Untuk Indonesia

Hoaks Strategi Kampanye Hitam yang Makin Agresif dan Ofensif

Hoaks strategi kampanye hitam yang makin agresif dan ofensif mendekati hari tenang dan hari pencoblosan.
Petugas memberikan sosialisasi pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 kepada warga saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day (CFD) Solo, Jawa Tengah, Minggu (17/2/2019). Selain untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam penyelenggaraan Pemilu pada 17 April 2019 mendatang, sosialisasi juga untuk mengajak masyarakat tidak ikut menyebarkan hoaks atau berita bohong. (Foto: Antara/Maulana Surya)

Oleh: Girindra Sandino*

Sebentar lagi pemilu serentak 2019 akan memasuki tahapan rapat umum, masa tenang dan pemungutan suara. Berbagai elemen sudah saling mengkonsolidasikan diri, baik sebagai pendukung masing-masing peserta pemilu maupun yang menyatakan diri sebagai kelompok-kelompok Independen.

Baliho, spanduk dan alat peraga kampanye sudah semakin banyak ditemui, walau di jalan sempit sekalipun ada saja spanduk-spanduk berukuran tidak kecil. 

Akan tetapi, ada fenomena yang akan hadir, dan yang mungkin dampaknya bisa sangat destruktif terhadap proses pelaksanaan pemilu yang kita harapkan terlaksana dengan damai dan demokratis. 

Kedua kubu mengklaim tidak memproduksi berita-berita hoaks yang membingungkan dan menyesatkan masyarakat. Namun demikian, berikut pandangan Seven Strategic Studies terhadap paparan di atas:

Pertama, isu hoaks yang berkembang di beberapa daerah termasuk di Jawa Barat hanya salah satu dari awal strategi black campaign lapangan yang agresif dan ofensif sebagai testing the water atau bagaimana publik menyikapi hal-hal demikian. Namun, memang berkorelasi dengan elektabilitas capres-cawapres tertentu. Oleh karena itu, jangan dianggap enteng. Oleh karena strategi tersebut dianggap jitu, maka akan diteruskan sebagai senjata ampuh mendobrak elektabilitas capres-cawapres agar naik. 

Artinya ke depan hoaks yang beraneka ragam dan cenderung mengarah ke black campaign berpotensi menyebar kebencian massal akan semakin massif, terukur, dan sistematik di basis-basis kuat lawan yang akan dirangsek salah satu kubu.

Kedua, adanya fenomena sikap atau aksi-aksi intimidatif dari beberapa kelompok atau organ-organ untuk melanjutkan pembenaran hoaks yang berhasil dilempar ke beberapa wilayah daerah. Pengalaman Pilkada di beberapa daerah terjadi menjelang pemungutan suara dan pada proses pemungutan suara, mereka hadir di TPS-TPS.

Isu hoaks yang berkembang di beberapa daerah termasuk di Jawa Barat hanya salah satu dari awal strategi black campaign lapangan yang agresif dan ofensif sebagai testing the water 

Ketiga, jangan sampai aksi dan sikap intimidatif berpotensi kuat terjadi di tahapan pemilu ke depan. Artinya harus ada langkah antisipasi yang konkret dari pihak-pihak terkait, baik penyelenggara pemilu seperti halnya pemerintah setempat, kepolisian dan Bawaslu dan jajarannya untuk memetakan aksi intimidasi sel-sel organ yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam tahapan kampanye rapat umum maupun psikologis pemilih dalam memilih pada proses pemungutan suara.

Keempat, agar penegakan hukum dibuka seluas-luasnya. Kanalisasi konflik melalui jalur hukum terhambat, maka potensi konflik aktual di jalur politik akan terbuka. Paling tidak arus gugatan secara hukum langsung ke pengadilan – melalui proses hukum akan  lebih tinggi, dengan penyelesaian yang bukan mustahil tidak memuaskan secara sosial. Oleh karena, fragmentasi politik masyarakat yang sudah mengidentifikasikan diri secara emosional dengan kubu capres dan cawapres. Dalam kondisi ini, tensi politik lebih menyengat, dan mudah terpicu menjadi konflik sosial.

Kelima, agar kedua kubu tidak saling terus saling menyalahkan dan diperlukan imbauan dari berbagai kalangan pemerintah, politisi dan tokoh agama agar pemilu berlangsung damai terhindar dari konflik sosial bermuatan kekerasan pemilu yang bermuara dari hoaks dan aksi intimidatif harus menjadi pedoman bagi setiap warga negara yang kritis dalam berdemokrasi. Walau pun pemilu belum menjamin proporsionalitas, keterwakilan politik maksimal, bahkan belum tentu berkorelasi dengan kemajuan demokrasi, namun memelihara agar tahap kehidupan demokrasi yang sudah dicapai tidak mengalami kemunduran adalah tanggung jawab setiap warga negara.

Legitimasi pemilu demokratik ditentukan oleh imparsialitas, independensi dan akuntabilitas institusi-institusi penyelenggara, kontestan yang bersaing secara jujur, kuantitas dan kualitas partisipasi politik rakyat, serta kebebasan rakyat menentukan pilihan politik yang diproteksi oleh negara, termasuk bebas dari rasa takut dalam memilih di bilik-bilik suara. Maka aksi-aksi intimidatif yang berpotensi terjadi di tahapan pemilu ke depan harus menjadi perhatian serius dan perlawanan kaum demokratik.

*Penulis adalah Peneliti 7 (Seven) Strategic Studies

Baca juga:

Berita terkait