Jakarta - Pakar hukum pidana sekaligus Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Managing Partner Jakarta International Law Office (JILO), TM Luthfi Yazid menilai transparansi dalam pembuatan Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) sangat penting dilakukan.
Hal itu diungkapkan, Luthfi menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi soal penjelasan ihwal penghapusan upah minimum di dalam Omnibus Law UU Ciptaker.
Hal ini tidak benar karena pada faktanya Upah Minimum Regional (UMR) tetap ada
Luthfi menjelaskan, banyak hal yang dapat diperdebatkan dari isi Omnibus Law UU Cipta Kerja tersebut dengan membandingkan UU yang lama dengan ketentuan yang baru. Beberapa hal yang dapat diperdebatkan, kata sia, semisal terkait hak pesangon, pemutusan hubungan kerja (PHK), hak cuti, aspek lingkungan hidup, hingga perpajakan.
"Tapi bukankah ada hal-hal yang jauh lebih penting lagi seperti masalah transparansi dalam pembuatan sebuah undang-undang, ketergesa-gesaan dalam pengesahan undang-undang, aspek procedural yang tak dihiraukan, atau terkait unsur-unsur formil dan materiil sebuah undang-undang," ujar Luthfi dalam keterangannya sepeti dikutip Tagar, Sabtu, 10 Oktober 2020.
"Ada juga yang berpendapat Omnibus Law cacat hukum karena ekonomi negara diserahkan kepada sistem liberal kapitalistik," ucap peneliti dan pengajar di Faculty of Law abd Economics, University of Gakushuin, Tokyo pada 2010-2011 ini.
Diketahui, Presiden Jokowi membantah jika ada penghapusan terkait Upah Minimum Regional (UMR) baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun sektoral provinsi dalam UU Ciptaker.
"Saya ambil contoh ada informasi yang menyebut penghapusan Upah Minimum Provinsi, Upah Minimum Kabupaten, Upah Minimum Sektoral Provinsi, hal ini tidak benar karena pada faktanya Upah Minimum Regional (UMR) tetap ada," kata Presiden Jokowi dalam Keterangan Pers terkait UU Cipta Kerja, dari Istana Kepresidenan Bogor, Jumat 9 Oktober 2020.
Jokowi juga membantah adanya isu yang menyebut bahwa upah minimum dihitung per jam. Ia menegaskan tidak ada perubahan dengan sistem yang ada sekarang.
"Upah bisa dihitung berdasarkan waktu dan berdasarkan hasil," kata Presiden Jokowi.
Sebagai informasi, DPR RI mengesahkan UU Ciptaker ini dalam rapat paripurna pada Senin, 5 Oktober 2020 lalu. Keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak atau dalam hal ini partai.
Adapun partai yang menyetujui di antaranya, PDI Perjuangan (PDIP), Gerindra, Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Sementara partai politik yang menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja adalah Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
- Baca juga: Aksi Tolak UU Cipta Kerja Terus Bergulir, Reformasi Terulang?
- Baca juga: Pakar Hukum: Omnibus Law Warisan Jokowi Membawa Petaka
Pengesahan itu menyebabkan masyarakat berunjuk rasa dan melalukan penolakan di sejumlah daerah pada Kamis, 8 Oktober 2020. Aksi turun ke jalan ini merupakan rangkaian mogok nasional dan protes yang dilakukan kelompok buruh hingga mahasiswa dan pelajar. []