Endog-endogan, Tradisi Arak Telur Maulid di Banyuwangi

Umat Islam di Banyuwangi memiliki tradisi unik dalam merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, yakni mengarak telur keliling kampung, atau Endog-endogan.
Suasana Fetival Endog-endogan di Banyuwangi, Jawa Timur, yang digelar sebelum pandemi Covid-19. (Foto: Tagar/Hermawan)

Banyuwangi Salawat yang ditujukan pada Nabi Muhammad SAW berkumandang sejak usai salat Subuh, Kamis, 29 Oktober 2020. Suaranya seperti bersahut-sahutan dari beberapa masjid yang ada di Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Jam masih menunjukkan pukul 05.30 WIB, tapi suasana di daerah itu sudah cukup ramai. Beberapa masjid melaksanakan kegiatan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau Maulid Nabi Muhammad SAW.

Selain bersalawat, para jemaah masjid juga membaca kitab al-Barzanji, yang tebalnya mencapai lebih dari 100 halaman. Mereka duduk bersila dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, seperti mengenakan masker dan menjaga jarak, tidak terkecuali di Masjid Baitul Mutaqien, Kelurahan Boyolangu.

Cerita Endog Banyuwangi (2)Masyarakat Kelurahan Boyolangu khusyuk dan penuh semangat melantunkan bacaan salawat dengan kitab Barzanji di Masjid Baitul Mutaqien, Boyolangu, Kamis, 29 Oktober 2020. (Foto: Tagar/Hermawan)

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Banyuwangi bukan sekadar diperingati dengan membaca salawat dan kitab al Barzanji, tetapi juga kental dengan tradisi “Endog-endogan”. Biasanya perayaan ini dirangkai dengan pawai yang disebut “Ngarak Endok”, yang diiringi dengan kesenian khas Banyuwangi, yakni Kuntulan.

Endog-endogan tanpa Pawai

Endog dalam bahasa Indonesia berarti telur. Pada tradisi Endog-endogan, telur yang sudah direbus diletakan pada tusukan bambu kecil yang dihias dengan kembang kertas, yang disebut dengan kembang endog. Kembang endog ini ditancapkan pada jodang, yaitu pohon pisang yang juga dihias dengan kertas warna-warni.

Biasanya dalam satu jodang berisi 30, 35 bahkan 100 kembang endog. Selanjutnya jodang-jodang yang sudah ditancapi kembang endog diarak keliling kampung dengan menggunakan mobil bak terbuka atau becak, dan diringi dengan kesenian Kuntulan.

Namun pandemi Covid-19 memaksa warga untuk tidak melakukan tradisi turun temurun tersebut. Tidak ada lagi kesenian Kuntulan maupun Hadra yang mengiringi pawai endog tersebut.

Di Masjid Baitul Mutaqien Boyolangu, misalnya, pawai endog diganti dengan pembagian telur. Sejumlah petugas disiapkan untuk mengambil endog yang akan diberikan oleh warga, kemudian petugas yang berjumlah delapan orang tersebut membawanya keliling kampung untuk dibagikan.

Ketua Panitia Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Masjid Baitul Mutaqien, Boyolangu, Muhammad Ihrom, atas nama panitia meminta maaf karena peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW harus dikemas secara sederhana akibat pandemi.

Tidak ada pawai yang meriah seperti tahun kemarin. Hal ini karena kita saat ini masih berada dalam pandemi Covid-19. Sehingga untuk mengantisipasi kerumunan massa yang besar panitia memutuskan untuk meniadakan pawai endog dengan skala besar.

Menurut Sekretaris Masjid Baitul Mutaqien, Boyolanggu Ahmad Romli, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini memang benar- benar sangat sederhana. Sebab pihaknya mengikuti anjuran pemerintah untuk meminimalisir potensi penyebaran Covid-19.

“Tetap ada tradisi Endog-endogan namun kemeriahanya kita kurangi, masyarakat yang ikut rangkaian kegiatan maulid nabi juga kami wajibkan untuk menggunakan masker, cuci tangan di tempat yang disedikan dan tetap menjaga jarak sebisa mungkin,” ucap Ahmad Romli

Kata Romli panggilan akrabnya, Endog-endogan ini memang menjadi tradisi masyarakat Banyuwangi dan masyarakat Boyolangu pada khususnya. Sehingga tradisi ini selalu dipegang teguh oleh masyarakat. Romli bahkan mengklaim tradisi Endog-endogan hanya ada di Kabupaten Banyuwangi saja, sedangkan daerah lain tidak ada.

“Yang spesial tradisi Endog-endogan ini kan kalau saya bisa ngomong hanya ada di Banyuwangi saja, kan di daerah lain kayaknya tidak ada. Karena saya yakin tradisi Endog-endogan ini mempunyai makna tersendiri dari para ulama terdahulu kita yang telah mencetuskan tradisi ini,” kata Romli.

Cerita Endog Banyuwangi (3)Masyarakat Kelurahan Boyolangu khusyuk dan penuh semangat melantunkan bacaan salawat dengan kitab Barzanji di Masjid Baitul Mutaqien, Boyolangu, Kamis, 29 Oktober 2020. (Foto: Tagar/Hermawan)

Romli dan masyarakat Banyuwangi lainya berharap, pandemi Covid-19 ini segera berlalu, sehingga kehidupan kembali normal dan tradisi Endog-endogan tahun depan bisa kembali berjalan normal dan dilakukan secara meriah.

“Tentu kami berharap dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang sangat sederhana ini, kita semua mendapat barokahnya, sehingga pandemi Covid-19 ini segera diangkat oleh Allah SWT,” kata Romli berharap.

