Hanafi, Imam Salat Tarawih di Rumah Saat Covid-19

Pandemi Covid-19 membuat sejumlah masjid di Yogyakarta tak menggelar salat Tarawih berjemaah mengikuti anjuran pemerintah
Hanafi (duduk di kursi) mengimami keluarganya salat Tarawih berjamaah salat Tarawih berjemaah di rumahnya, di kawasan Warungboto, Yogyakarta, Kamis, 7 Mei 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta - Lantunan ayat suci Alquran terdengar mengalun dari bibir Hanafi, 76 tahun, Kamis malam, 7 Mei 2020. Dia menjadi imam salat Tarawih untuk keluarganya di rumah selama pandemi Covid-19 melanda negeri ini.

Saat menjadi imam bagi istri, anak, menantu, dan cucunya, bibir Hanafi lancar melafazkan surah-surah pendek. Tepat di belakang tempatnya berdiri, satu kursi disiapkan untuk duduk, sebab kondisi fisik Hanafi cukup menyulitkan dirinya duduk di lantai.

Kalau kebiasaan kita di masjid. Memang kemantapannya kalau di masjid. Tapi dengan situasi ini, kita mengikuti kejadian.

Meski harus melaksanakan salat Tarawih berjemaah di rumah, keluarga ini terlihat khusyuk beribadah. Satu unit kipas angin disiapkan di sudut ruangan sebagai penyejuk saat gerah.

Saat makmumnya duduk di antara dua sujud atau duduk tahiat di atas sajadah, Hanafi duduk di kursi. Jari telunjuknya diacungkan ke depan.

Selesai salat, keluarga itu berdoa. Mereka menengadahkan tangannya masing-masing. Raut wajah Hanafi dihiasi kerutan tampak serius saat memanjatkan doa.

Hanafi mengaku setiap hari dirinya dan keluarga melaksanakan salat Tarawih berjemaah di rumah, meski sebenarnya dirinya merasa lebih mantap jika beribadah di masjid. Pada hari-hari biasa, sebelum Covid-19 mewabah, Hanafi tidak pernah melewatkan salat berjemaah di musala hanya beberapa belas meter dari rumahnya.

"Kalau kebiasaan kita di masjid. Memang kemantapannya kalau di masjid. Tapi dengan situasi ini, kita mengikuti kejadian," ucap Hanafi saat ditemui di rumahnya, di kawasan Warungboto, Yogyakarta.

"Selama Ramadan ini kami selalu salat berjemaah lima waktu karena itu kewajiban. Puasanya juga enggak pernah bolong, salat wajib, salat sunah, semua kita laksanakan," ujar Hanafi.

Dia dan keluarga rela beribadah di rumah untuk menaati anjuran pemerintah, demi mencegah penyebaran Covid-19.

Apalagi selain imbauan dari pemerintah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah pun mengimbau hal yang sama. Sehingga umat harus mengikuti imbauan itu demi kebaikan bersama.

Terlebih anjuran itu tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, khususnya terkait tata cara ibadah saat terjadi wabah.

"Contoh, sahabat nabi waktu mau masuk ke Madinah ternyata ada wabah. Akhirnya tim itu kembali lagi. Di situ keselamatan lebih diutamakan, sehingga pada waktu itu timbullah shollu fii buyutikum (salat di rumah). Itu karena situasinya. Dilakukan demi keselamatan umat. Jadi salat di rumah sebetulnya nggak apa-apa, karena memang dalam Quran sendiri sudah disebutkan," tuturnya.

Salat Tarawih di Rumah`Hanafi bersama keluarganya sedang tadarus Alquran seusai melaksanakan ibadah salat Tarawih berjemaah di rumahnya, di kawasan Warungboto, Yogyakarta, Kamis, 7 Mei 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Tetap Khusyuk Meski Salat di Rumah

Mengubah kebiasaan dari salat berjemaah di masjid menjadi imam di rumah, ternyata tak membuat kekhusyukan Hanafi berkurang.

Hanafi mengaku dirinya tetap bisa melaksanakan salat dengan khusyuk, meski suasana di rumah dan di masjid sangat berbeda, sebab kekhusyukan menurut dia berasal dari diri sendiri.

"Kalau khusyuknya tetap khusyuk, karena salat itu di mana-mana tergantung pada kita sendiri, yang penting hati kita. Biar di masjid kalau hati kita nggak di masjid ya nggak khusyuk. Di rumah kalau hati kita memang sowan (tertuju) pada Allah, ya tetap khusyuk," tegasnya.

Saat ditanya mengenai apakah kursi yang digunakan sebagai alat bantu saat salat tidak mengganggu kekhusyukan, Hanafi mengaku itu sama sekali tidak mengganggu, bahkan membantu.

"Saya kira ndak, karena seperti di Quran kita itu disebutkan bahwa semakin bertambah waktu, tambah usia, dikurangi kenikmatan. Termasuk sekarang, Pakde ini diberi sakit, tapi itu tidak mengganggu untuk salat. Yang prinsip hati kita memang kita melaksanakan salat, ya fardu, ya sunatnya, kita laksanakan dengan sebaik-baiknya," bebernya.

Dengan bertambahnya usia, kata dia, sebetulnya merupakan bonus dari Allah untuk mengevaluasi diri. Itu juga merupakan wujud cinta sang pencipta. Sebab, dengan mengevaluasi diri, kita bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan di masa lalu.

