Untuk Indonesia

Kenapa Harus Memilih PSI?

Kenapa harus PSI? Apa alasannya harus memilih PSI?
Ilustrasi, Ruang Gedung Nusantara II, Komplek DPR RI, Jakarta. (Foto: Ant//Ricky Prayoga)

Oleh: *Fetra Tumanggor

"Saya sebenarnya suka terhadap PSI, tapi saya ragu memilih PSI karena khawatir dia tidak lolos parliamentary threshold. Akhirnya nanti suara saya jadi sia-sia," ujar seorang kawan yang tiba-tiba membuka pembicaraan soal PSI atau Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kami baru saja duduk di kedai kopi di bilangan Rawamangun, Jakarta, dan belum memesan kopi.

Partai ini secara jelas membawa platform tentang solidaritas, pluralitas beragama, suku, dan bangsa, anti terhadap intoleransi, dan anti terhadap praktek poligami

"Itu pemikiran yang salah. Justru kamu harus memilih PSI dan bahkan mendorong orang lain memilih PSI agar mereka lolos ambang parliamentary threshold (ambang batas parlemen sebesar 4 persen). Kalau kamu ragu ya keraguanmu akan terbukti karena semua orang yang pemikirannya seperti kamu malah tidak pilih PSI," ujar saya.

Saya mengatakan kepadanya, beberapa kali mendapati dalam beberapa diskusi mereka yang memuji PSI namun ragu memilih karena khawatir tak akan lolos parliamentary threshold

"Bayangkan kalau banyak orang seperti kamu, suka kepada PSI tapi justru tidak memilih PSI karena ragu tidak akan melewati ambang batas PT (Parliamentary Threshold) ya memang PSI akan sulit lolos. Tapi kalau banyak orang memilih PSI maka mereka akan lolos PT," ujar saya kembali menegaskan.

Saya tidak tahu kenapa kawan saya ini tiba-tiba bicara tentang PSI. Namun saya mengapresiasi kawan saya ini yang suka terhadap PSI. Menurut saya, mencoblos PSI merupakan pilihan yang baik.

Sembari memesan dua gelas kopi Mandailing ditambah kentang goreng, saya kemudian mencoba menjelaskan tentang kenapa memilih PSI merupakan langkah yang baik.

"PSI merupakan partai baru dan diisi anak-anak muda yang pintar dan memiliki idealisme. Mereka punya visi misi dan rencana yang sangat baik jika kelak masuk DPR di Senayan," ujar saya.

Saya lalu mencoba memberikan beberapa visi misi PSI, mengutip dari searching di Google dari handphone yang saya pegang. Saya mengutip pidato dari Ketua Umum PSI Grace Natalie pada HUT ke-4 PSI, Minggu 11 November 2018 lalu, seperti yang tertulis di media Tribunnews.

"Misi pertama adalah memproteksi para pemimpin reformis di tingkat nasional dan lokal dari gangguan para politisi hitam," kata Grace. 

Baca Juga: Tiga Gagasan PSI Paling Ramai Dibicarakan Masyarakat

Grace lalu menyebut pemimpin reformis yang dimaksud, satu di antaranya adalah capres petahana Jokowi.

"PSI akan menjaga Pak Jokowi di DPR, menjaga Kang Ridwan Kamil di Jawa Barat, menjaga Pak Nurdin Abdullah di Sulawesi Selatan, menjaga Ibu Risma di Surabaya," jelasnya.

Partai ini sama sekali belum teruji di parlemen. Untuk mengujinya ya beri kesempatan mereka masuk ke parlemen dengan memilih mereka

Misi kedua, kata Grace, PSI ingin menghentikan praktik pemborosan dan kebocoran anggaran di parlemen. "Tidak boleh lagi ada sepeser pun uang rakyat yang bisa dihambur-hamburkan dan dikorupsi," tegasnya.

"Misi ketiga, PSI akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindak intoleransi di negeri ini," tegasnya.

Saya menegaskan partai ini secara jelas membawa platform tentang solidaritas, pluralitas beragama, suku, dan bangsa, anti terhadap intoleransi, dan anti terhadap praktek poligami. 

"Partai ini sama sekali belum teruji di parlemen. Untuk mengujinya ya beri kesempatan mereka masuk ke parlemen dengan memilih mereka," ujar saya.

Saya lalu mencoba membandingkan dan bertanya, apa prestasi mereka yang selama ini sudah duduk di parlemen? 

Baca Juga: Grace Natalie, Senang 'Larangan Poligami' Memantik Diskusi Hangat

"Saya nggak tahu," ucap teman saya.

"Mungkin kalau kita diskusi soal DPR tidak akan ada habisnya sampai kapanpun, apalagi kalau kita korek apa yang sudah mereka lakukan dengan tiga fungsi mereka soal legislasi, pengawasan, dan anggaran. Yang pasti sulit menemukan kebanggaan dari mereka yang duduk di Senayan sana," kata saya.

