Manggarai - Berdasarkan data, diperkirakan jumlah populasi, anak Bawah Lima Tahun (Balita) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengalami gizi buruk di 22 Kabupaten/Kota sebanyak 21.850 anak.
"Yang baru tertangani secara medis hanya 13 persen, artinya masih terdapat 87 persen anak-anak Balita kita yang belum ditangani secara medis," kata anggota Komisi IV DPR RI Julie Sutrisno Laiskodat kepada Tagar di Ruteng, Selasa 21 Juli 2020.
Marilah kita bekerja sama bahu membahu untuk memberantas gizi buruk di NTT.
Politisi NasDem itu menegaskan, data ini menunjukan bahwa semua pihak belum serius dalam memberantas gizi buruk di NTT. Berdasarkan studi literatur terdapat lima faktor yang paling dominan sebagai penyebab anak Balita mengalami gizi buruk, antara lain:
Pertama, Keluarga
Keluarga berpendapatan dibawah dibawah rata-rata berisiko lebih tinggi anaknya mengalami kurang gizi ketimbang anak dari keluarga yang berpendapatan di atas rata-rata. Dengan kata lain, minimnya pendapatan yang membuat miskin menjadi penyebab gizi buruk pada anak.
Kedua, Balita Sakit
Balita yang dalam enam bulan menderita sakit lebih dari tiga kali meningkatkan risiko mengalami gizi buruk dibandingkan dengan Balita yang dalam enam bulan mengalami sakit kurang dari tiga kali.
Ketiga, Pendidikan Ibu
Pengetahuan ibu tentang gizi yang rendah meningkatkan risiko lebih besar anak mengalami gizi buruk.
"Karena pengetahuan ibu sangat mempengaruhi sikap dan perilaku dalam memilih makanan untuk dikonsumsi, yang kemudian akan berpengaruh pula terhadap keadaan gizi anak," kata dia.
Empat, Frekuensi Penimbangan Anak di Posyandu
Pemantauan pertumbuhan anak balita melalui penimbangan dan pemanfaatan posyandu yang baik, berisiko lebih kecil mengalami gizi buruk dibandingkan dengan yang jarang melakukan penimbangan dan pemanfaatan posyandu.
Kelima, Sumber Air Minum
Sumber air minum yang diambil dari sungai atau kali yang tidak tertutup, yang mudah terpapar kotoran dan bakteri meningkatkan risiko terhadap gizi buruk dibandingkan dengan mengkonsumsi air dari sumber yang terlindungi.
"Tak bisa kita pungkiri juga dengan bencana nasional pandemi Covid-19 yang kita alami saat ini, tentunya akan terjadi peningkatan jumlah anak-anak kita yang mengalami gizi buruk," ujar dia.
Dikatakan, dengan program Pengelolaan Gizi Buruk Terintegrasi (PGBT) maka penanganan gizi buruk di NTT dapat menunjukan hasil yang positif.
"Karena Program PGBT ini, dirancang untuk memaksimalkan cakupan dan pengobatan yang berhasil bagi anak-anak yang menderita Gizi Buruk," urainya
Anggota Komisi IV DPR RI itu memaparkan, keunggulan dari program ini, dapat mengidentifikasi kasus Gizi Buruk sedini mungkin pada tahap awal sebelum terjadi komplikasi medis yang lebih buruk. Serta dapat meningkatkan akses ke perawatan rawat jalan yang berkualitas tinggi.
"Saya mengimbau kepada kekuarga, tenaga kesehatan, pendamping desa Model PKK serta staf Dinas Kesehatan dari 22 Desa Model PKK Provinsi NTT untuk serius dan bekerja sama menyelesaikan masalah gizi buruk di NTT," tambahnya.
Kerja sama semua pihak sangat penting untuk mengurangi angka kematian anak dan meningkatkan pemulihan anak-anak penderita gizi buruk bisa tercapai.
"Marilah kita bekerja sama bahu membahu untuk memberantas gizi buruk di NTT. Ini merupakan masalah serius yang harus ditanggulangi. Ini adalah tugas kita bersama untuk mempersiapkan generasi NTT Sehat," ujarnya. []