Jalan Terjal Produser Hollywood Dukung Film Nasional

Jalan terjal menuju kejayaan industri film Tanah Air. Hal ini dirasakan dua produser film Hollywood.
Sunil Samtani (Rapi Film) saat bertemu Myron Ward, dan John Blythe, dua petinggi FRI yang juga produser film Hollywood. (Foto: Tagar/Budi Utomo)

Jakarta - Perkembangan industri perfilman Tanah Air kalah pesat dengan negara tetangga di Asia. Bukan hal mudah untuk bisa mentasbihkan pelaku film nasional menjadi raja di negeri sendiri. 

Jalan terjal menuju puncak kemaslahatan film tersebut dirasakan langsung oleh produser Hollywood, Myron Ward dan John Blythe. Ternyata, penghambatnya bukan dari tekanan bisnis film asing tapi malah dari komitmen pemangku kebijakan negara ini. 

Hari itu, Jumat, 17 Januari 2020, langit Jakarta begitu cerah. Kekhawatiran kami akan isu banjir di awal bulan sirna seketika. Pukul 10.00 WIB, di daerah Kemang yang terkenal padat, bukan waktu yang mudah untuk memesan taksi online. Ini lantaran driver maupun lalu lintasnya sama-sama sibuk. 

Setelah menunggu sekitar 20 menit kami mendapatkannya. Myron Ward dan John Blythe terperangah melihat pertumbuhan ekonomi yang melejit di Ibu Kota Indonesia ini. Mereka kagum dengan infrastruktur yang mampu bersaing dengan kota-kota besar di dunia, meskipun hal itu berdampak pada kemacetan di mana-mana.

Banyak hal yang bisa digali dari perfilman di Asia umumnya dan Indonesia pada khususnya.

Tagar menyertai dua produser film kelas internasional itu menuju kantor Rapi Film di bilangan Cikini. Mereka menjalankan sebuah perusahaan film bernama Film Region International (FRI). Sebuah kunjungan yang dirasa sangat penting untuk mengetahui peta bisnis industri film di Indonesia.

Sesampainya di lokasi yang dituju, kami disambut dengan ramah oleh Sunil Samtani dari pihak Rapi Film. Perbincangan menjadi sangat cair, saat Sunil juga mengetahui peta perfilman di Amerika.Kunjungan selama lebih dari satu jam tersebut berlangsung santai namun serius, terasa sangat singkat namun berkualitas. 

Perlu diketahui, FRI adalah perusahaan film independen yang bermarkas di Santa Monica, California, Amerika Serikat. Perusahaan ini telah aktif menjalankan produksi, mengembangkan dan mendistribusikan film secara independen pada peredaran domestik dan internasional sejak tahun 2005. 

John Blythe adalah presiden FRI, sedangkan Myron Ward menjabat sebagai wakil presidennya. FRI telah menghasilkan film-film sukses seperti My Amityville Horror (2012), dan Indonesia mereka ikut membantu produksi film Rumah dan Musim Hujan (2012) yang diperankan oleh Vino G. Bastian. 

Tantangan akan Niat Baik

Produser HollywoodJohn Blythe dan Myron Ward, saat kunjungi SAE Institute Indonesia, Jumat, 17 Januari 2020. (Foto: Tagar/Budi Utomo)

Setelah rehat makan siang, kami baru bisa berbicara panjang lebar seputar maksud kedatangan FRI di Tanah Air. Salah satunya membahas soal perubahan selera menonton film dari masyarakat Amerika. 

“Dewasa ini, penonton Amerika semakin banyak menonton film dari negara asing. Akses untuk melihat film-film tersebut sangat mudah karena sudah tersedia di berbagai platform VOD (video on demand), seperti Amazon Prime, Netflix, Iflix, dan lain-lain,” ujar Myron Ward.

Genre film yang mereka sukai, tambah Ward, adalah horor dan komedi. “Apalagi, perusahaan besar, seperti Gojek juga mulai merambah ke video streaming,” ujar dia.

Kenyataan itu menginspirasi pihak FRI untuk datang langsung dari Amerika. Mereka ingin mengetahui bagaimana kondisi industri perfilman di Tanah Air dari dekat. “Banyak hal yang bisa digali dari perfilman di Asia umumnya dan Indonesia pada khususnya,” sambung Ward yakin.

Meskipun begitu, mereka tetap menemui kendala yang tak mudah. Dan itu dianggap sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi. “Kami baru mengetahui kalau di sini minim dukungan dari lembaga terkait,” timpal John Blythe menirukan pendapat dari sumber yang terpercaya.

Di banyak negara, lanjut produser yang wajahnya mirip aktor Hollywood Josh Harnett itu, investor asing seperti FRI mendapat keringanan dengan insentif produksi. Contohnya di Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan masih banyak lagi. 

Pemerintah di sana memberikan insentif sekitar 20 persen sampai 30 persen dari biaya produksi. “Nilai insentif tersebut tidak main-main. Dengan biaya produksi, katakanlah, Rp 10 miliar, kami bisa menghemat Rp 3 miliar. Dana itu bisa kami alokasikan untuk hal lain, termasuk untuk promosi,” kata Blythe.

Dukungan dalam bentuk insentif tersebut menjadi penyemangat bagi investor internasional untuk memproduksi film di negara tersebut. “Dan itu akan sangat membantu memperkenalkan negara itu di kancah internasional,” ucapnya.

