Oleh: Mohamad Guntur Romli*
Saya menolak Jokowi-Prabowo 2024. Politik identitas bukan karena capres, tapi politisasi SARA siapa pun capresnya.
Wacana menyandingkan Jokowi-Prabowo untuk Pilpres 2024 seharusnya ditolak karena hal ini akan mendorong agar Presiden Joko Widodo menjabat selama 3 periode.
Dalih pemasangan Jokowi-Prabowo 2024 untuk menghindari polarisasi politik juga mengada-ada, karena polarisasi politik akibat politik identitas bukan disesabkan siapa capresnya, tapi karena ada politisasi terhadap SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).
Ada 3 kesalahan fatal yang mendorong Jokowi 3 periode.
Pertama, melanggar Konstitusi. Pasal 7 dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 secara tegas menyatakan presiden dan wakil presiden menjabat selama lima tahun dan hanya bisa diperpanjang sebanyak satu kali. Artinya cukup 2 periode saja.
Kedua, Presiden Jokowi sudah tegas menolak usulan itu dengan mengatakan yang mengusulkan "cari muka" atau ingin "menampar" Jokowi.
Jangan pula mengulangi kesalahan terhadap Presiden Soekarno yang menjerumuskan beliau sebagai 'presiden seumur hidup' dengan dalih menghindari polarisasi-polarisasi politik pada zaman itu.
Ketiga, usulan itu pengkhianatan terhadap demokrasi dan reformasi. Karena agenda awal gerakan Reformasi 1998 adalah membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden, yang dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 bahwa presiden dan wakil presiden yang sudah menjabat bisa dipilih hanya untuk 1 periode lagi (2 periode). Artinya 2 periode adalah amanat Reformasi 1998 yang mengakhiri kediktatoran Orde Baru Soeharto yang tidak mengenal batas masa jabatan presiden.
Jangan pula mengulangi kesalahan terhadap Presiden Soekarno yang menjerumuskan beliau sebagai "presiden seumur hidup" dengan dalih menghindari polarisasi-polarisasi politik pada zaman itu, akhirnya Presiden Soekarno menjadi korban. Sang Proklamator Kemerdekaan meninggal dalam kondisi mengenaskan: menjadi tahanan rumah dan nama baiknya tercemar.
Menghindari polarisasi politik bukan dengan memaksakan Jokowi 3 Periode dan memasangkannya dengan Prabowo, ini hanya dalih yang mengada-ada, karena polarisasi politik merupakan dampak dari politik identitas. Sementara politik identitas merupakan buah dari politisasi SARA (suku, ras, agama dan antar golongan) khususnya agama.
Politik identitas tidak identik dan spesifik dengan Pilpres atau siapa capresnya tapi tradisi politik buruk yang berlaku umum yang potensial terjadi dari praktik politik level kecil seperti pemilihan ketua kelas hingga level besar: Pemilu. Yang diperlukan adalah pendidikan politik yang mencerdaskan dan tidak membeda-membedakan (anti diskriminasi) dalam masyarakat.
Kita berharap setelah 2024, Presiden Jokowi bisa pensiun dengan tenang, dan dikenang karena jasa-jasanya, seperti tradisi politik para raja di Nusantara setelah "lengser keprabon madeg pandhita" dan tradisi politik mantan presiden di Amerika Serikat (AS) menjadi tokoh bangsa tidak lagi terseret politik praktis dan politik aliran benturan politik.
*Pendukung Presiden Joko Widodo 2 Periode (2014 dan 2019)
Baca juga: Istana Menanggapi Relawan Jokowi - Prabowo Pilpres 2024