Jakarta - Juru bicara Partai Demokrat Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang Muhammad Rahmad mengatakan Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang diawaki I Gde Pasek Suardika, mantan Sekjen Partai Hanura yang sebelum itu pernah berkiprah di Partai Demokrat, adalah bentuk kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh UU.
Disamping PKN kata Rahmad, juga sudah ada sejumlah partai baru lainnya seperti Partai Gelora, Partai Ummat, Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), Partai Buruh, dan Partai Pergerakan Kebangkitan Desa.
"UU Partai Politik tidak mengatur jumlah partai peserta pemilu, sehingga wajar saja jika sebelum pemilu, muncul partai partai baru. Sesuai ketentuan, partai calon peserta pemilu harus mengikuti verifikasi administrasi bagi partai yang memiliki kursi di DPR RI, atau verifikasi administrasi dan faktual bagi partai baru dan bagi partai yang tidak memiliki kursi di DPR RI," ucap Rahmad dalam keterangan tertulis, Senin, 1 November 2021.
Kubu AHY juga menyebut tidak alergi dengan perbedaan pendapat dalam membangun bangsa dan negara ini faktanya mereka sangat alergi dengan perbedaan dan menganggap partai adalah milik pribadi atau kelompok tertentu.
Ia juga mengatakan bahwa negara yang kuat dan politiknya cenderung stabil adalah negara yang memiliki partai politik 2 atau 3 saja. Namun, dalam proses demokratisasi pasca reformasi 1998, kami hargai lahirnya partai partai baru yang suatu saat nanti kami harap akan mengerucut menjadi 2 atau 3 partai besar.
- Baca Juga: Rahmad : Hamdan Zoelva Ketularan Virus Bohong Demokrat AHY
- Baca Juga: Rahmad: 2003 SBY Nyatakan Loyal Pada Megawati, 2004 Nyapres
Partai Demokrat kubu AHY, lanjut Rahmad tidak konsisten dalam memberikan pendapat terkait lahirnya Parpol baru. Rahmad juga mengutip pernyataan Partai Demokrat kubu AHY.
"Demokrat berharap parpol-parpol baru di Indonesia memiliki komitmen kuat menjaga iklim demokrasi yang kondusif dan sehat, sebagaimana komitmen Demokrat bersama Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono," kata Herzaky.
Pernyataan itu, menurut Rahmad, bertolak belakang dengan praktek yang dilakukan AHY. AHY dan kubunya menggunakan tangan besi ala Hitler dalam mengelola partai dan membuat AD ART yang sarat oligarki, tirani dan otokrasi, sehingga komitment kuat menjaga iklim demokrasi yang kondusif dan sehat itu hanya pepesan kosong dan hipokrit demokrasi.
"Kubu AHY juga menyebut tidak alergi dengan perbedaan pendapat dalam membangun bangsa dan negara ini. Faktanya, mereka sangat alergi dengan perbedaan dan menganggap partai adalah milik pribadi atau kelompok tertentu," ucap Rahmad.
"Hal itu terlihat dari upaya mereka merubah sejarah pendirian partai demokrat dengan merubah AD ART partai dan memasukan nama SBY sebagai pendiri dan menghilangkan 98 nama pendiri asli partai demokrat," katanya.
- Baca Juga: Moeldoko Bagi-bagi Uang, Demokrat: Pengacara Penggugat Tidak Bisa Membantah
- Baca Juga: Terlalu Mahal, Demokrat Tak Jadi Gunakan Jasa Yusril
Terkait pernyataan kubu AHY, kata Rahmad, yang menyebut loyalis Anas lebih berani dari kubu Moeldoko, ini menunjukkan bahwa kubu AHY tidak mengerti dan tidak paham esensi demokratisasi pasca reformasi, yakni menolak oligarki, tirani, kkn, otokrasi dan totaliter.
"Partai itu bukan soal berani atau tidak, tapi soal demokratisasi yang sedang diperjuangkan. Bagi kubu Moeldoko, mengembalikan kepemilikan partai demokrat kepada rakyat adalah harga mati. Adalah fardhu ain (wajib bagi setiap warga negara) untuk menghapus praktek oligarki, tirani, otokrasi dan totaliter ala Hitler di dalam Partai Demokrat. Itulah jihad politiknya Pak Moeldoko," ujar Rahmda. []