Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menanggapi keputusan sepihak pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang.
Ekonom senior Indef Aviliani mengatakan keputusan tersebut semestinya menjadi early warning bagi pemerintah kita karena dapat mempengaruhi kinerja neraca transaksi berjalan (current account) Tanah Air.
"Kalau kita diam saja dan disetujui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), current account kita akan terdampak karena berbagai keringanan akan hilang," ujar Aviliani di Jakarta, Kamis, 27 Februari 2020 seperti dilansir dari Antara.
Menurut dia penilaian sepihak itu dapat membuat harga produk ekspor Indonesia ke AS menjadi lebih tinggi yang berpotensi menurunkan pangsa pasar produk Indonesia, karena terganti produk yang lebih murah dari negara lain.
Padahal, AS merupakan salah satu negara tujuan ekspor produk-produk unggulan dalam negeri seperti tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, karet, furnitur serta elektronik.
Sepanjang 2019 saja, ekspor Indonesia ke AS sebesar 17,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp 248 triliun (kurs Rp14.045). Sementara total ekspor Indonesia pada 2019 senilai 167,5 miliar dolar AS.
"Kalau kita diam saja atau tidak protes maka 12,84 persen [pasar ekspor AS Januari 2020] berpotensi turun, orang Amerika akan cari supplier baru," tutur dia.
Baca juga: Indonesia dan Negara Maju Semu
Sementara itu, kata peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus keputusan mengeluarkan Indonesia sebagai anggota negara berkembang dalam prinsip hukum Countervailing Duty (CVD) pada 10 Februari 2020 menyebabkan hilangnya subsidi yang selama ini dinikmati.
"Implikasi dari hukum countervailing duty yang sebelumnya mendapatkan keringanan penyediaan subsidi hingga dua persen dan volume standar impor yang diabaikan, akan dihapuskan," ucap Ahmad.
Senada dengan Aviliani, ia menilai keputusan akan berdampak terhadap produk lndonesia ke AS yang akan mengalami kenaikan bea impor AS. "Hal ini menimbulkan implikasi bahwa ke depan produk ekspor Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS [karena pengenaan tarif]," kata dia.
Jika lndonesia tidak segera memperbaiki posisi daya saing produk ekspor di pasar AS, menurut dia akan ada penurunan nilai ekspor ke "Negeri Paman Sam" itu.
"Konsekuensinya produk Indonesia harus bersaing dalam aspek kualitas dan harga produk serta aspek kesehatan dan keamanan lingkungan," ujarnya.
Berdasarkan hasil simulasi Global Trade Analysis Project (GTAP) tarif impor (dengan asumsi meningkat lima persen dari posisi tarif saat ini) untuk produk ekspor utama lndonesia ke AS, maka secara makro akan menyebabkan penurunan ekspor ke AS sebesar 2,5 persen. []