Untuk Indonesia

Kasus Nakes Siantar: Delik Penistaan Agama Harus Dicabut

Kasus Nakes di Siantar itu dalam konteks hukum Islam pun tidak dipidanakan. Harapan saya delik penistaan agama dicabut dari hukum Indonesia.
Ilustrasi - Tenaga Kesehatan (Nakes) pasien Covid-19, mengalami lelah mental dan fisik. (Foto: Tagar/APP sinarmas)

Oleh: Syafiq Hasyim*

Kasus Pematangsiantar sungguh membuat kita semua terkaget. Empat tenaga kesehatan (Nakes) digugat oleh seorang suami yang istrinya meninggal karena Covid-19. Empat petugas kesehatan yang laki-laki memandikan jenazah istri seorang muslim yang bukan muhrimnya. Selain itu, empat Nakes tersebut diduga non-muslim.

Oleh suaminya, empat petugas Nakes tersebut dituntut telah melakukan penistaan agama. Bahkan ada demonstrasi, antara lain dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia untuk menuntut kepala rumah sakit di mana seorang istri tadi dirawat, agar dicopot.

Dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) Siantar tutur diminta menjadi saksi ahli dan menurutnya kasus ini bisa dimasukkan dalam kategori kasus penistaan agama.

Jika benar kasus ini disidangkan dengan tuduhan penistaan agama, hal ini akan menjadi preseden buruk bagi para petugas kesehatan untuk memandikan si mayat, karena Covid-19.

Berdasarkan pengetahuan yang saya dapatkan dari sumber-sumber yang tertulis di media online, penuntutan Nakes sebagai penista agama itu terlalu berlebihan.

Dalam suasana normal, tidak dalam keadaan darurat, seseorang meninggal memang harus dimandikan. Dalam bahasa agama Islam, memandikan mayat adalah bagian dari fardu kifayah. Mereka yang memandikan adalah kerabat dekat yang memiliki hubungan darah atau mahram.

Bahkan dalam keadaan normal, rumah sakit biasanya memberikan hak untuk memandikan mayat kepada pihak keluarga. Namun keadaan sekarang adalah bukan keadaan yang normal. Keadaan pandemi Covid-19. 

Selama ini pemandian jenazah terkena Covid-19 memang sudah ada petunjuknya. Dalam hal pemandian dan penguburan, rumah sakit rumah sakit merujuk pada fatwa MUI No. 18 Tahun 2020. Dalam fatwa tersebut dinyatakan, "Umat Islam yang wafat karena Covid-19 dalam pandangan syara' termasuk kategori syahid akhirat dan hak-hak jenazahnya wajib dipenuhi, yaitu dimandikan, dikafani, disalati, dan dikuburkan, yang pelaksanaannya wajib menjaga keselamatan petugas dengan mematuhi ketentuan-ketentuan protokol medis".

Kemudian soal memandikan mayat, menurut fatwa MUI No. 18 Tahun 2020, jenazah bisa dimandikan tanpa harus dibuka pakaiannya. Dan memang berdasarkan fatwa ini petugas wajib berjenis kelamin sama dengan jenazah yang dimandikan dan dikafani. Fatwa ini tidak berhenti di sini. Jika tidak terdapat jenis kelamin yang sama dengan yang dimandikan, maka pemandian diurus oleh petugas yang ada, dengan syarat jenazah tetap memakai pakaian saat dimandikan atau ditayamumkan.

Katakanlah jika dalam melaksanakan kewajiban memandikan jenazah itu salah, maka kesalahan itu tidak dipidanakan dalam konteks hukum Islam.

Sebelum dimandikan, najis harus dibersihkan. Lalu petugas memandikan jenazah dengan mengucurkan air secara merata ke seluruh tubuh. Jenazah dikafani tiga lapis, lalu dibungkus dengan kain yang tidak tembus air atau plastik, dan pastikan tidak ada cairan yang keluar dari jenazah.

Sebelum jenazah dimasukkan ke peti mati, keluarga inti bisa melihat jenazah untuk terakhir kalinya dari jarak dua meter. Rumah sakit rumah sakit yang ada memang tidak harus menggunakan fatwa MUI di atas, namun pada umumnya fatwa MUI lah yang dirujuk karena MUI selama ini dianggap sebagai rujukan oleh lembaga-lembaga pemerintah kita.

Bahkan MUI Siantar meminta agar semua rumah sakit tidak mengulangi kejadian yang sama. Karenanya, semua harus mengikuti fatwa MUI dalam hal pengurusan jenazah Covid-19.

Menurut saya, fatwa MUI sebenarnya telah memberi ruang jika jenis kelamin yang berbeda dibolehkan memandikan jenazah karena Covid-19. Petugas laki-laki dibolehkan dalam keadaan darurat untuk memandikan mayat Covid-19 perempuan, dan demikian pula sebaliknya, jika memang keadaan memaksa. Jenazah tetap memakai pakaian ketika dimandikan atau ditayamumkan.

