Kontroversi Hukuman Mati

Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan dan kemiskinan suatu masyarakat, maupun berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Ilustrasi hukuman mati dengan metode tembak tanpa penutup kepala. (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 17/3/2018) – Hukuman mati menjadi kontroversi sepanjang sejarah. Pendapat terbelah dua, pro dan kontra. Kelompok yang pro hukuman mati umumnya lebih melihat kerusakan yang ditimbulkan pelaku kejahatan. Sisi kemanusiaan condong pada keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang dirusak pelaku.

Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman.

Baca juga: ‘Saya tak Pernah Nyatakan Aceh akan Berlakukan Hukum Pancung’

Dukungan hukuman mati didasari argumen di antaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat.

Pada hukuman penjara penjahat bisa jera, bisa juga membunuh lagi kalau tidak jera. Pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas.

Kelompok penentang hukuman mati berpegang pada studi ilmiah yang secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya.

Survey dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan.

Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan dan kemiskinan suatu masyarakat, maupun berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.

Praktik hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS sekitar 80 persen terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan.

Amnesti Internasional menentang hukuman mati dalam semua kasus, tanpa kecuali, terlepas dari sifat atau keadaan kejahatan, terbukti bersalah, tidak bersalah atau karakteristik lain dari individu, begitu pula metode eksekusi yang dipergunakan oleh negara.

Direktur Amnesti Internasional di Indonesia, Usman Hamid mengatakan saat ini 106 negara telah menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan dan lebih dari dua pertiga negara di dunia menghapuskannya dalam hukum atau praktik.

"Tidak ada bukti bahwa hukuman mati memiliki efek jera khusus terhadap kejahatan, betapapun mengerikannya metode eksekusi itu," ujar Usman.

Mengenai penelitian yang berlangsung di Aceh terkait kesiapan masyarakat untuk diberlakukan hukuman mati dengan metode pancung (pemenggalan kepala), Usman mengatakan, “Pemerintah Aceh tidak dapat menggunakan status otonomi khusus untuk memberlakukan UU dan kebijakan yang secara mencolok melanggar HAM."

Amnesti Internasional menyerukan Aceh dan Indonesia secara keseluruhan harus menghentikan segala bentuk hukuman mati.

"Pihak berwenang perlu fokus pada akar penyebab kejahatan dan perdebatan tentang hukuman mati sebagai pelanggaran HAM. Serta segera menghapuskan hukuman kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat ini," kata Usman.

Aceh satu-satunya provinsi di Indonesia yang memberlakukan hukum syariah, sesuai kesepakatan otonomi khusus dengan Pemerintah RI dari satu dekade lalu.

Usman menegaskan, "Aceh dan Indonesia secara keseluruhan harus segera memberlakukan moratorium hukuman mati, dengan tujuan akhir mencabutnya." (sa)

Berita terkait
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.