Ingin Belajar Toleransi, Datang ke Ambon

Adanya peristiwa intoleransi di tengah masyarakat, harusnya mereka belajar dari kota Ambon yang pernah terkoyak sentimen agama.
Wisata ziarah ke Jabal Nur Mekkah dianggap punya makna tinggi. (Foto: Antara/Hanni Sofia)

Semarang – Kerukunan antar umat beragama di Tanah Air tengah diuji dengan sejumlah kejadian intolerensi beberapa waktu terakhir. Apalagi dengan adanya persoalan materi pengajian Ustad Abdul Somad yang menyinggung perasaan umat Kristen dan Katolik.

Berbicara tentang toleransi, mereka yang selama ini berdebat mencari benar dan salah soal ajaran Tuhan, sepertinya harus belajar ke Ambon. Bagaimana tidak, kota di Provinsi Maluku ini pernah terkoyak ‘perang saudara’ akibat sentimen agama, seiring waktu berjalan membuat masyarakat Ambon semakin dewasa dan kota tersebut sampai dijadikan wilayah percontohan sebagai kota toleransi.

Wali Kota Ambon, Richard Lougenapessy yang hadir dalam diskusi bertopik ‘Ambon: Menuju Kota yang Inklusif dan Toleran di Pusat Studi Urban Universitas Katolik (Unika) Soegijopranoto di Semarang menceritakan bagaimana keadaan Ambon terkini sepanjang masa kekuasaannya itu.

Dia menyebutkan kondisi terkini kota yang dipimpinnya, tidak lagi seperti ketika peristiwa di tahun 1999 meledak. "Masyarakat sudah semakin peka dan belajar dari pengalaman kita 20 tahun yang lalu," kata Richard Lougenapessy di Semarang, Senin, 26 Agustus 2019.

Kata dia, dahulu kala Ambon menjadi tempat tujuan bangsa asing untuk mencari rempah-rempah. Sebab, Maluku kala itu terkenal sebagai daerah penghasil rempah terbaik dunia yang sangat dibutuhkan bangsa Eropa.

Akulturasi budaya dan agama tersebut menjadi bukti nyata adanya kebhinekaan di era nenek moyang.

Dari sini lah, menurut Richard, kehadiran warga asing memberi warna di kultur dan budaya masyarakat Ambon. Begitu juga dengan keyakinan yang dibawa oleh bangsa asing itu. Mereka (bangsa asing) tersebut turut menyebar dan merasuk dalam sendi kehidupan masyarakat lokal. "Tapi rupanya kunjungan itu membuat Ambon sangat beragam baik dari segi budaya dan agama," ujar dia.

Bagi Richard Lougenapessy, akulturasi budaya dan agama tersebut menjadi bukti nyata adanya kebhinekaan di era nenek moyang. Tidak dibuat-buat atau dikemas dengan settingan tertentu. Jadi, kerukunan dan keberagaman sudah ada di Ambon sejak dahulu kala.

“Itu sebetulnya menjadi kekuatan kita, selain nilai-nilai budaya asli yang terus dijaga dan lestarikan kepada generasi penerus bangsa,” tuturnya.

Sayangnya, seiring waktu kerukunan dan toleransi yang sudah mengakar, mulai terkoyak oleh kebijakan sentralisasi kekuasan dan penyeragaman kebijakan struktural. Kebijakan itu tidak cocok dengan kondisi riil tiap wilayah, termasuk Ambon.

Isu perbedaan mulai dimainkan, dengan melakukan sentimen agama untuk memecah persatuan. Secara perlahan, terjadi distorsi nilai-nilai budaya di tengah masyarakat. Nilai kultural yang harusnya menjadi kekuatan perekat tidak mampu menjadi kohesi sosial bagi masyarakat.

“Puncaknya pada 1999, saat terjadi perpindahan kekuasan politik, Ambon menjadi daerah konflik. Itu akibat distorsi nilai-nilai budaya,” katanya.

Memasuki era reformasi, banyaknya bukti perpecahan sama sekali tidak memberi manfaat, hingga masyarakat Ambon kembali diingatkan tentang nilai-nilai kearifan lokal. "Kita belajar dari pengalaman masa lalu untuk membangun kembali Ambon dengan nilai-nilai kearifan lokal kita," ujarnya.

Dia mengungkapkan kearifan lokal sangat ampuh menjadi jembatan perekat keberagaman masyarakat. "Contohnya, di hubungan keakraban umat muslim dan nasrani yang terjalin erat," tuturnya.

Hubungan keakraban antar umat itu dibuktikan saat ini ketika masyarakat Ambon membuat sebuah kegiatan, dimana perwakilan atau pemuka agama yang beda menjadi panitia bersama.

"Jika ada acara harus ada dua, yakni satu dari muslim dan satu dari pastor, kecuali acara resmi kenegaraan. Ini sudah sangat diterima masyarakat, mereka belajar dari masa lalu," katanya.

Tidak heran, dengan pengalaman yang ada, termasuk berhasil mengelola konflik dengan baik, Ambon pada akhirnya menjadi kota percontohan toleransi. Tahun ini, Ambon diganjar Presiden Jokowi sebagai wilayah dengan kerukunan antar umat beragama terbaik di Indonesia.

Dia menyampaikan Ambon dinyatakan sebagai penyelenggara even Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) terbaik. Kegiatan itu ternyata sangat didukung oleh umat Katolik dan Kristen.

"Saat lomba MTQ semua orang yang terlibat dan partisipan pakai jilbab, pakai baju panjang. Tapi mereka semua bukan muslim, Ya itu jadi contoh yang luar biasa dan hanya ada di Ambon," ujarnya.

"Padahal 20 tahun lalu Ambon jadi seperti neraka, tidak ada yang mau mengunjungi Ambon karena banyak konflik, banyak yang ketakutan," ucapnya.[] 

Berita terkait
Naik Pangkat, 60 Polisi Ambon Disuruh Jalan Jongkok
Kepala Polres Pulau Ambon AKBP Sutrisno Hady Santoso menyuruh anggota yang naik pangkat jalan jongkok.
HUT ke-74 RI, Kapolda Maluku Pimpin Upacara di Laut
Kapolda Maluku Royke Lumowa memimpin upacara 17 Agustus dari atas laut. Menurut dia, hal ini perlu dilakukan karena wilayah Maluku dikepung lautan.
Sekolah yang Disegel di Ambon Dibuka Kembali
Setelah Sekot Ambon menggelar pertemuan dengan ahli waris, sekolah yang sempat disegel bisa kembali digunakan.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.