Kisah Haru Relawan Pemakaman Jenazah Covid di Kudus

Tidak digaji, tak ada intensif, anak gagal di PPDB, Wak Uying tetap berada di garis depan pemakaman jenazah Covid-19 di Kudus.
Wak Uying dan rekannya sesama relawan BPBD Kudus saat melakukan pemakaman jenazah Covid-19. Tak ada pamrih, tak digaji, semata membantu sesama, membuat Wak Uying bersedia melakoni pekerjaan yang kerap dihindari petugas medis puskesmas itu. (Foto: Tagar/Nila Niswatul Chusna)

Kudus - Pria ini suka rela menjadi relawan pemakaman jenazah terkait Covid-19 di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Misinya hanya membantu sesama, tidak berharap gaji meski sebagai kepala rumah tangga ia jelas membutuhkan.  

Nama salah satu relawan pemakaman jenazah covid Badan Penanggulagan Bencana Daerah (BPBD) Kudus, Nor Kholis, beberapa waktu lalu sempat jadi perbincangan netizen. Ini setelah ia gagal meloloskan putrinya dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jenjang SMA.

Sepekan berlalu, semburat kekecewaan masih terlihat diraut pria, 49 tahun itu. Ditemui Tagar di aula BPDB Kudus, Senin siang, 6 Juli 2020, Wak Uying, panggilan akrab Nor Kholis, tampak kelelahan usai memakamkan sejumlah jenazah pasien Covid.

Kami punyanya tenaga. Itu yang kami gunakan untuk membantu masyarakat.

relawan covid kudusWak Uying melipat APD yang selesai digunakannya memakamkan jenazah covid di Kudus belum lama ini. (Foto: Tagar/Nila Niswatul Chusna)

Di pojokan aula, dia tertidur di atas dua buah kursi kayu yang disusun berhadapan. Semilir hembusan angin pendingin ruangan di ruangan tersebut, membuat tidurnya kian lelap saja. Hingga Tagar sungkan untuk membangunkannya.

"Hai, bangun. Ada yang cari tuh," teriak Siswanto, 43 tahun, membangunkan Wak Uying dari lelap tidurnya.

Dengan mata layu, pria beperawakan kekar dengan perut sedikit membuncit itu mempersilakan Tagar mendekat. Mengenakan kaos tanpa lengan berwarna kuning dan celana loreng warna abu, dia turun dari kursi dan mengajak Tagar duduk di atas tikar merah bertuliskan BPBD Kudus.

"Ngobrol di sini saja ya? Maaf tempatnya seadanya," ucapnya membuka percakapan.

Mengawali percakapan, Wak Uying menceritakan kisahnya sebagai relawan BPBD Kudus yang dilakoninya selama 13 tahun belakangan ini. Baginya, relawan bukan pekerjaan tetapi merupakan panggilan jiwa.

Tak pernah sepeserpun dia menerima ataupun mengharapkan upah atas kerja kerasnya membantu sesama. Mulai penanganan bencana alam hingga memakamkan jenazah pasien covid, dia lakukan semata atas dasar kemanusiaan.

Di matanya, setiap orang memiliki cara berbeda dalam membantu sesama yang membutuhkan. Bagi mereka yang bergelimang harta, akan mengucurkan sebagian kekayannya untuk membantu sesama.

Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki harta berlimpah, seperti dirinya, cara untuk membantu sesama dengan tenaga yang dimiliki. "Kami punyanya tenaga. Itu yang kami gunakan untuk membantu masyarakat," ucapnya menegaskan alasan bergabung sebagai relawan BPBD Kudus.

Kepuasan Batin

Sedari awal bergabung ke Forum Komunikasi Relawan Bencana (FKRB) Kudus, ayah tiga anak ini mengaku tidak mentargetkan apapun dari pekerjaan sosial itu. Kepuasan batin bisa membantu masyarakat baginya sudah lebih dari cukup.

"Kita kalau menolong orang, nanti juga akan ditolong sama orang. Soal rezeki sudah diatur sama Allah. Alhamdulillah, selama ini selalu saja ada jalannya," ujar warga RT 4 RW 3 Desa Gondangmanis, Kecamatan Bae itu.

