Laporan Khusus: Payah Kali Toba Ini...

Payah kali Toba ini, stereotipe yang masih melekat di benak banyak orang luar tentang masyarakat Danau Toba. Benarkah demikian?
Danau Toba dilihat dari views Panatapan, Parapat, Kabupaten Simalungun. (Foto: Tagar/Fetra Tumanggor)

Hari sudah sore, gerimis mengguyur ketika lelaki tua itu menyambut kami di ujung gang. Perjalanan kami berakhir saat Pak Tua yang memperkenalkan diri sebagai Pak Simarmata itu dengan ramah menuntun kami masuk ke vila yang dia kelola di daerah Parbaba, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.

Kalau bahasa orang Barat bilang, it’s just the time, sudah waktunya. Menurut saya, tahun 2022 tahun take off-nya Danau Toba

Pak Simarmata lalu mempersilahkan kami meminum teh hangat yang ternyata telah dia siapkan menyambut kedatangan kami. Senyum dan keramahan yang kembali kami dapatkan di akhir perjalanan.

Kami memulai perjalanan dari Pematangsiantar, sebuah kota kecil nan sejuk di Sumatera Utara. Dari Pematangsiantar kami lalu menuju ke Raya, Saribudolok, Tongging, Silalahi, Tele, Pangururan, dan berakhir di Parbaba. Sebagian besar jalanan yang kami lalui sangat mulus dan sudah diperlebar, kecuali di daerah Kabupaten Simalungun mulai dari Pematangsiantar sampai Saribudolok, masih banyak jalan rusak dan di beberapa tempat bahkan seperti kubangan kerbau. Begitu juga jalur dari Parapat menuju Pematangsiantar, sebagian besar masih rusak. PR yang harus segera diselesaikan oleh bupati yang baru terpilih.

Jalan Rusak Danau TobaJalanan yang rusak parah di jalur Pematangsiantar -Parapat. (Foto: Tagar/Fetra Tumanggor)

Di sepanjang jalan bertumbuh banyak penginapan, kafe, rumah makan, dan tempat-tempat rekreasi yang instagramable memanfaatkan view Danau Toba. Beberapa tempat dan rumah makan yang kami singgahi, para pelayan di sana sangat ramah, seperti keramahan Pak Simarmata. Tak ada harga makanan yang selangit seperti yang pernah viral di media sosial dua tahun lalu.

Tampaknya masyarakat di Kawasan Danau Toba sangat menyadari bahwa tempat mereka akan menjadi ‘Bali’ baru dan dijadikan destinasi pariwisata super prioritas oleh pemerintah. Mereka menangkap peluang itu dan mulai berbenah.

Stereotip masyarakat Toba yang keras, tak ramah, mudah tersinggung, dan sesukanya menentukan harga secara perlahan mulai menghilang. Setidaknya itulah kesan yang ditangkap oleh Tagar sepanjang perjalanan.

Memang, di media sosial masih kerap muncul suara sumbang tentang pariwisata Danau Toba yang tak ramah dan tidak bersih. Bahkan, seorang pejabat Kementerian Pariwisata pernah mengeluh kepada Tagar tentang sikap masyarakat di sekitar Danau Toba.

“Payah kali Toba ini,” ujarnya dengan logat Sumatera Utara yang kental karena kebetulan dia juga berasal dari sana. “Apanya yang payah?” tanya Tagar.

Jalan mulus Danau TobaJalanan mulus jalur Tele-Pangururan. (Foto: Tagar/Fetra Tumanggor)

Dia lalu bercerita, Kementerian Pariwisata sudah mencanangkan dan melaksanakan beberapa program terbaik untuk Kawasan Danau Toba sebagai bagian dari perintah Presiden Joko Widodo yang menjadikan Danau Toba sebagai salah satu dari 5 destinasi super prioritas di Indonesia.

“Salah satu yang dilakukan Kementerian Pariwisata adalah membuat toilet standar internasional di beberapa tempat di kawasan Danau Toba. Namun tak berapa lama setelah selesai dibangun, beberapa bagian dari toilet tersebut hilang dicuri seperti wastafel, cermin, lantai keramik, dan lainnya. Akhirnya tak bisa difungsikan. Bagaimana kita (Danau Toba) bisa maju kalau sikap masyarakatnya masih seperti itu?” katanya.

