Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menanggapi utang luar negeri (ULN) Indonesia terus meningkat yang menggerus cadangan devisa.
Menurut dia, untuk mengatasi kondisi tersebut, sebaiknya pemerintah bernegosiasi kembali terkait utang luar negeri kepada pihak kreditur.
"Pemerintah disarankan untuk melakukan renegosiasi utang luar negeri khususnya pada kreditur seperti bank dunia, ADB dan IDB," kata Bhima saat dihubungi Tagar, Selasa, 27 Oktober 2020.
Harusnya ada pemotongan anggaran kementerian yang signifikan khususnya pada sektor infrastruktur. Baru utang dijadikan jalan terakhir.
Baca juga: Bamsoet Minta Sri Mulyani Hati-hati Kelola Utang Luar Negeri
Untuk bentuk negosiasi, kata Bhima, bisa dengan pengurangan beban pokok utang atau bunga didasarkan pada alokasi anggaran untuk penganganan Covid-19. Menurutnya, pemerintah bisa bilang ke kreditur dana untuk bayar utang dialihkan untuk penanganan pandemi.
"Cara yang disebut debt swap dengan program sudah banyak dilakukan oleh negara lain," ucapnya.
Selain itu, kata dia, cara berikutnya yakni mengatur sumber belanja pemerintah. Upaya ini bisa dilakukan sebelum memutuskan menambah utang.
"Harusnya ada pemotongan anggaran kementerian yang signifikan khususnya pada sektor infrastruktur. Baru utang dijadikan jalan terakhir," ujar Bhima.
Bhima menjelaskan utang luar negeri tanah air yang terus meningkat dan menggerus cadangan devisa bisa berisiko untuk ke depannya. Risiko ini pun terus meningkat baik utang luar negeri (ULN) pemerintah maupun swasta.
"Defisit APBN yang terus melebar membuat pemerintah agresif mencari utang ke investor dan lembaga kerditur asing," tuturnya.
Baca juga: Kemenkes Utang Rp 7 Miliar kepada RSUD Kota Yogyakarta
Di sisi lain, kata Bhima, yang perlu diperhatikan kemampuan bayar atau debt to service ratio (DSR) yang terus mengalami kenaikan menjadi 29,5 persen pada kuartal ke II 2020. Menurutnya, DSR yang meningkat berikmplikasi pada kenaikan utang berbentuk valas tidak diimbangi dengan pendapatan devisa ekspor dan sumber devisa lainnya.
"Jika kondisi makin tidak imbang, bukan tidak mungkin risiko turunannya rating utang hingga kesulitan pemerintah mencari sumber pembiayaan," ucap Bhima. []