Di luar rutinitas sosialnya di FKRB, Wak Uying merupakan seorang pekerja serabutan. Berbagai pekerjaan dia lakoni untuk menafkahi keluarga kecilnya. Tentu tanpa mengurangi intensitasnya sebagai relawan.

Di masa pandemi Covid-19 ini, tawaran pekerjaan serabutan bagi Wak Uying berkurang. Aktivitasnya kini banyak dihabiskan untuk mengabdi membantu sesama, dengan bergabung dalam tim pemakaman jenazah covid BPBD Kudus sejak bulan Maret lalu.

"Tim pemakaman covid BPBD Kudus ini dibentuk bulan Maret lalu. Berawal dari permintaan bantuan pemakaman oleh rumah sakit rujukan covid di Kudus yang merasa kewalahan menangani proses pemulasaran hingga pemakaman jenazah covid secara mandiri," katanya menceritakan awal mula terbentuknya tim pemakaman covid BPBD Kudus.

Tanpa bekal yang cukup mengenai proses pemakaman jenazah covid, Wak Uying nekat saja bergabung dengan tim tersebut. Bukan untuk mencari ketenaran. Apalagi demi nampak keren karena menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap layaknya para tenaga medis yang tengah menangani pasien covid.

Kalau bukan kami yang melakukan, siapa lagi yang bersedia? Karena tidak semua orang berani melakukan pekerjaan ini.

relawan covid kudus2Sosok sederhana Wak Uying, salah satu relawan pemakaman jenazah covid di Kudus. (Foto: Tagar/Nila Niswatul Chusna)

Lagi-lagi, panggilan jiwanyalah yang mendorongnya nekat memutuskan menjadi relawan corona. Kala itu, ramainya pemberitaan mengenai aksi penolakan pemakaman mayat pasien dalam pengawasan (PDP) maupun pasien positif covid yang terjadi di sejumlah daerah, cukup membuat emosinya naik.

Dia tak habis pikir atas sikap mereka yang menghilangkan rasa kemanusiaan, berdalih melindungi keluarga dan orang-orang sekitar dari paparan covid. Karenanya ia begitu setia mengawal dan memastikan setiap proses pemakaman covid di Kudus berjalan lacar tanpa hambatan.

Dari awal bergabung hingga kini, Wak Uying mengaku stigma negatif terhadap jenazah pasien covid masih melekat kuat di masyarakat. Meski di Kudus tidak ada kasus penolakan namun sangat jarang ada orang yang mendekat dan membantu penguburan jenazah. 

Kerap kali, tim relawan pemakaman BPBD Kudus yang turun tangan penuh membawa jenazah ke pemakaman, memasukkan peti jenazah ke liang lahat, menalqinkan bagi jenazah beragama Islam hingga menguruk kembali liang lahat dengan tanah.

“Kalau tidak ada tim pemakaman jenazah atau modin desa yang mendekat, ya kami tangani semuanya. Kalau bukan kami yang melakukan, siapa lagi yang bersedia? Karena tidak semua orang berani melakukan pekerjaan ini,” tutur dia.

Wak Uying tak menampik kerap merasa kecewa dengan sikap petugas puskesmas atau tim covid desa yang kurang peduli dengan kegiatan ini. Mereka yang sejatinya bertanggung jawab atas proses pemakaman jenazah covid, justru hanya menonton dari kejauhan.

Tugas yang mereka kerjakan, justru dilimpahkan sepenuhnya pada para relawan covid. Sebuah kenyataan yang dirasa cukup ironi di tengah pendemi. Tapi lagi-lagi, dorongan rasa kemanusiaan yang membuat dia dan kawan-kawan terus melakoni pekerjaan ini.

Jarang Bertemu Keluarga

Bicara soal aktivitas, Wak Uying mengaku kini banyak menghabiskan waktunya di kantor BPBD Kudus. Intensitas kasus meninggalnya PDP maupun pasien positif covid yang cenderung naik, membuatnya jarang pulang dan bersua dengan keluarga.

Di rumah keduanya itu, ia sabar menanti panggilan bantuan pemakaman dadakan dari sejumlah rumah sakit rujukan covid di Kudus. Sembari melepas lelah, dia dan rekan-rekannya menghabiskan waktu dengan tiduran dan ngobrol santai.