Toni Sianipar, pemerhati pariwisata Danau Toba, tak setuju dengan stereotip ‘payah kali Toba ini’. Ia mengakui bisa jadi ada masyarakat yang nakal namun hal itu tak bisa menjadi kesimpulan bahwa masyarakat Toba itu payah.

Lingkar luar SamosirPembangunan jalan lingkar luar Pulau Samosir di daerah Tuktuk yang terus dikebut penyelesaiannya oleh Kementerian PUPR. (Foto: Tagar/Fetra Tumanggor)

Toni lalu membandingkan bagaimana pariwisata di Hongkong dan Beijing. “Orang Toba itu lima kali lebih ramah dari orang Hongkong dan Beijing dalam hal menerima wisatawan,” katanya.

Ia lalu bercerita bagaimana ketika di Hongkong masuk ke sebuah toko kamera dan ingin mengetahui harga. Toni tidak diperbolehkan menanyakan harga kalau tak ingin membeli. “Anda mau beli nggak? Kalau tak mau beli jangan tanya-tanya harga,” kata Toni menirukan ucapan si penjual.

Hal yang sama dia jumpai di Beijing, China. Bagaimana sopir taksi di sana sesukanya menentukan tarif dengan berpura-pura tak tahu Bahasa Inggris.

“Di Toba kita masih jauh lebih banyak menjumpai orang yang ramah. Kalaupun ada yang nakal, anggap saja itu sebagai tantangan dan jangan mau terjebak karena keputusan tetap ada di tangan kita,” ujar Toni, yang juga konsultan perencana Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Toba, di Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian PUPR.

Ia menegaskan respons masyarakat Toba terhadap kedatangan wisatawan saat ini adalah bagian dari pertumbuhan di saat pemerintah menggenjot pariwisata Danau Toba dalam 5 tahun terakhir ini.

“Tak semua masyarakat siap dengan derasnya pembangunan yang dilakukan pemerintah dalam 5 tahun terakhir ini. Kendala utama juga karena selama ini pemerintah daerah kurang melakukan sosialisasi dan kurang melibatkan masyarakat,” ujarnya.

Kampung Warna Wani Tigarihit ParapatKampung Warna-Warni Tigarihit Parapat, Kabupaten Simalungun, yang berada di Kawasan Danau Toba. (Foto: Tagar/Ist)

Ia mengatakan 5 tahun yang sudah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah ideal mempersiapkan Danau Toba take off.

“Setelah tahun ini (2021) semuanya akan selesai. Semua program siap, kapal baru ada, dermaganya siap. Kalau bahasa orang Barat bilang, it’s just the time, sudah waktunya. Menurut saya, tahun 2022 tahun take off-nya Danau Toba,” kata Toni.

Turisme Jadi Harapan Baru

Meski infrastruktur sudah siap, Toni menyebut masih ada dua kendala utama yakni kesiapan pemerintah daerah dan masyarakat. Menurutnya, pembenahan pertama harus kepada tujuh pemerintah daerah yang mengelilingi Danau Toba yakni Samosir, Toba, Simalungun, Karo, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, dan Dairi.

Ia mengatakan selama ini sinergi antara pemerintah daerah tujuh kabupaten di kawasan Danau Toba kurang berjalan dengan baik. “Mereka harus sepamahaman bagaimana cara pariwisata ini bagian dari ekonomi daerah, nasional, dan masyarakatnya itu sudah akan siap,” ujar pria yang juga menjabat Ketua Bidang Parekraf di Perkumpulan Gaja Toba, alumni ITB asal Toba. 

Pembenahan kedua, kata Toni, kepada masyarakat. Menurutnya selama ini masyarakat sebenarnya belum paham, bukan belum siap. “Dan mereka menyatakan diri siap tapi nggak paham sama saja dengan nggak siap,” katanya.

Ia menambahkan perubahan signifikan yang paling utama adalah masyarakat tahu bahwa ada tourism yang menjadi satu harapan baru. “Itu justru yang menjadi susah. Jika masyarakat sudah tahu dan nanti kalau pemerintah daerah bisa mengkomunikasikan dengan baik masyarakat tinggal digali dengan full speed,” ucapnya.

