DEWAN Pengawas KPK harus segera menindaklanjuti pengaduan masyarakat perihal Firli Bahuri dan mengumumkannya ke publik. Jika ketua komisi antirasuah ini memang bersalah ia harus dijatuhi sanksi, tapi jika tidak, maka pengadu harus lapang dada, menerima hasil pemeriksaan Dewas –Dewan Pengawas.
Firli Bahuri diadukan Masyarakat AntiKorupsi Indonesia (MAKI) karena diketahui menggunakan helikopter dalam perjalanan pribadinya ke Baturaja, Sumatera Selatan, 20 Juni lalu. MAKI menilai tindakan Firli ini melanggar kode etik. Tidak hanya menyiratkan gaya hidup mewah, hedonis, tapi juga karena helikopter yang membawa Firli itu diduga berafiliasi milik perusahaan raksasa. Fasilitas semacam ini dinilai masuk ranah gratifikasi.
Jika perlu Dewan Pengawas membentuk tim untuk memeriksa dan menyelidiki apa dan bagaimana Firli sampai bisa mabur ke kotanya naik helikopter ini.
Selain soal helikopter, Firli juga mendapat sorotan perihal tindak tanduknya yang dinilai tak patut. Ia tampil di depan publik, di depan anak-anak, tanpa masker yang dinilai tak sesuai protokol kesehatan -juga seperti anjuran Presiden Jokowi yang meminta pejabat untuk menjaga diri dan memberi contoh di depan publik di masa pandemi corona.
Dewan Pengawas mengaku telah menerima laporan MAKI dan tengah mengumpulkan bukti ada tidaknya pelanggaran yang dilakukan Firli. Ini ujian pertama Dewas untuk bekerja dan memutuskan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya secara profesional.
Putusan ini akan membawa konsekuensi lain terhadap Dewas. Jika publik menilai Dewas tidak profesional, tidak sanggup memberi putusan yang adil dan transparan, maka “selesailah” Dewas. Itu sebabnya Dewas mesti benar-benar membuktikan ada tidaknya pelanggaran yang dilakukan Firli. Sejauh ini, dari komposisi anggota Dewas, kita menilai mereka adalah sosok dan pribadi yang integritasnya tak diragukan.
Sebagai lembaga ujung tombak pemberantasan korupsi, sejak berdiri KPK telah memiliki sejumlah aturan yang membentengi anggotanya agar tidak terjerumus dan jauh dari “bau” penyalahgunaan jabatan. Contoh sederhana: kode etik mengatur bahwa setiap anggota KPK yang diberi cindera mata apa pun, sebagai pembicara atau tamu, ia harus melaporkan benda yang diterimanya ke bagian khusus KPK. Bagian ini yang kemudian memutuskan cindera mata itu boleh diambil atau tak layak diterima.
Kode Etik tentu bertujuan juga agar anggota dan pimpinan KPK memberi contoh pada siapa pun perihal bagaimana seharusnya “melawan korupsi.” Salah satunya melawan godaan hedonisme. Dan di sinilah tantangan itu: tidak terpikat, tertarik pada iming-iming apa pun yang pada ujungnya membuat sulit –pada suatu ketika- saat pemberi itu ternyata memiliki masalah. Negara telah memberi cukup besar gaji dan tunjangan bagi pimpinan KPK agar bisa hidup layak dan menjalankan tugasnya dengan baik.
Firli Bahuri dan seluruh pimpinan KPK semestinya sudah khatam perihal kode etik dan bagaimana menghindari godaaan hedonisme yang bisa dilancarkan berbagai musuh gerakan antikorupsi. Karena itu pula, untuk menjaga dan saling kontrol, misalnya, lembaga ini memberi aturan seorang anggota KPK mesti didampingi anggota KPK lain -atau yang ditunjuk- jika bertemu dengan pihak-pihak yang dinilai rawan atau memiliki kepentingan dengan KPK. Tujuannya tetap sama: menjaga integritas anggota dan lembaga ini.
Kasus “helikopter Firli Bahuri” mesti diusut tuntas dan diungkapkan terang benderang ke publik. Jika perlu Dewan Pengawas membentuk tim untuk memeriksa dan menyelidiki apa dan bagaimana Firli sampai bisa mabur ke kotanya naik helikopter ini. Kita ingin, tak ada fitnah dalam soal ini dan juga, seperti kata pepatah, diperlukan sapu bersih untuk membersihkan yang kotor. Para pimpinan KPK adalah “sapu” pemberantasan korupsi. []