Caleg MilenialTsamara Amany Alatas calon legislatif dari Partai Solidaritas Indonesia PSI (depan kiri) bersama caleg-caleg milenial lain tingkat nasional dan tingkat daerah dalam acara 'Diskusi Muda Memilih' di Conclave Simatupang Cilandak, Jakarta Selatan, Minggu (3/2/2019) (Foto: Tagar/Santi Sitorus)

Saya lalu memberi contoh berita terkini soal tingkat kepatuhan anggota DPR dalam menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) hingga Minggu (31/3) siang, belum menyentuh angka 50 persen. 

"Dari 556 wajib lapor di DPR RI, baru 273 atau 49,1 persen yang sudah melaporkan LHKPN. Ini yang kasih data adalah juru bicara KPK Febri Diansyah," kata saya sambil memberi bukti berita dari Kompas kepada kawan saya ini.  

"Bayangkan, lebih dari 50% yang belum serahkan LHKPN, integritas mereka sebagai anggota DPR pantas dipertanyakan. Belum lagi puluhan anggota DPR yang ditangkap KPK bahkan ketua dan wakil ketua DPR," ujar saya.

Yang lebih ironis, 94 persen dari 560 anggota DPR periode 2014-2019 kembali mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPR periode 2019-2024.

"Dan sebagian besar dari mereka berpeluang kembali duduk kalau kita tidak pintar memilih. Apakah kita mau kembali wakil kita seperti itu?" tanya saya. 

"Ya, nggaklah. Kalau bisa sih wajah-wajah baru aja," katanya.

Saya menambahkan, menjadi pemilih pun harus juga punya visi dan misi, tidak hanya caleg yang punya visi dan misi.

"Yang pertama tentu ketika kita ada di bilik suara, pastinya harus memilih. Lantas siapa yang kita pilih? Saya sih berharap kita memilih secara rasional, bukan sekadar kenal, bukan karena agama atau suku, dan bukan karena dikasih uang," ucap saya menjelaskan.

Menurut saya, sebagai pemilih kita harus tahu untuk apa kita memilih. Kita memilih wakil kita yang akan menyuarakan kepentingan kita di parlemen, mampu membuat undang-undang yang sesuai dengan kepentingan rakyat, mampu mengawasi jalannya pemerintahan dengan baik, dan mampu menjaga uang rakyat melalui fungsi anggaran.

Baca Juga: Grace Natalie Sebut Ada Politik Palsu dengan Narasi Fitnah dan Prasangka

"Itukan terlalu ideal. Sulit menemukan orang yang ideal seperti itu di zaman ini," ucap kawan saya sambil menghabiskan kentang goreng di depannya.

"Tapi harus dimulai dengan memilih orang-orang yang mendekati idealisme itu. Mungkin bisa dengan melalui PSI atau bisa saja melalui partai lain yang mungkin ada sosok di dalamnya yang bisa dipercaya. Kalau kita tidak mulai kapan lagi?" tanya saya.

PSIKetua Umum Partai Solidaritas Indonesia ( PSI) Grace Natalie (kanan) bersama Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni (kiri) memegang replika kartu anggota PSI seusai menggelar jumpa pers di DPP PSI, Jakarta Pusat, 15 Desember 2017. PSI menjadi salah satu parpol yang dinyatakan lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). (Foto: Tempo/Dhemas Reviyanto)

Saya menambahkan, saya sendiri sama sekali tidak mengenal siapapun di PSI. "Saya hanya baca dan dengar tentang mereka di media. Tapi saya pikir mereka layak diberi kesempatan berkiprah mewarnai parlemen. Jika kemudian ketika mereka duduk nanti tidak sesuai dengan harapan kita, ya mari kita hukum mereka dengan tidak memilih mereka lagi di pemilu berikutnya," kata saya. 

"Jadi, jangan ragu lagi, bro memilih mereka. Negara ini butuh anak-anak muda seperti PSI. Beri kesempatan bagi mereka. Sampaikan juga ke siapapun untuk memilih PSI. OK, bro?" kata saya dan kawan saya pun tersenyum.

"Siap, bro!" katanya. "Tapi Anda wartawan, kenapa tidak independen dan justru seperti berkampanye begini?" tanyanya.

"Tidak mungkin saya independen karena saya pun pasti memilih. Ini bukan soal independen atau tidak tapi saya hanya mencoba rasional dalam memilih dan mencoba membuka ruang dan menyuarakan rasionalitas tersebut, jangan diam di balik independensi. Bagi saya yang utama bukan independensi tapi kebenaran," ucap saya dan hujanpun tiba-tiba datang mengguyur dengan derasnya disertai petir yang menggelegar di Minggu sore di timur Jakarta. []

Penulis: *Fetra Tumanggor, seorang wartawan, tinggal di Jakarta



 

 


 


Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.