Menurutnya, selama ini komunikasi pemerintah daerah tentang manfaat pariwisata kepada masyarakat itu tidak jelas dan tidak clear. Ia lalu bercerita tentang seorang pejabat daerah yang berbicara tentang manfaat pariwisata kepada para petani. Pejabat itu mengatakan kalau nanti berdiri hotel di tempat itu maka pihak hotel akan membeli sayur dari petani di sekitar situ.

1000 Tenda Danau Toba1000 tenda Kadera Toba Festival di Desa Meat, Kabupaten Toba tahun 2019. (Foto: Mian Manurung/FES Indonesia)

“Menurut saya itu adalah cara memberitahu yang salah. Mereka (petani) akan bilang selama ini saya juga jualan sayur kok, terus apa manfaatnya kalau hotel yang beli? Emang mereka mau beli dengan harga 10 kali lipat? Enggak kan?” kata Toni.

Ia mengatakan manfaat pariwisata yang paling besar adalah infrastuktur daerah akan berkembang sehingga ekonomi lain yang disebut sebagai multiplier effect akan lebih berdampak.

“(Multifplier effect) itu yang lebih mahal. Jangan bilang petani jual sayur. Manfaat pariwisata yang paling simpel adalah masyarakat terbuka. Mereka melihat infrastuktur yang mereka lihat itu nyaman begitu. Setelah itu mereka akan menikmati manfaat ekonomi yang lebih luas bukan hanya sekadar jualan sayur atau souvenir," ucapnya.

Menurutnya manfaat multiplier effect itu anak petani bisa kerja di hotel. Setelah itu anaknya akan memodali orang tuanya untuk memperluas sawahnya. “Padinya yang selama ini kurang modal udah bisa dibiayai anaknya,” katanya.

Kuburan dan Danau TobaSalah satu ciri khas wisata Danau Toba adalah banyaknya kuburan keluarga yang bisa dilihat sepanjang jalan. (Foto: Tagar/Fetra Tumanggor)

Hal senada disampaikan Tumpak Wilmar Hutabarat, pendiri dan Direktur 1000 Tenda Caldera Toba Festival. Ia mengatakan pada lapisan grass root tidak ada perubahan yang signifikan dan mengakar yang terjadi, sebab orientasi pembangunan pariwisata hanya ada pembangunan fisik saja.

“Padahal permasalahan terbesar kita adalah sumber daya manusia, baik itu dari aspek SDM pemerintahan maupun SDM masyarakat sekitaran Danau Toba,” kata Tumpak Wilmar yang akrab disapa Si Parjalang.

Menurutnya, PR terbesar adalah mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam pembangunan industri pariwisata itu sendiri. Perlu pemberdayaan masyarakat, tidak menjadikan masyarakat hanya sebagai objek, melainkan sebagai subjek.

“Masyarakat harus dijadikan aktor untuk seluruh proses pembangunan pariwisata, mulai dari komunikasi awal untuk mengetahui apa yang mereka butuhkan di desa mereka, mereka ingin desanya dijadikan seperti apa, dan masyarakat maunya pariwisata yang bagaimana. Sebab, masyarakat desa itu sendirilah yang lebih mengetahui seperti apa kekuatan, kelemahan, tantangan dan ancaman desa mereka,” katanya.

Kami nggak pernah tau dan kami ngga pernah diundang sosialisasi. Ya kami hanya menunggu

Ia menambahkan pembangunan pariwisata haruslah berbasiskan komunitas masyarakat lokal dan pemerintah hanya sebagai fasilitator.

Menurutnya, dari pengalamannya melaksanakan 1000 Tenda Caldera Toba di beberapa tempat di Kawasan Danau Toba dalam 3 tahun terakhir, sebenarnya masyarakat perlahan-lahan sudah menyadari dampak sosial dan ekonomi dari pariwisata.

“Mereka seharusnya lebih diyakinkan lagi, bahwa pariwisata adalah masa depan. Namun karena masyarakat sering hanya dijadikan objek, tidak diajak komunikasi secara menyeluruh, komunikasi cenderung hanya elitis, pemerintah selalu berjanji dan cenderung lebih tahu kondisi dan kebutuhan desa, akhirnya banyak kekecewaan yang timbul dari masyarakat. Melihat kondisi sampai hari ini, masyarakat optimis Danau Toba maju, namun pesimis dengan pola pendekatan pemerintah,” ujarnya.

