situasi pandemi Covid-19 di Pematangsiantar, para pemimpin gereja menyatakan apresiasi terhadap Kejaksaan Negeri Pematangsiantar yang mengeluarkan SKP2 pada 24 Februari 2021.
"Kami percaya hal ini didasari oleh semangat dari para aparat penegak hukum dalam melakukan tugasnya secara adil, profesional, tanpa intervensi atau tekanan dari pihak lain. Tindakan mereka sejalan dengan semangat penegakan hukum pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mengedepankan pendekatan restorative justice dan membawa kedamaian dalam masyarakat," demikian bagian isi pernyataan sikap tertulis para pemimpin gereja diterima Tagar pada Jumat, 26 Februari 2021.
Kemudian, para pemimpin gereja mengajak semua komponen masyarakat di Kota Pematangsiantar, untuk bersama-sama menjaga kehidupan sosial yang toleran, saling menghargai, dan kondusif. Membuka ruang dialog secara khusus di Kota Pematangsiantar yang dikenal sebagai salah satu kota paling toleran di Indonesia.
Para pemimpin gereja juga menghormati, mendukung, dan mendoakan mereka yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan yang bekerja dengan kode etik mereka, bekerja untuk kesehatan masyarakat.[]