Oleh: Lestantya R. Baskoro
Presiden Joko Widodo mestinya tidak memberi grasi kepada terpidana korupsi Annas Maamun. Pemberian grasi itu --setelah Presiden tak bersedia mengeluarkan Perpu KPK- akan semakin membuat publik mempertanyakan komitmen Presiden dalam pemberantasan korupsi.
Jokowi memberi grasi Annas karena pertimbangan usia. Menurut Presiden, mantan gubernur Riau itu selain sudah lanjut usia –umurnya kini 78 tahun- juga sakit-sakitan. Dalam permohonan grasinya, terpidana yang divonis tujuh tahun oleh Mahkamah Agung tersebut memang membeberkan sejumlah penyakitnya: depresi, sesak nafas, lambung, hingga pikun -hal yang menurut Annas membuatnya sangat menderita dan karena itu ia memohon grasi. Presiden mengabulkan. Annas yang mestinya bebas pada Oktober 2021 akan bebas tahun depan.
Grasi adalah hak prerogatif Presiden yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 dan UU No. 22/2002 tentang Grasi. Dalam kasus Annas, Jokowi menyatakan telah mendengar pertimbangan dari sejumlah pihak sebelum mengabulkan grasinya. Jokowi menegaskan ia bukan Presiden yang mudah memberi grasi karena banyak permintaan grasi yang tidak ia kabulkan. Kendati grasi hak prerogatif, semestinya Presiden tetap mempertimbangkan banyak aspek sebelum mengabulkannya, terutama, tentu, dampak dari pemberian grasi. Dalam kasus Annas inilah semestinya Presiden tidak “tergesa-gesa”mengeluarkan grasi.
Kita tahu musuh besar bangsa ini adalah perang melawan korupsi. Demikian berurat akarnya korupsi sehingga MPR, pasca lengsernya Presiden Soeharto, menelurkan Ketetapan MPR No. XI tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Korupsi seperti halnya narkoba dikategorikan sebagai tindak kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Keinginan untuk membersihkan negeri ini dari praktik korup itu pula yang kemudian melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi, komisi yang dalam perjalanannya kemudian “diserang” dari berbagai penjuru untuk dikerdilkan.
Annas Maaimun adalah satu dari sekian banyak kepala daerah yang menjadi terpidana korupsi karena menyalahgunakan jabatan dan kekuasaannya. Mendapat kepercayaan dari rakyat Riau sebagai gubernur dalam usianya yang terbilang tak muda lagi pada pilkada 2013, Annas bukannya memakai amanah itu disisa umurnya membangun negeri kelahirannya yang selama berpuluh tahun dikuras kekayaannya oleh rezim Orde Baru dan para pengusaha serakah, tapi justru melanggengkan kasus korupsi.
Annas ditangkap KPK karena kasus suap alih fungsi lahan kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Sengingi, Kabupaten Bengkalis, dan Kabupaten Rokan Hilir. Yang dilakukan Annas tak hanya kejahatan menerima suap, juga otomatis kejahatan dalam bidang kehutanan -hal yang membuat lingkungan daerah ini semakin "ambyar." Saat memvonisnya dengan hukuman penjara enam tahun pada 2015 --yang kemudian dinaikan menjadi 17 tahun oleh Majelis hakim kasasi Mahkamah Agung-- hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pun sudah mempertimbangkan usia lanjut Annas dalam menjatuhkan hukumannya.
Presiden Jokowi semestinya tidak memberi keringanan bagi koruptor. Alasan kesehatan seharusnya bisa ditolak karena fasilitas kesehatan untuk terpidana telah ada. Bahkan, untuk narapidana koruptor, apalagi di penjara khusus korupsi, lebih nyaman ketimbang, misalnya, terpidana kasus kriminal. Apalagi selama ini Annas mengaku kerap mendapat perawatan di rumah sakit di luar penjara -hal yang bisa diartikan tak ada kesulitan bagi dirinya mendapat akses kesehatan.
Presiden Joko Widodo semestinya menunjukkan pemerintahannya sangat serius memerangi korupsi. Memberi ampunan kepada terpidana korupsi adalah bak memberi “angin” pada terpidana koruptor lainnya. []
Penulis: wartawan dan pengamat hukum.