Siantar Etnik TripAir Terjun Situmurun di Danau Toba, salah satu lokasi kunjungan Tur keliling Danau Toba dari Siantar Etnik Trip. (Foto: Dok. Siantar Etnik Trip)

Merespons apa yang disampaikan Tony dan Si Parjalang, Tagar kembali teringat cerita dari Galingging, pemilik rumah makan Galbers di pinggiran Danau Toba di Tongging, Kabupaten Karo, yang dijumpai Kamis, 7 Januari 2021.

Galingging mengatakan sampai saat ini tak ada sosialisasi dan komunikasi yang dilakukan pemerintah daerah, mulai dari perangkat desa, kecamatan, dan kabupaten tentang pembangunan yang dilaksanakan di Tongging.

“Sementara kita lihat sekarang dermaga baru sedang dibangun. Katanya kapal penyeberangan akan hadir. Sepanjang pantai di Tongging ini juga baru selesai dibronjong. Kabarnya pemerintah akan menjadikan Tongging ini sebagai pusat kuliner dan oleh-oleh tapi sampai sekarang kita belum pernah disosialisasikan,” kata Galingging.

Sebagai masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup pada pariwisata, Galingging mengatakan sangat bersyukur pemerintah menjadikan Danau Toba sebagai destinasi pariwisata super prioritas karena tingkat kunjungan wisatawan akan semakin banyak dan mungkin akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.

Sandiaga UnoSandiaga Uno dengan latar belakang Danau Toba dari The Caldera. (Foto: Tagar/IG)

Meski bersyukur, namun Galingging mengatakan keresahannya karena kabarnya warung makan yang dia kelola akan digusur dan digantikan dengan konsep cafe yang akan dibangun pemerintah.

“Tapi kami nggak tau mau berbuat apa sekarang, apakah kami jadi digusur, apakah kami tetap bisa berjualan di tempat ini, kami nggak pernah tau dan kami ngga pernah diundang sosialisasi. Ya kami hanya menunggu,” ujar Galingging.

Dana Triliunan untuk Danau Toba

Seperti diketahui, Kawasan Danau Toba dalam lima tahun terakhir menjadi salah satu kawasan yang dikebut pembangunannya. Dana triliunan pun digelontorkan untuk membuat danau terbesar di Asia Tenggara ini menjadi sebuah ‘Bali’ baru.

Presiden Jokowi tak main-main. Ia langsung membentuk Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) melalui Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016 untuk melaksanakan pengembangan Kawasan Pariwisata Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba.

Sejak 2016 pembangunan infrastruktur di Kawasan Danau Toba pun dikebut. Bandara Silangit di Tapanuli Utara yang dulu hanya bandara perintis pun dibenahi. Bahkan status bandara ini ditingkatkan menjadi bandar udara internasional demi memacu masuknya wisatawan luar negeri langsung datang ke Danau Toba.

Terminal penumpang pesawat di bandara ini akan diperluas lima kali lipat atau dari saat ini 2.500 meter persegi menjadi 10.499 meter persegi.

Perluasan terminal itu membuat Bandara Silangit bisa mengakomodir pergerakan hingga 1 juta penumpang per tahun, dari saat ini hanya sekitar 500.000 penumpang.

Pertumbuhan jumlah penumpang di Bandara Silangit cukup signifikan sejak dibuka untuk penerbangan langsung dari dan ke Jakarta. Berdasarkan data Angkasa Pura II, pada 2016 jumlah penumpang tercatat 155.214 orang, pada 2017 menjadi 282.586 orang, dan pada 2018 sebanyak 425.476 orang.

Di samping perluasan terminal penumpang, runway di Bandara Silangit juga dikembangkan dari 2.400 x 30 m menjadi 2.650 m x 45 m. Pengembangan runway tidak lain agar bandara dapat didarati pesawat sekelas Boeing 737-800 NG.

Tur Danau TobaPeserta trip Danau Toba saat berada di Tomok, Kabupaten Samosir. (Foto: Anca Damanik)

Bandara Silangit adalah bandara terdekat dengan kawasan Danau Toba. Jarak keduanya dapat ditempuh dengan waktu berkisar 30 menit hingga 1 jam menggunakan kendaraan bermotor.