"Ditambahnya usia, kita bisa mengevaluasi diri kita masing-masing, dari awal, dari muda kita sampai tua kita punya 'foto' dalam perjalanan itu kita pasti pernah punya salah. Pada waktu muda kita mungkin salatnya tidak benar, perjalanan kita tidak benar. Nah, Allah memberikan waktu untuk mengevaluasi diri kita sendiri sebelum ditimbali (dipanggil), kita bisa mohon ampun dan melaksanakan salat taubat," tuturnya.

Itu semua juga menambah kekhusyukan dalam beribadah, sekaligus menjadi permohonan maaf atas segala khilaf pernah dilakukan, dan sisa waktu ada harus digunakan untuk hal baik.

"Yang wajib dan sunat semua kita laksanakan, sehingga dengan waktu sisa itu kita diberi kesempatan untuk membenahi diri kita sebelum pulang pada Allah. Itu juga menjaga kekhusyukan," ucapnya.

Salat Tarawih di RumahHanafi (duduk di kursi) mengimami keluarganya salat Tarawih berjamaah salat Tarawih berjemaah di rumahnya, di kawasan Warungboto, Yogyakarta, Kamis, 7 Mei 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Salat Ied Tetap di Rumah

Masjid yang pada tahun-tahun lalu ramai saat bulan suci Ramadan, tahun ini sebagian besar sunyi. Bahkan beberapa masjid ditutup total, tidak ada kegiatan selama Ramadan. Kondisi itu mungkin akan terus terjadi hingga Hari Raya Idulfitri.

Hanafi mengaku sudah mengantisipasi jika salat Ied tahun ini tidak dilaksanakan di lapangan atau masjid. Dia mengatakan, dirinya pernah menonton ceramah salah satu ulama di televisi, menjelaskan tentang salat Ied di masa pandemi.

"Di televisi, ustaz Somad menjelaskan bahwa jika tidak bisa salat Ied di lapangan, cukup tiga makmum dan satu imam salat di rumah. Itu sudah melaksanakan salat Ied. Beliau sebagai seorang ustaz pasti mengambil contoh atau pengetahuan dari sumber yang sahih. Kebenarannya sudah bisa dipegang. Jadi kita sudah ada pegangan juga," kata Hanafi.

Dia dan anggota keluarganya di rumah berjumlah total lima orang, sehingga jika mengacu pada penjelasan ustaz tersebut, mereka sudah bisa melaksanakan salat Ied. 

"Kalau memang nanti kita nggak bisa di lapangan ya kita laksanakan seperti itu. Karena kita mencukupi, ada imam dan empat makmum," ucapnya.

Melihat kondisi saat ini, Hanafi berharap pandemi Covid-19 ini segera usai. Dia meyakini bahwa semua kejadian itu berasal dari Allah, sehingga berdoa pada Allah merupakan salah satu upaya untuk menghentikan pandemi.

"Jadi kita mohon pada Allah supaya diberi kesehatan. Kalau masalah hidup dan mati, tanpa adanya Corona juga tetap akan mati. Sebelum ada Corona penyakit juga banyak, tapi nggak mati kok. Yang prinsip apa yang diimbau oleh MUI, pemerintah, dari PP (Muhammadiyah), seperti pengamanan diri kita laksanakan," kata di.

Setelah melakukan segala protokol kegiatan, upaya selanjutnya adalah berserah diri pada ketentuan Allah. "Kita kembalikan semua pada Allah, jadi nggak usah khawatir kita," tuturnya.

Anak kedua Hanafi, Rodhian, 43 tahun, membenarkan penjelasan ayahnya, bahwa pada bulan suci Ramadan tahun-tahun sebelumnya, keluarga mereka menunaikan ibadah salat Tarawih berjamaah di masjid. Bahkan ayah dan suaminya tidak pernah absen salat berjamaah di masjid setiap salat fardu atau wajib.

Kata Aan, sapaan akrab Rodhian, ayahnya merupakan sosok disiplin, terlebih dalam hal pelaksanaan ibadah salat. Sejak kecil dia dan kakaknya diajarkan untuk menghentikan aktivitas jika waktu salat tiba.

Meski mengaku lebih mantap jika melakukan salat Tarawih di masjid, tapi imbauan melakukan salat di rumah akibat pandemi, disebutnya memberi lebih banyak waktu untuk berkumpul dengan keluarga.

"Insya Allah semua ada hikmahnya, ada sisi positif dari setiap kejadian. Paling tidak waktu saya untuk bersama keluarga menjadi lebih banyak," ucap wanita berprofesi sebagai guru tersebut.

Tak jarang keluarga mereka berkumpul membentuk lingkaran setelah salat Tarawih, lalu melaksanakan tadarus Alquran. Hal positif lain menurutnya adalah bertambahnya jumlah imam salat Tarawih, sebab banyak keluarga yang melaksanakannya di rumah. 

"Paling tidak imam salatnya tambah banyak. Beberapa pasti harus kembali mengingat hafalan surah pendek, karena salatnya ada yang sampai 15 rakaat bahkan lebih," tuturnya. []

Berita terkait
Debryna Dewi Lumanauw, Dokter Cantik di RS Covid-19
Dokter Debryna Dewi Lumanauw menceritakan hari-harinya bekerja di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. Simak penuturannya.
Siasat Warga Bali Bertahan di Tengah Covid-19
Tak ada yang lebih parah dari dampak virus Covid-19 ini. Saya sudah merasakan semuanya saat bom Bali, musibah Gunung Agung, virus Sars, Flu Burung.
Bulan Madu Menunggang Kuda Besi ke Pulau Dewata Bali
Bulan madu menunggang kuda besi ke Pulau Dewata Bali, kenangan sebelum Covid-19 datang. Kaum jomlo pada masa pandemi harus tabah membaca ini.
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)