Untuk Indonesia

Jurnalisme Positivisme dalam Berita Virus Corona

Media mesti menggunakan sudut pandang optimistis-positif dalam pemberitaan virus Corona atau Covid-19. Opini Lestantya R. Baskoro.
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers saat meninjau Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin, 23 Maret 2020. Presiden Joko Widodo memastikan Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran siap digunakan untuk menangani 3.000 pasien. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A)

Oleh Lestantya R. Baskoro

POSITIVISME, dalam genre aliran filsafat, tidak bisa dilepaskan dari August Comte, filsuf kelahiran Montpellier, Prancis, 1798, yang juga “ditasbihkan” sebagai “bapak positivisme” –aliran filsafat yang menguasai Inggris pada abad ke-19. Menjabarkan pemikirannya dalam bukunya yang termasyur, Cours the Philosohie Positive (Kursus tentang Filsafat Positivisme ) yang terdiri enam jilid, Comte, menunjuk perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: teologi, metafisis, dan positivisme.

Berbeda dengan dua tahap sebelumnya, pada tahap positivisme, pengetahuan didasarkan pada pengamatan dan penggunaan akal. Tujuan pengetahuan untuk mengetahui; untuk dapat melihat ke masa depan. Kesamaan positivisme dan empiris, demikian menurut Comte, keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya: positivisme membatasi diri pada pengalaman obyektif, sedang empirisme menerima juga pengalaman batiniah atau pengalaman subjektif. Harun Hadiwijono, dalam bukunya Sari Sejarah Filsafat Barat 2, menyebut positivisme, “Fakta yang menyajikan diri kepada kita sebagai penampakan atau gejala, kita terima dan dengan berpangkal pada hukum-hukum yang telah ditemukan, kita mencoba melihat ke masa depan...”

Dalam khasanah jurnalisme, positivisme Augus Comte ini bisa “diadopsi” sebagai jurnalisme yang melihat peristiwa terjadi dari sudut pandang, angle, positif. Positif dalam konteks ini tentu tak bisa dipisahkan dari “optimistis” -sebuah sudut pandang yang memberi harapan dan nilai-nilai kepercayaan diri pada pembaca -juga korban. "Jurnalisme positif."

Ini hampir sama dengan “jurnalisme peliputan bencana” yang kini digaungkan ke seluruh penjuru dunia: bahwa media tidak lagi mengeksploitasi kepedihan, kehancuran –baik dalam tulisan maupun foto, atau mengulang-ulang potongan rekaman video ketika bencana terjadi. Peliputan dan penulisan berita semacam ini dinilai tak berempati pada korban, tak “melihat” bahaya di balik ini semua: traumatik korban. Termasuk yang dihindarkan dalam peliputan model demikian, mewawancarai korban dengan meminta menceritakan pengalamannya saat terjadi bencana. Jurnalisme peliputan bencana -yang baik- dititikberatkan pada berita-berita positif, misalnya, bagaimana penanganan telah dilakukan, solidaritas kemanusiaan muncul di mana-mana atau cerita human interest korban yang selamat karena kegigihan dan kepercayaannya bahwa bencana yang dialami menjadi pelajaran penting dirinya.

Pemberitaan kasus Corona atau Covid-19 yang kini merebak di tanah air semestinya menekankan pemakaian jurnalisme ini: positivisme.

Tentu kritik tetap tak di kesampingkan. Jurnalistik -para jurnalis- tak boleh meninggalkan sifat kritisnya. Media yang kehilangan daya kritis adalah media yang telah “selesai,” tak bermanfaat untuk publik. Data-data korban, misalnya, tentu tak berarti tak boleh ditampilkan. Namun, titik berat pemberitaan pada model jurnalisme ini adalah dominannya berita, reportase, foto dengan angle optimistis: semua bencana itu bisa diatasi. Jika pemerintah, misalnya, dinilai lamban, bukan berarti kelambanan tersebut dijadikan “bulan-bulanan” -dieksploitasi- tapi diberitakan sebagai koreksi yang mesti segera diperbaiki.

Pemberitaan kasus Corona atau Covid-19 yang kini merebak di tanah air semestinya menekankan pemakaian jurnalisme ini: positivisme. Menekankan pada hal-hal positif yang telah dilakukan banyak pihak: pemerintah, dokter, perawat, dan mereka yang “bekerja dalam diam” mengatasi musibah ini. Jurnalisme yang membangkitkan rasa optimistis bahwa semua musibah ini tengah tertangani dengan baik. Pemberitaan seperti ini tak hanya menenangkan publik -tidak menciptakan kepanikan- tapi juga bisa membangkitkan pihak-pihak lain untuk ikut pula turun tangan dan “turun gunung” membantu musibah ini.

Kita bersyukur banyak media, sadar atau tidak, menerapkan jurnalisme ini dalam pemberitaan kasus Corona: membuat reportase sejumlah tindakan pemerintah, misalnya, mengubah Wisma Atlet dan sejumlah gedung lainnya sebagai rumah sakit korban Covid-19, mengeluarkan sejumlah kebijakan keringanan bagi masyarakat untuk pembayaran utang kepada bank, memberitakan sejumlah pengusaha yang mengubah hotelnya sebagai “rumah sakit korban virus Corona,” atau lembaga keagamaan yang membagikan ribuan alat medis untuk rumah sakit dan petugas medis, dan sebagainya. Dari sisi narasumber, reportase dan pengalaman korban yang sembuh dari virus ini merupakan hal penting yang akan membuat publik tenang.

Bentuk jurnalisme ini -jurnalisme positivisme - positif- walau tetap melaporkan jumlah korban, tapi tidak mengeksploitasi “kesalahan” korban. Jurnalisme positivisme -"Jurnalisme positif"- memberi pengetahuan pembaca bagaimana menghindari virus itu dan ke mana serta di mana saja rumah sakit yang bisa mereka datangi jika merasa terkena gejala terinfeksi virus. Edukasi kepada publik tak hanya disampaikan oleh pakar atau dokter tapi juga narasumber yang telah sembuh. Dengan pemilihan narasumber seperti ini, publik –atau kelompok masyarakat-- yang mungkin selama ini membangkang pada aturan untuk menghindari virus Corona, tidak merasa disudutkan tapi diajak untuk paham, bahwa ada yang salah pada mereka. Kesalahan yang harus segera diluruskan agar terhindari dari virus tersebut, termasuk misalnya,  membuka plastik jenazah korban virus Corona.

Jurnalisme memiliki tugas mencerahkan publik. Menumbuhkan harapan, tidak menciptakan pesimistis, apalagi kepanikan. Saatnya media, pada kasus wabah virus Corona atau Covid-19 ini, dengan kesadaran, menerapkannya. []

Lestantya R. Baskoro: wartawan Tagar.id dan Pokja Pendataan Media pada Dewan Pers. 

Berita terkait
Corona, Bank Mandiri Siap Turunkan Bunga 0 Persen
bank mandiri siap memberikan peurunan bunga hingga 0 persen untuk mendukung program relaksasi mengantisipsi dampak virus corona Covid-19.
Hati-hati Konsumsi Klorokuin, Obat Virus Corona
Klorokuin dianggap mampu mengobati virus Corona. Namun jangan sembarang mengonsumsinya karena termasuk kategori obat keras.
Jokowi Wanti-wanti Pembatasan Sosial Saat Corona
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Fadjroel Rachman mewanti-wanti pentingnya pembatasan sosial saat wabah virus corona (Covid-19) merebak.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.