Sejak tahun 2014 tradisi Endog-endogan menjadi bagian dari rangkaian kegiatan rutin tahunan, yakni Festival Banyuwangi. Tradisi Endog-endogan dikemas menjadi salah satu bentuk wisata religi.

“Sejak tahun 2014 lalu Festival Endog-endogan ini setiap tahunnya terus berbeda. Kami merancang terus menyuguhkan tradisi yang kaya melalui Festival Endog-endogan ini,” ujar Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banyuwangi, Muhammad Yanuar Bramuda.

Namun untuk tahun 2020, Festival Endog-endogan tidak bisa dilaksanakan karena terhalang oleh Pandemi Covid-19. Bahkan menurutnya ada 99 festival lain yang batal digelar. Pihaknya membatalkan seluruh festival, bahkan sejumlah event yang berskala internasional, demi keselamatan bersama.

Dia berharap meski tahun ini festival Endog-endogan tidak bisa terlaksana namun tradisi yang sudah turun temurun dari para ulama terdahulu tetap dilestarikan dan dijaga oleh masyarakat Banyuwangi.

Wujud Gotong Royong

Pemerhati sejarah Banyuwangi Yeti Octafiah, menjelaskan, tradisi Endog-endogan tersebut bukan sekadar wujud cinta masyarakat Islam terhadap sang pembawa risalah, Nabi Muhammad SAW, tetapi juga wujud budaya gotong royong.

“Ini tradisi gotong royong yang ditunjukan masyarakat Banyuwangi, dan di tempat lain tidak ada tradisi Endog-endogan seperti di Banyuwangi ini, dan barang tentu, tradisi Endog-endogan ini juga sebagai ungkapan cinta masyarakat kepada kanjeng Nabi Muhammad SAW,” ujar Yeti.

Menurutnya ada dua sejarah yang disebut sebagai cikal bakal tradisi ini. Pertama, merupakan tradisi peninggalan para ulama terkemuka yang pertama kali menyebarkan Islam di tanah Jawa, yakni wali songo atau sembilan wali.

Cerita Endog Banyuwangi (4)Panitia Maulid Nabi Muhammad SAW menata Endog-endogan seusai diarak keliling kampung di Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri, Banyuwangi, Kamis, 29 Oktober 2020. (Foto: Tagar/Hermawan)

Salah satu wali dari kesembilan wali tersebut yaitu Sunan Giri adalah putra Kerajaan Blambangan yang merupakan cikal bakal Kabupaten Banyuwangi.

Sejarah lain tentang tradisi ini adalah adanya pertemuan di Bangkalan Madura, antara Kiyai Kholil, pimpinan Pondok Pesantren Kademangan Bangklan dengan dengan KH. Abdullah Faqih pendiri Pondok Pesantren Cemoro Balak, Songgon, Banyuwangi.

“Dalam pertemuan itu, Kiyai Kholil mengatakan bahwa kembange Islam (bunganya Islam) sudah lahir di nusantara (Nahdlatul Ulama) yang dipersonifikasikan sebagai endog,” ucap Yeti

Sepulang dari pertemuan tersebut Kyai Faqih menyebarkan amanah tersebut dengan cara mengarak keliling kampung sebuah gedebog (batang pisang) yang telah dihias dengan tancapan telur-telur dan bunga.

“Dengan disertai lantunan salawat dan zikir, kemudian hal ini menjadi cikal bakal tradisi Endog-endogan yang ada di Banyuwangi,” kata Yeti lagi.

Telur dalam tradisi Endog-endogan mempunyai makna tersendiri. Kata Yeti endog atau telur memiliki tiga lapisan yang terdiri dari kuning telur. putih telur, dan cangkang. Itu berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

“Yang pertama, kuning telur. Ini terdapat di bagian paling dalam dari sebuah telur, dari kuning telur itu merupakan embrio atau sebuh proses kehidupan . Dan dalam bagian ini terdapat protein yang tinggi maka dapat diibaratkan sebagai ihsan dalam kehidupan dan itu merupakan bagian yang sangat penting,” kata Yeti.

Pada lapisan kedua ada putih telur sebagai pembungkus kuning telur. Putih telur ini diibaratkan Islam setelah ihsan maka membentuklah sebuah keyakinan yaitu berupa Islam.

“Sehingga setelah yakin dengan Islam barulah yang ketika ada cangkang telur yang merupakan kulit luar yang melindungi putihan dan kunging telur. Dan cangkang ini diibaratkan iman dalam kehidupan kita,”kata Yeti

Lalu telur tersebut ditancapkan di pohon pisang yang maknanya adalah pohon pisang diibaratkan manusia. Dalam diri manusia terdapat perangkat kalbu, yang didalamnya terdapat tancapan apa saja

“Kebaikan atau keburukan , maka iman, Islam dan ihsan adalah harmoni risalah yang dibawa kanjeng Nabi Muhammad SAW dan jika ditancapkan kepada diri manusia akan menghasilkan manusia yang tercermin dari pribadi Kanjeng Nabi Muhammad SAW,” ucap Yeti. []

Berita terkait
Mengenal Tokoh Pimpinan Penjaga Keraton Yogyakarta
KPH Suryahadiningrat, Penghageng II Kawedanan Hageng Punakawan Puraraksa adalah pimpinan yang bertanggung jawab atas keamanan Keraton Yogyakarta.
Artis Dangdut Yogyakarta Luncurkan Single saat Butik Sepi
Ratih Puspita, seorang penyanyi dangdut personel band Hasoe Angels yang popular di Yogyakarta meluncurkan single kedua berjudul Ora Iso Garing.
Sejarah Peperangan Kerajaan Cikal Bakal Banyuwangi
Sejarawan Banyuwangi menjelaskan cikal bakal Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, sejak zaman Kerajaan Blambangan, termasuk peperangan yang terjadi
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.