Jangan Lihat Wiranto, Lawanlah Radikalisme dan Terorisme

Banyak nitizen yang memanipulasi di medsos kalau hal tersebut hanya sebuah rekayasa.
Menko Polhukam Wiranto nyaris terkena tusukan oleh seorang pria saat berkunjung ke Pandeglang, Banten. (Foto: Istimewa)

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Budi Gunawan, memastikan pelaku penusukan terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto bernama Syahrizal Alamsyah alias Abu Rara, tergabung dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Bahkan katanya, orang tersebut selama tiga bulan ini dipantau pergerakannya.

Banyak nitizen yang memanipulasi di medsos kalau hal tersebut hanya sebuah rekayasa.

Keterangan Budi Gunawan memberi kejelasan kejadian tersebut merupakan serangan teroris. Kali ini menimpa pucuk pejabat negara yang menggawangi bidang politik, keamanan dan hukum, yang notabene mengurusi gerakan terorisme.

Metodenya bukan melalui serangan bom yang mematikan, tapi menggunakan pisau kecil. Wiranto terluka parah dan selamat dari maut, sedangkan Kapolsek Pandeglang terluka ringan. Artinya, korbannya tidak banyak dan tidak mematikan, tidak seperti serangan teroris selama ini.

Tetapi, apakah pencapaian politik dari gerakan teror kemarin itu kecil? Atau tidak begitu dasyat meneror publik?

Saya mempunyai beberapa catatan tentang peristiwa tersebut, termasuk di dalamnya reaksi publik. Kesimpulan saya aksi teror tersebut sangat besar sekali pencapain politiknya, apalagi dikaitkan aksi teror dengan cara sederhana dan berbiaya murah. Tak perlu membuat bom, yang memerlukan dana besar dan kecakapan tinggi. Dilakukan hanya berdua (dengan istri). Hanya perlu ongkos angkot dari kontrakannya yang tak jauh dari tempat sasaran melancarkan aksinya.

Penyerang WirantoSyahril Alamsyah (kiri) dan Syahril Alamsyah (kiri). Keduanya pelaku penyerangan Menkopolhukam Wiranto di Pandeglang, Banten pada Kamis 10 Oktober 2019. (Foto: Istimewa)

Pencapaian politik yang dimaksud seberapa besar publik mendukung, atau seberapa besar publik melakukan kecaman dan melawan aksi tersebut? Dan juga, seberapa besar aksi tersebut akan menjadi inspirasi bagi pelaku teror lainnya? Atau juga seberapa besar berpotensi menciptakan teroris-teroris baru?

Dari segi perolehan politik, aksi teror kali ini menuai hasil yang luar biasa. Mungkin lebih berhasil dibandingkan aksi-aksi teror sebelumnya. Walaupun aksi sebelumnya menggunakan bom dan mematikan, seperti bom gereja di Surabaya, tetapi lebih menonjolkan aspek terornya. Setelah itu, publik ramai-ramai mengutuk dan menyatakan perlawanan terhadap gerakan teroris. Mendapat serangan balik, mendapat citra sangat negatif.

Yang terjadi sekarang, aksi tersebut menuai dukungan luar biasa. Baik dari pendukung yang menyetujui ide-ide terorisme dan jihad atau dukungan tidak langsung dari pihak-pihak yang selama ini menolak terorisme.

Untuk kelompok yang kedua, lebih fokus melihat figur Wirantonya, tidak pada aspek kejahatan yang dilakukan pelaku.

Sebagian publik justru banyak memberi komentar negatif kepada Wiranto, karena perannya sebagai tokoh militer zaman Orde Baru (Orba) yang banyak melakukan pelanggaran HAM. 

Banyak nitizen yang memanipulasi di medsos kalau hal tersebut hanya sebuah rekayasa. Bahkan, beberapa istri anggota TNI memberi komentar nyinyir di jagad maya.

Sikap-sikap seperti itu sebenarnya telah menciptakan opini bahwa aksi teror kali ini mendapat dukungan publik. Mungkin, sebagian publik bukan bermaksud mendukung teroris, tetapi lebih kepada melampiaskan ketidaksukaannya kepada Wiranto, entah massa lalunya atau peranannya saat ini.

Opini yang terbentuk semacam ini, hanya akan menjadikan aksi teror tersebut sebuah inspirasi bagi banyak kelompok teroris lainnya yang tidak satu jaringan. Bahkan, mampu menginspirasi banyak individu yang sudah terpapar paham terorisme, yang tidak tergabung dalam jaringan teroris manapun.

Bunuhlah pejabat yang kontroversial dengan cara ditusuk atau cara sederhana lainnya. Niscaya akan banyak publik yang mendukung aksi terormu itu. Mungkin demikian pesan yang ditangkap oleh orang-orang yang sudah terpapar virus terorisme.

Bila dulu Imam Samudra dan Amrozi setelah meledakkan bom Bali hanya segelintir orang yang berani bersimpati. Aksi kemarin justru seperti "menuai" simpati yang begitu luas.

