Oleh: Syaiful W. Harahap
Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 12 October 2019. Redaksi.
TAGAR.id - “Katarak hanya bisa diobati dengan operasi.” Itulah yang dikatakan seorang dokter mata di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta Timur. Soalnya, ada saja iklan dan promosi yang menyebutkan bisa menyembuhkan katarak tanpa operasi.
Laporan Badan Kesehatan Sedunia PBB (WHO) menyebutkan sekiar 2,2 miliar penduduk di dunia mengalami gangguan penglihatan atau kebutaan. Padahal, lebih dari 1 miliar di antaranya bisa dicegah dan diobati.
Operasi Katarak
Sedangkan di Indonesia sekitar 81 persen kasus kebutaan terjadi karena katarak yang tidak ditangani sejak awal. Data ini diperoleh dari survei di 15 provinsi yang dilakukan oleh Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI.
Katarak adalah kondisi lensa mata yang keruh dan seperti berawan. Sebagian besar penderita katarak tidak merasakan gangguan katarak pada mata karena pada mulanya datang perlahan-lahan. Pada banyak kasus katarak baru terasa ketika penghilatan gelap.
“Wah, itu baterainya habis.” Inilah seloroh dokter mata tadi setelah mendengar keluhan pasien yang dihadapinya yang mengatakan mata sebelah kanan tidak bisa melihat. Pak Doker itu pun wanti-wanti bahwa tidak ada obat menghilangkan katarak dan tidak ada pula obat untuk mencegah katarak. Biasanya katarak mulai ada pada usia di atas 40 tahun. Untuk itulah perlu memeriksakan mata secara rutin.
“Bapak ‘kan pakai Askes (ini tahun 2010-pen.). Operasi saja.” Lagi-lagi Pak Dokter memberikan saran. Sekarang pun setelah Askes beralih ke BPJS Kesehatan biaya operasi katarak gratis. Padahal, tanpa BPJS Kesehatan biaya operasi katarak antara Rp 8 juta – Rp 25 juta. Tergantung tempat operasi.
Laporan WHO menyebutkan lebih dari 1 miliar penduduk dunia hidup dengan gangguan penglihatan, seperti ganguan penglihatan pendek dan jauh, glaukoma dan katarak karena mereka tidak mempunyai akses ke sarana pengobatan. Bisa jadi karena sarana kurang atau karena biaya berobat tidak ada.
Laporan yang diluncurkan bertepatan dengan Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day) tanggal 10 Oktober menunjukkan jumlah penduduk berusia lanjut, perubahan gaya hidup dan akes yang terbatas ke fasilitas perawatan mata, terutama di negara-negara miskin, merupakan sebagian faktor ang mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang hidup dengan gangguan penglihatan
Berdasarkan Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) tahun 2014-2016 rata-tata angka kebutaan di Indonesia sebanyak 3% untuk penduduk di atas usia 50 tahun atau pada angka sekitar 1 juta penduduk Indonesia buta karena katarak. Sekiar 80 persen kebutaan karena katarak terjadi pada warga berusia di atas 50 tahun.
Survei RAAB dilakukan terhadap penduduk berusia 50 tahun ke atas di Provinsi-provinsi: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua Barat.
Tsunami Katarak
Penyebab katarak baru sebatas kecurigaan yaitu karena mata banyak kena sinar matahari sebagai konsekuensi hidup di Khatulistiwa (Equator 0 derajat). Dicurigai sinar UV B bisa mempercepat katarak. Selain itu penyakit diabetes melitus atau kencing manis juga bisa mempercepat katarak.
Itulah sebabnya seperti dikatakan Pak Dokter tadi tidak ada obat untuk mencegah katarak, tapi kebutaan karena katarak bisa dicegah yaitu melalui operasi katarak. Dengan operasi katarak produktivitas seseorang yang terganggu karena katarak bisa kembali ke tingkat semula ketika tidak ada katarak.
“Bapak berdoa, saya akan bersihkan katarak dan tanam lensa,” ujar Pak Dokter setelah pasien baring di meja operasi. Ternyata operasi katarak dan pemasangan lensa hanya 25 menit. Yang lama adalah penyembuhannya yaitu sekitar 1-2 minggu dengan berbagai syarat yang ketat, seperti tidak boleh batuk, tidak boleh ngeden dan tidak boleh sujud. Beberapa pasien operasi katarak akan gagal karena melakukan kegiatan yang dilarang setelah operasi katarak.
Yang jadi persoalan survei RAAB menunjukkan 90 persen kasus kebutaan karena katarak terjadi pada masyarakat berpenghasilan rendah. Tapi, bagi peserta BPJS Kesehatan, pemegang KIS (Kartu Indonesia Sehat) dan penerima bantuan iuran (PBI) tentu tidak ada masalah.
“Kondisi mata dan gangguan penglihatan tersebar luas, dan seringkali mereka tidak diobati,” kata Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO.
Tanpa penanganan yang komprehensif dikhawatirkan akan terjadi "tsunami katarak" karena usia harapan hidup orang Indonesia meningkat jadi 67 tahun. Pada tahun 2030 penduduk berumur di atas 50 tahun berjumlah 25 persen dari jumlah penduduk. Padahal, pada umur di atas 50 tahun risiko katarak mengintai.
Bagi Dr Tedros tidak bisa diterima membiarkan 65 juta orang buta atau penglihatannya terganggu padahal dalam waktu satu malam saja mereka bisa diobati dengan operasi katarak. Begitu juga dengan 80 juta penduduk dunia terganggu usahanya hanya karena mereka tidak bisa membeli kaca mata.
Dikabarkan Kemenkes RI bersama semua stakeholders terkait dengan kesehatan, termasuk Komisi Mata Nasional (Komatnas), sudah menyusun satu peta jalan penanggulangan gangguan penglihatan di Indonesia yang diadopsi dari Organisasi Internasional Pencegahan Kebutaan (IAPB).
Dalam kaitan inilah fungsi pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) dalam hal promotif dan preventif perlu dikembalikan. Puskesmas jadi ujung tombak dalam strategi penanggulangan kebutaan melalui skrining dan deteksi dini (Bahan-bahan dari WHO, Antara, dan sumber-sumber lain). []
*Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id