Faktor Kerusuhan Wamena Menurut Din Syamsuddin

Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin anggap aparat keamanan lamban menangani kasus rasial Papua di Surabaya yang berujung kerusuhan Wamena.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015 Din Syamsudin. (Foto: suaramuhammadiyah.id)

Jakarta - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menilai lambannya penanganan kasus rasial Papua di Surabaya merembet pada aksi unjuk rasa yang terjadi di Sorong, Manokwari, Jayapura, Jakarta, hingga teranyar terjadi di Wamena.

"Seyogyanya gerakan protes itu sudah bisa diatasi dan diantisipasi, dan terutama faktor picunya di Surabaya berupa penghinaan terhadap orang Papua sudah harus cepat ditindak tegas," kata Din dilansir Antara, Sabtu, 28 September 2019.

Tindak kekerasan di Wamena telah menimbulkan 32 korban tewas mengenaskan dan ratusan warga lainnya mengalami luka berat dan ringan, belum lagi dihitung dengan warga yang mengungsi akibat kericuhan di sana. 

Negara tidak hadir membela rakyatnya. Negara gagal menjalankan amanat konstitusi, yakni melindungi rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia.

"Kami menyesalkan respons aparat keamanan dan penegakan hukum sangat lamban dan tidak adil. Kalau hal demikian berlanjut, maka akan dapat disimpulkan bahwa negara tidak hadir membela rakyatnya. Negara gagal menjalankan amanat konstitusi, yakni melindungi rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia," ujarnya. 

Din menjelaskan, pemerintah terjebak ke dalam sikap otoriter dan represif yang hanya akan mengundang perlawanan rakyat yang tidak semestinya. 

Dia berpesan kepada semua pihak, khususnya pemangku amanat, baik pemerintah maupun wakil rakyat, agar segera menanggulangi keadaan dengan penuh kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab. 

"Hindari perasaan benar sendiri bahwa negara boleh dan bisa berbuat apa saja," tutur Din Syamsuddin. 

Kerusuhan di Wamena yang menyebabkan 32 orang meninggal pada 23 September lalu diduga dilakukan kelompok terorganisasi. Dugaan itu merupakan salah satu temuan Komisi Nasional (Komnas HAM) yang selama beberapa hari mengadakan investigasi.

Yang lebih memprihatinkan, salah seorang korban tewas adalah tenaga medis bernama dr Soeko Marsetiyo. Padahal, semestinya tenaga medis harus dilindungi. 

‘’Bagi Komnas HAM, ancaman kekerasan terhadap guru maupun tenaga medis adalah ancaman terhadap pekerja kemanusiaan,” ujar Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey.

Dari hasil penelusuran Komnas HAM, dr Soeko Marsetiyo merupakan satu-satunya dokter yang sejak awal menawarkan diri untuk bertugas di pedalaman Papua. 

“Dia telah mengabdikan dirinya kepada masyarakat di Tolikara. Namun justru menjadi korban yang diduga dianiaya secara sadis oleh sekelompok orang,” tuturnya. []

Berita terkait
GMKI Endus Aktor Intelektual dalam Insiden di Wamena
Ketua Umum PNPS GMKI Febry Calvin Tetelepta meminta aparat kemananan untuk menindak tegas aktor intelektual dalam insiden di Wamena, Papua.
Wamena Ricuh, Menhub: Bandara Tidak Rusak Sama Sekali
Menhub Budi Karya Sumadi memastikan Bandara Wamena tidak terkena imbas dari demonstrasi yang berujung ricuh di Wamena, Senin, 23 September 2019.
Gubernur NTB Minta Warganya Dievakuasi dari Wamena
Suasana di Wamena yang memanas seusai demonstrasi anarki membuat Gubernur NTB Zulkieflimansyah perintahkan evakuasi warganya dari Papua.