Blythe menambahkan, sempat mendengar kisah yang kurang menyenangkan investor asing di Indonesia. Suatu saat investor dari India pernah sangat tertarik untuk memproduksi film di Tanah Air yang jumlah pembiayaannya cukup besar. 

Kami baru mengetahui kalau di sini minim dukungan dari lembaga terkait.

Mengetahui di Indonesia minim dukungan, investor tersebut langsung hengkang dan memilih negara lain yang lebih ramah investasi asing. Namun John Blyhte masih akan mencari solusi atas permasalahan itu. Dari pandangannya tersirat sebuah keinginan untuk mendobrak tembok kebijakan yang kurang support dengan laju kerja industri film itu.

Perihal minimnya dukungan terhadap industri kreatif pada umumnya juga dikeluhkan oleh banyak pelaku seni. Salah satunya dari Alfa 38 tahun, seorang komikus asal Semarang. Pemilik perusahaan komik bernama Papillon ini juga melihat ketidakmampuan pemerintah melihat sisi strategis dari industri kreatif.

“Sebelum ini, seni kreatif memiliki memiliki organisasi sendiri yang bernama Bekraf atau Badan Ekonomi Kreatif. Sedangkan sekarang kreatif disatukan dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi kreatif. Itu menjadi bukti kalau industri kreatif belum dilihat secara serius,” ujarnya kepada Tagar akhir November 2019.

Tantangan lain yang mesti dihadapi oleh FRI adalah ketatnya gunting sensor di negara Indonesia. Banyak pihak yang menganggap kalau sensor yang masih diberlakukan mengurangi kreativitas bagi kreator film dalam bekarya.

Kemala Atmojo, seorang pengamat hukum entertainment pada Jumat, 16 Agustus 2019. Ia menulis tentang hal itu. 

"Kebebasan (berkarya tanpa dibatasi oleh sensor) ini sudah lama dinikmati para jurnalis, penulis buku, politikus, dan profesi lainnya. Herannya, untuk insan perfilman, kebebasan itu belum sepenuhnya bisa dinikmati."

"Hal itu terjadi karena kita gagal menuntaskan diri sebagai bangsa yang merdeka. Lembaga sensor yang dibuat pemerintah Hindia Belanda itu tetap dipertahankan ketika Indonesia merdeka," sambungnya.

Melihat beberapa kendala tersebut, baik John Blythe dan Myron Ward, tetap yakin FRI mampu menghadapi tantangan tersebut. Sore hari, pukul 15.00 WIB, FRI diundang untuk hadir di SAE Institute Indonesia di Pejaten. SAE adalah sekolah multimedia yang menyediakan Jurusan Film, Jurusan Animasi, Teknik Audio dan Jurusan Bisnis Manajemen.

Kami mendapat kesempatan untuk melihat secara langsung fasilitas, sistem kerja dan hasil dari SAE. Tempat pendidikan tersebut sangat prestisius dan mengesankan sehingga di kemudian hari diharapkan mampu mencetak tenaga ahli di bidang industri kreatif multimedia.

Amanda Iswan

Amanda IswanAmanda Iswan, sutradara cantik film Zeta: When The Dead Awaken (2019). (Foto: Instagram/@amandaiswan)

Esoknya, FRI bertemu dengan sutradara perempuan bernama Amanda Iswan. Mandy, sapaan gadis cantik ini telah menghasilkan karya jempolan berjudul Zeta: When The Dead Awaken (2019), dan hebatnya itu adalah karya perdananya. 

Film Zeta menawarkan tema yang jarang digarap oleh sineas lokal, yaitu film thriller bertema zombie atau mayat hidup. Film ini cukup mengejutkan saat rilis tahun lalu.

Sutradara muda alumni jurusan film di Quinnipiac University, Hamden, Connecticut, Amerika Serikat itu mengemas filmnya dengan adegan baku hantam dan aksi yang seru. Sebuah capaian kerja yang patut dibanggakan mengingat sutradara wanita biasanya memilih tema drama atau komedi.

FRI menganggap Amanda Iswan adalah sineas muda yang memiliki masa depan cerah. Perusahaan Amerika itu tertarik untuk mengedarkan karya Mandy di Amerika dan Eropa. Rencananya, film Mandy akan diedarkan ke jaringan bioskop terlebih dahulu, untuk kemudian ke platform VOD. 

Kolaborasi FRI yang sudah berkiprah di dunia perfilman selama 15 tahun dan tetap gigih di kancah industri film internasional dengan Swan Pictures, rumah produksi milik Amanda Iswan adalah langkah strategis dalam upaya membesarkan industri film Tanah Air. Kerja sama itu menyatukan semangat produser kawakan dan sineas muda penuh kreatifivas dan semangat. []

Baca juga: 

Berita terkait
Perempuan Tanah Jahanam Diakui di Festival Film AS
film Perempuan Tanah Jahanam diakui tayang perdana dalam acara Sundance Film Festival di Amerika Serikat.
Cerita Film Akhir Kisah Cinta Si Doel di Mata Slank
Cerita petualangan cinta segitiga si Doel memiliki kesan tersendiri di mata para personel Slank.
Film KKN di Desa Penari Sarat Adegan Berbahaya
Aktris muda Adinda Thomas mengaku mesti menjalani adegan berbahaya sewaktu berperan sebagai Widya di film KKN di Desa Penari.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.