Kerap kali saat rasa rindu keluarga mendera, Uying pulang ke rumah menengok anak dan istrinya. Tapi, hal itu kini cukup sulit dilakukan. Padatnya jadwal pemakaman jenazah covid dan kesadarannya untuk melakukan isolasi madiri, membuat intensitasnya berjumpa dengan keluarga sangat berkurang.

Jika dulu, sebelum pandemi, dalam sepekan bisa dua hari penuh menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga. Saat ini, dalam seminggu dia hanya bisa bersua dengan keluarga sekitar enam hingga sepuluh jam saja.

Orang waras, tidak akan mau bekerja seperti kami. Kerja tidak kenal waktu, jarang pulang, tidak digaji dan tidak terima insentif.

relawan covid kudus2Wak Uying menikmati santap makan siang bersama rekan-rekannya sesama relawan pemakaman covid BPBD Kudus, belum lama ini. (Foto: Tagar/Nila Niswatul Chusna)

Kendati begitu, ia tetap intens menjalin komunikasi dengan keluarga, terutama anak-anak. Seperti halnya pendaftaran PPDB SMA putri ketiganya beberapa waktu lalu. Dari proses awal hingga akhir, ia pantau betul.

Maka tak heran, jika dia dengan fasih menceritakan setiap waktu proses seleksi PPDB yang diikuti anaknya itu. Walau berakhir kecewa, sebab putrinya gagal lolos ke SMA yang diidamkan.

Tak apa, semua itu tetap diterimanya dengan lapang dada. Meski gurat-gurat kekecewaan itu belum sepenuhnya lenyap dari wajah Wak Uying. Kejadian itu juga tidak mengendorkan semangatnya untuk terus bermanfaat pada sesama. Hal ini dibuktikan dengan semangatnya memakamkan jenazah covid yang tidak pernah kendor.

“Orang waras, tidak akan mau bekerja seperti kami. Kerja tidak kenal waktu, jarang pulang, tidak digaji dan tidak terima insentif. Anak-anak kami juga tidak mendapatkan perlakuan khusus dalam PPDB. Kalau kami di sini bertahan bukan karena panggilan hati, otomatis kami sudah pergi dan meninggalkan pekerjaan ini,” ucapnya tegas.

Saat ditanya mengenai harapannya ke depan, Wak Uying mengaku tidak menginginkan hal muluk. Dia hanya berharap pemerintah bisa berbenah dalam penanganan covid, utamanya dalam proses pemakaman jenazah. 

Dia mengharapkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kudus melalui Dinas Kesehatan Kabupaten bisa meniru Pemerintah Kabupaten Demak yang sigap membentuk Pasukan Khusus Pemakaman (Paskuman). 

Dengan adanya tim khusus pemakaman jenazah yang dinaungi DKK itu, beban kerjanya sebagai relawan pemakaman jenazah bisa lebih ringan.

“Di Demak itu ada petugas khususnya. Jadi kami hanya mengantar jenazah covid sampai ke makam saja. Sisanya dari Paskuman yang menyelesaikan. Saling berbagi tugaslah,” ujarnya.

Soal insentif, Wak Uying menegaskan dirinya bersama rekan-rekannya sungguh tidak mengharapkan hal tersebut. Namun jika Pemkab Kudus berbesar hati memberi, mereka akan menerimanya dengan rasa syukur. []

Baca juga: 

Berita terkait
Ratusan Santri Kudus Sakit, tapi Bukan Karena Corona
Hasil pengecekan kesehatan terhadap santri di Kudus menunjukkan gejala sakit. Tapi penyebabnya bukan karena virus corona.
Pernikahan Dini di Kudus Meningkat Jelang New Normal
Pihak perempuan banyak yang sudah hamil duluan. Hal ini yang menjadi penyebab permohonan dispensasi menikah di Kudus meningkat jelang new normal.
Rp 3,3 Miliar untuk Cegah Covid-19 di Ponpes Kudus
Pemkab Kudus menyiapkan anggaran Rp 33 miliar untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 di 114 pondok pesantren (ponpes) di wilayahnya.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.