Makassar - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar sebut adanya nelayan diproses hukum dengan tuduhan dugaan tindak pidana pengerusakan atau perobekan mata uang, merupakan bentuk kriminalisasi terhadap nelayan yang melakukan perlawanan dan penolakan aktivitas tambang pasir laut oleh PT. Royal Bosklis di perairan laut Kelurahan Kodingareng, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar, Sulsel.
Nelayan yang diperiksa dalam kasus ini masing-masing, Manre, Suardi, Bahariah dan Sarti. Para nelayan ini diperiksa berdasarkan laporan polisi nomor: LP-A/283/VII/2020/SPKT, 17 Juli 2020 lalu.
Upaya kriminalisasi ini sangat melukai rasa keadilan nelayan. Seharusnya, polisi menyadari jika nelayan melakukan aksi protes hanya untuk mempertahankan ruang hidup mereka.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar, Edy Kurniawan mengatakan, kasus ini terbilang dipaksakan oleh polisi. Karena, mengabaikan prinsip due process of law atau terlapor tidak diberi hak dan kesempatan untuk memberikan klarifikasi dalam tahap penyelidikan, namun langsung dipanggil dengan status saksi pada tahap penyidikan.
Berita terkait:
- Ini UU yang Dilanggar Perobek Uang Kertas di Makassar
- Robek Uang Kertas, Tiga Warga Makassar Diperiksa Polisi
"Secara subtansi, pasal yang disangkakan kasus ini sangat dipaksakan. Penyidik mempersulit diri mengurai rumusan pasal dan membuktikan unsurnya. Padahal terlapor hanya merobek amplop yang isinya sama sekali tidak diketahui dengan maksud menolak pemberian ganti rugi dari pihak Boskalis," kata Edy saat ditemui di kantor LBH Makassar, Selasa 4 Agustus 2020.
Menurutnya, nelayan atau terlapor dalam kasus ini tidak mengetahui amplop pemberian dari PT Boskalis ternyata berisi rupiah uang. Sehingga, nelayan ini tidak bermaksud merendahkan mata uang rupiah itu.
Olehnya, Edi menyakini jika perkara ini adanya upaya kriminalisasi dan diduga kuat dilakukan untuk meredam aksi protes masyarakat menolak aktivitas tambang PT. Boskalis di laut Sangkarrang, Kota Makassar.
"Upaya kriminalisasi ini sangat melukai rasa keadilan nelayan. Seharusnya, polisi menyadari jika nelayan melakukan aksi protes hanya untuk mempertahankan ruang hidup mereka (wilayah tangkap ikan) yang dirusak PT. Boskalis serta memperjuangkan hak konstutusionalnya sebagai warga negara," tambahnya.
Terpisah, Direktur Polisi Air (Polairud) Polda Sulsel, Kombes Pol Hery Wiyanto membantah jika perkara tindak pidana merusak mata uang adalah bentuk kriminalisasi terhadap nelayan.
"Kriminalisasi kalau tidak ada tindak pidana yang terjadi dilakukan proses hukum, tapi ini kan ada tindak pidana yang di lakukan oleh masyarakat," katanya.
Menurutnya, kasus ini masih terus berproses di Polairud Polda Sulsel. Bahkan, sejumlah saksi telah dilakukan pemeriksaan dan dalam waktu dekat akan dilakukan gelar perkara, penetapan tersangka.
"Masih dalam proses, saksi-saksi sudah kita lakukan pemeriksaan, kita akan gelarkan lagi untuk proses berikutnya. Kalau nantinya kasus ini memenuhi unsur pasal yang kami sangkakan, maka penyidik pasti akan lakukan proses hukum terkait ini," tegasnya.
Sebelumnya, bereda video di sosial media yang memperlihatkan adanya nelayan yang merobek amplop berisikan uang rupiah. Aksi warga yang merobek amplop berisi uang tersebut viral dan berbuntut pelaporan dan proses hukum. []