Tak hanya bandara, akses jalan darat juga dikebut. Medan-Bandara Kuala Namu-Tebing Tinggi-Pematangsiantar-Parapat pun akan segera terhubung melalui akses tol. Saat ini PT Hutama Karya (Persero) tengah membangun jalan tol Kuala Tanjung-Tebing Tinggi-Parapat.

Jalan tol ini akan terdiri dari 6 seksi yakni seksi 1 Tebing Tinggi-Indrapura (20,4 KM), seksi 2 Indrapura-Kuala Tanjung (18,05 KM), seksi 3 Tebing Tinggi-Serbelawan (30 KM), seksi 4 Serbelawan-Pematangsiantar (28 KM), seksi 5 Pematangsiantar-Saribudolok (22,3 KM), seksi 6 Saribudolok-Parapat (16,7 KM) serta terdapat Junction Tebing Tinggi sepanjang (7,9 KM).

Jalan tol ini ditargetkan akan beroperasi penuh tahun 2022 dengan masa konsesi selama 40 tahun. Adapun biaya investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan ini sekitar Rp 13,4 triliun, termasuk biaya konstruksi sebesar Rp 9,6 triliun.

Jika jalan tol ini nanti beroperasi penuh, maka jarak dari kota Medan menuju Danau Toba dapat ditempuh hanya dalam waktu sekitar 1,5 jam.

Selain jalan tol, untuk mendukung pariwisata Danau Toba, Kementerian PUPR juga sedang menyelesaikan pekerjaan pelebaran alur Tano Ponggol di Kabupaten Samosir. Pelebaran alur tersebut untuk memberikan kesempatan kepada wisatawan dapat mengelilingi Pulau Samosir menggunakan kapal pesiar berukuran besar. Pekerjaan pelebaran alur Tano Ponggol dilaksanakan oleh Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera II, Ditjen Sumber Daya Air (SDA) Kementerian PUPR. Saat ini progresnya sudah mencapai 93,506%.

Tano Ponggol Danau TobaPembangunan Tano Ponggol di Pangururan, Samosir yang terus dikebut penyelesaiannya. (Foto: Setkab/PUPR)

Alur Tano Ponggol akan dilakukan pelebaran dari 25 meter menjadi 80 meter sepanjang 1,2 Km dan ditambah kedalamannya dari 3 meter menjadi 8 meter. Dari total panjang 1,2 Km, tersisa sepanjang sekitar 20 meter yang belum dilakukan pelebaran. Kontrak pekerjaan pelebaran ini dimulai Desember 2017 dengan anggaran mencapai Rp 320,55 miliar.

Tano Ponggol merupakan satu-satunya akses darat menuju Pulau Samosir yang berada di tengah Danau Toba.

Pada 2020 lalu, pemerintah menggelontorkan anggaran sebesar Rp 4,04 triliun untuk pembangunan insfratuktur dan utilitas dasar kawasan Danau Toba.

Anggaran ini antara lain terbagi atas alokasi dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Rp 1,06 triliun, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Rp 2,5 triliun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rp 23 miliar, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes) Rp 17 miliar, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Rp 4,8 miliar, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Rp 400 miliar dan lainnya.

Selain yang telah disebut di atas, banyak pekerjaan infrastruktur lain telah dilakukan pemerintah di Danau Toba. Lantas, sudah siapkah kawasan Danau Toba menjadi destinasi wisata kebanggaan Indonesia? Atau masihkah akan muncul sebutan ‘payah kali Toba ini?” []

Berita terkait
Martin Manurung ke Sandiaga: Danau Toba Terima Wisatawan Semua Agama!
Martin Manurung tegaskan ke Menparekraf Sandiaga Uno bahwa wisata Danau Toba, sejak dulu menerima wisatawan dari berbagai agama.
Luhut dan Menlu China Bahas Proyek Strategis di Danau Toba
Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan berada kawasan Danau Toba bersama Menteri Luar Negeri China Wang Yi.
Menparekraf Sandiaga Uno di Danau Toba Pakai Batik Batak
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menginjakkan kaki di Kawasan Danau Toba.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.