Di sinilah sebenarnya argumen darurat digunakan dalam fatwa MUI. Karenanya untuk sampai pada tuntutan bahwa empat Nakes ini telah melakukan penistaan agama, sebenarnya perlu penjelasan yang detail dari pihak rumah sakit tersebut. Misalnya apakah pihak rumah sakit tersebut memiliki protokol sendiri dalam memandikan mayat, dan tidak memakai fatwa MUI?

Sebagaimana saya katakan bahwa fatwa MUI itu bukan kewajiban dipakai oleh lembaga-lembaga pemerintah, karena fatwa MUI bukan bagian dari aturan negara yang resmi. Ini yang perlu dan harus didalami lebih lanjut. Kemudian, apakah empat Nakes itu melakukannya karena ketidaktahuan atau bagaimana? Kalau mereka tidak tahu, tuntutan penistaan agama juga terlalu berlebihan, apalagi jika merujuk pada fatwa MUI di atas.

Harapan saya bahkan delik ini secara umum bisa dicabut. Karena selain mengancam kebebasan juga bisa menimbulkan polarisasi dalam masyarakat.

Memang benar bahwa memandikan jenazah adalah kewajiban kifayah, artinya satu dari masyarakat yang melaksanakan kewajiban tersebut sudah menggugurkan pihak masyarakat lainnya. Katakanlah jika dalam melaksanakan kewajiban memandikan jenazah itu salah, maka kesalahan itu tidak dipidanakan dalam konteks hukum Islam.

Melaksanakan kewajiban salat misalnya. Jika seseorang tersebut salah dalam melaksanakannya, misalnya menyalahi syarat dan rukun salat, karena ketidaktahuan atau karena lupa, perkara mereka tidak bisa dipidanakan. Itu hal yang prinsip dalam hukum Islam.

Mereka salah dan kurang syarat atau wajib dalam pelaksanaan ibadah wajib itu diberikan jalan keluarnya.

Jika empat Nakes ini memang melaksanakan prosedur rumah sakit, dan juga melakukannya tanpa perbuatan yang sengaja dan menista, maka sekali lagi saya melihat kasus ini sebagai kasus yang sifatnya bisa diselesaikan di luar jalur pidana, apalagi bila pemidanaan itu memakai delik penistaan agama.

Jikapun empat Nakes ini seorang non-muslim, atau semuanya non-muslim, dalam kondisi tertentu, mereka dibolehkan memandikan jenazah seorang muslim, apalagi dalam keadaan darurat.

Dalam pendapat sebagian ulama Syafiiyah, pemandian oleh non-muslim dianggap cukup. Artinya non-muslim boleh memandikan jenazah muslim.

Sebagai catatan, saya berpendapat baik dalam keadaan normal apalagi dalam keadaan darurat, delik penistaan agama sebaiknya tidak digunakan dengan mudah di kalangan kita. Harapan saya bahkan delik ini secara umum bisa dicabut. Karena selain mengancam kebebasan juga bisa menimbulkan polarisasi dalam masyarakat. Mengancam kebebasan, karena delik ini seringkali digunakan untuk membidik kaum minoritas dan kaum yang berbeda dengan kaum mayoritas.

Polarisasi tidak hanya dengan pihak di luar agama, juga terjadi dalam sesama agama. Misalnya bagaimana jika empas Nakes tersebut beragama Islam, namun karena ketidaktahuan atau karena prosedur yang harus mereka patuhi itu mewajibkan untuk memandikan mayat tersebut, apa yang terjadi dengan keluarga empat nakes tersebut? 

Jika yang memandikan itu non-muslim pun karena keadaan yang membuat mereka harus memandikan jenazah, maka membawa mereka ke pengadilan dengan delik penistaan agama pun tetap merupakan tindakan yang berlebihan.

Banyak hal yang memang kita harus pikirkan kembali agar delik penistaan agama tidak menyebabkan hidup kita semua menjadi sempit dan terancam oleh hukum kita sendiri.

*Direktur Perpustakaan dan Pusat Budaya Universitas Islam Internasional Indonesia, Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama

Berita terkait
Sikap Para Pemimpin Gereja atas Kasus Empat Nakes di Siantar
Pemimpin gereja di Sumut, sampaikan pernyataan sikap atas kasus kriminalisasi empat tenaga kesehatan di Pematangsiantar.
Empat Nakes Terjerat Pasal Penistaan Agama, Ini Kata MUI Sumut
MUI Sumatera Utara mengatakan, dalam ajaran Islam tidak boleh seseorang memandikan jenazah berlainan jenis yang bukan muhrimnya.
Pelapor Keberatan Kejaksaan Hentikan Kasus 4 Nakes Siantar
Tim kuasa hukum pelapor kasus penistaan agama empat nakes RSUD Pematangsiantar keberatan dengan penghentian kasus oleh kejaksaan.