Terorisme Musuh bersama

Aksi terorisme dalam bentuk apapun harusnya dilawan. Terorisme adalah tindakan melawan kemanusiaan. Terorisme dalam idiologi apapun harus menjadi musuh bersama.

Harusnya publik tidak terjebak dalam melihat figur Wirantonya, tetapi tetap mengarahkan kepada pelaku dan aksi terornya. Tidak boleh publik mengendurkan perlawanan dan kecaman kepada pelaku teror karena aspek korbannya figur yang tidak disukai. Siapa pun pihak yang menjadi korban teror, kita harus empati dan memberi dukungan. Kalau sebaliknya, tanpa sadar kita memberi dukungan kepada aksi kemarin.

Kejadian kemarin bukan hanya meneror aparat negara semata, tapi juga masyarakat sipil.

Video penusukan tersebut beredar sangat luas sekali. Mayoritas publik menonton adegan kekerasan tersebut.

Video awal yang diunggah dan beredar luas tidak secara gamblang merekam proses penusukan itu.

Harusnya, respon politik ditujukan kepada tindak kekerasan dan teror, siapa pun mereka, termasuk bila itu dilakukan aparatus negara.

Karena dicibir sebagai sesuatu yang direkayasa, keluarlah video yang begitu jelas memperagakan kesadisan sang pelaku menusuk perut Wiranto sebanyak dua kali. Sang mantan jenderal tersebut tersungkur ke tanah setelah mendapat serangan tersebut. Terlihat jelas wajah sang pelaku begitu bengisnya melakukan aksi penusukan itu.

Penusuk WirantoPolisi memeriksa rumah keluarga Syahrial Alamsyah penusuk Menko Polhukam Wiranto, di Jalan Alfakah V Desa Tanjung Mulia Hilir Medan Deli, Kota Medan, Sumatera Utara, Kamis, 10 Oktober 2019. (Foto: Antara/Septianda Perdana)

Mungkin bagi sebagian kelompok dan banyak individu aksi kemarin tidak begitu menakutkan diri mereka, karena mereka tidak mempunyai agenda politik melawan kekuatan intoleran dan gerakan terorisme.

Tetapi bagi nitizen yang punya agenda melawan gerakan radikalisme Islam dan terorisme, peristiwa kemarin sangat meneror diri mereka.

Belum lama kasus penculikan dan penganiayaan yang dialami Ninoy Karundeng berlalu. Kasus itu sendiri membuat khawatir para pegiat medsos yang sering berpolemik dengan kelompok intoleran, semacam FPI. Tidak menutup kemungkinan diri mereka juga akan mengalami kekekerasan seperti yang dialami Ninoy.

Dalam kasus ini, banyak pihak justru fokus mengomentari Ninoy yang mereka sebut sebagai "buzzer istana". Menganggap wajar apa yang menimpa Ninoy karena peran dia yang terlalu tajam mengkritik FPI dan sekutunya.

Banyak kelompok dan individu merespon situasi tersebut berdasarkan suka dan tidak suka kepada figur yang menjadi korban tindak kekerasan dan teror.

Harusnya, respon politik ditujukan kepada tindak kekerasan dan teror, siapa pun mereka, termasuk bila itu dilakukan aparatus negara.

Respon politik seperti itu sama saja bersikap permisif terhadap cara-cara kekerasan dan teror dalam menyelesaikan perbedaan pandangan politik. Sama saja secara tidak langsung memberi dukungan kepada kelompok pro kekerasan dan teror.

Saya adalah orang yang tidak menyukai Wiranto atas massa lalunya itu (termasuk peran dia saat ini). Masih jelas dalam memoriku, saat menjadi Pangab, justru Wiranto membidani Pam Swakarsa, cikal bakal FPI. Sebuah milisi sipil yang didesain untuk melawan gerakan mahasiswa dan rakyat saat itu.

Tapi posisi saya menghadapi situasi teror di Pandeglang tersebut, lebih fokus melawan aksi teror yang dilakukan salah satu anggota teroris kelompok JAD tersebut.

Aksi terorisme harus dilawan. Mengendurkan penentangan dan perlawanan terhadapnya, apalagi bersifat permisif, akan semakin membuka peluang mereka tumbuh menjadi besar. []

*Petrus Hariyanto, Mantan Sekjen Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Baca juga:

Berita terkait
Hanum Rais Nyinyir Wiranto, Ini Tanggapan PAN PDIP
Hanum Rais mengatakan penusukan Wiranto drama politik jelang pelantikan presiden. Ini tanggapan Partai Amanat Nasional (PAN) dan PDI Perjuangan.
Saat SBY, AHY dan Ibas di Ruang Perawatan Wiranto
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Edhie Baskoro (Ibas) menjenguk Menko Polhukam Wiranto.
Ancaman 4 Tahun Penjara Bagi "Penyinyir" Wiranto
Tiga istri anggota TNI yang nyinyir penusukan Wiranto,jika terbukti melanggar UU ITE, bisa dihukum maksimal empat tahun penjara.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.