Kudeta Militer Mempercepat Perang Antaretnis di Myanmar

Kudeta militer tak berdarah diprediksi akan meluapkan dan mempercepat ancaman terjadinya konflik antaretnis di Myanmar
Seorang serdadu Tentara Pembebasan Kachin, berjaga di kawasan tak bertuan di Lawa Yang, Myanmar, 2018 (Foto: dw.com/id)

Jakarta - Kudeta militer tak berdarah mengaburkan perspektif damai dengan kelompok pemberontak etnis di Myanmar. Sebagian kelompok mengecam, yang lain memilih diam. Kembalinya pemerintahan junta militer diprediksi bakal mempercepat eskalasi (penambahan) konflik

Sebanyak 20 kelompok pemberontak etnis di Myanmar saat ini berperang melawan militer demi hak otonomi khusus bagi wilayah perbatasan terluar Myanmar. Perang saudara antara lain berkecamuk di negara bagian Shan, Kachin, Karen dan Rakhine.

Myanmar adalah sebuah negara multietnis yang didominasi etnis Bamar. Mereka mewakili hampir 70% populasi penduduk, dan mendiami wilayah paling subur di Myanmar di sekitar sungai Irrawady.

Jatuhnya pemerintahan sipil di Myanmar sebabnya dikhawatirkan bakal menghentikan tren desentralisasi dan mengakhiri proses damai yang rapuh. Sejak tahun 1949 pemerintah pusat Myanmar terlilit perang tanpa henti dengan berbagai kelompok etnis di seluruh penjuru negeri.

Kebanyakan menuntut otonomi luas, seperti yang dijanjikan ayah Aung San Suu Kyi, Jendral Aung San, dalam Perjanjian Panglong 1947, yang menyepakati sistem pemerintahan federal dengan hak penuh bagi etnis minoritas. Aung San dibunuh tidak lama setelah membubuhkan tandatangannya.

Selama puluhan tahun setelahnya, kekuasaan para jendral membuahkan ragam catatan pelanggaran HAM berat, mulai dari pembunuhan ekstra yudisial, pemerkosaan massal atau pemusnahan desa-desa penduduk.

seorang migranSeorang migran memegang foto Aung San Suu Kyi dalam aksi unjuk rasa di luar Kedutaan Myanmar di Bangkok, 1 Februari 2021 (Foto: Dok/voaindonesia.com/AFP).

"Ketika militer Myanmar datang, warga etnik Shan, Kachin, Mon, Karen dan lainnya akan lari ke hutan,” kata Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Asia. "Kejahatan terhadap warga etnis oleh militer menyebar luas, sistematis dan dilakukan dengan impunitas.”

1. Kejahatan HAM

Saat proses demokratisasi dimulai 2011 silam, sejumlah kelompok menyepakati gencatan senjata dengan pemerintah. Pada 2015, tokoh-tokoh etnis minoritas dan pemerintah sipil menyepakati perjanjian gencatan senjata nasional. Di tahun yang sama, kelompok-kelompok etnis Myanmar menggelar konferensi damai untuk mengenang Perjanjian Panglong.

Tapi damai yang digalang pemerintah sipil gagal menghentikan militer untuk melanjutkan pertempuran melawan pemberontak. Pada 2018, Tim Pencari Fakta PBB menulis laporan yang mencatat kekejaman tentara di kelompok etnis minoritas di tiga negara bagian.

"Selama operasi militer, Tatmadaw secara sistematis membidik warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, melakukan kejahatan seksual, menyuarakan dan mempromosikan retorika ekslusif dan diskriminatif melawan minoritas, serta membangun iklim impunitas bagi para tentara,” kata Marzuki Darusman yang mengepalai tim tersebut.

konferensi damaiKonferensi damai yang digagas pemerintah sipil di Myanmar mempertemukan militer dengan perwakilan kelompok pemberontak etnis (Foto: dw.com/id)

PBB juga mencatat kejahatan HAM yang dilakukan kelompok pemberontak, seperti "pembunuhan ekstra yudisial, kegagalan mengambil langkah persiapan untuk melindungi warga sipil dalam serangan militer, menghancurkan properti, memindahkan paksa warga sipil, dan pelanggaran lain.”

Namun kekejian terbesar terjadi di negara bagian Rakhine, di mana operasi brutal Tatmadaw antara 2017 dan 2018 menewaskan 28.000 warga etnis Rohingya, dan mengusir 700.000 lainnya yang lari ke Bangladesh. PBB mencatat operasi tersebut dilancarkan dengan "niatan genosida.”

Kelompok pemberontak Rohingya tidak terlibat dalam perundingan damai dengan pemerintah pusat.

2. Reaksi Etnis Minoritas Myanmar

Sejak memenangkan pemilu November 2020 silam, Suu Kyi sebenarnya sudah menegaskan niatnya melanjutkan upaya perdamaian. Tapi kudeta militer berpotensi memupus kepercayaan yang rapuh.

"Menyusul pengambilalihan kekuasaan, Perjanjian Gencatan Senjata Nasional (NCA) dan proses damai yang sedang diimplementasikan dengan partisipasi pemerintah, parlemen, Tatmadaw, partai-partai politik dan organisasi etnis bersenjata, bisa terhenti,” tulis Dewan Restorasi Shan, organisasi etnis bersenjata di dekat perbatasan Thailand.

etnis myanmarMyanmar adalah negeri multietnis yang didominasi suku Bamar. Mereka mendiami wilayah sentral, di basin Sungai Irrawady. Sementara etnis minoritas kebanyakan bermukim di wilayah perbatasan terluar (Foto: dw.com/id)

Uni Karen Nasional, salah satu kelompok etnis bersenjata paling tua di Myanmar, menerbitkan pernyataan yang menuntut pembebasan tokoh politik yang ditahan. Mereka juga mendesak tentara menyelesaikan kebuntuan politik secara damai.

Beberapa kelompok besar lain memilih diam, termasuk Aliansi Utara, sebuah gabungan empat kelompok bersenjata yang terlibat dalam konflik paling sengit dengan militer.

Pakar meyakini militer harus menunggu sampai kisruh yang dipicu kudeta sedikit mereda. Namun visi yang dimiliki para jendral diyakini berbeda dengan apa yang didambakan etnis minoritas di Myanmar.

"Saya kira tindakan mereka dalam jangka waktu menengah dan panjang tidak akan menciptakan situasi yang kondunsif bagi kesepakatan politik yang didambakan dan diperjuangkan etnis minoritas Myanmar selama 60 tahun terakhir,” kata Ronan Lee, peneliti Myanmar di Queen Mary University di London.

Kudeta "ini adalah kabar buruk bagi proses perundingan damai,” pungkasnya [rzn/vlz (rtr, ap)]/dw.com/id. []

Berita terkait
ASEAN Bungkam Dibelenggu Prinsip Dasar Sikapi Kudeta Myanmar
ASEAN tidak bisa berbuat banyak menyikapi kudeta di Myanmar yang dilakukan militer pada tanggal 1 Februari 2021 karena terbelenggu prinsip dasar
Diplomat Myanmar Cari Suaka di Amerika Pasca Kudeta Militer
Seorang diplomat penting di kedutaan Myanmar di Washington DC, AS, mengatakan bahwa dia mencari suaka di AS
Negara-negara G-7 Kecam Kudeta Militer di Myanmar
Menlu negara-negara anggota G-7 mengecam kudeta di Myanmar dan prihatin atas penahanan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Ky
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)