Mengenal Tokoh Pimpinan Penjaga Keraton Yogyakarta

KPH Suryahadiningrat, Penghageng II Kawedanan Hageng Punakawan Puraraksa adalah pimpinan yang bertanggung jawab atas keamanan Keraton Yogyakarta.
Pintu gerbang menuju Pagelaran Siti Hinggil Keraton Yogyakarta dilihat dari Alun-alun Utara Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta – Wajahnya terlihat tenang dan berwibawa, menunjukkan aura kebangsawanan pria berpakaian tradisional Jawa ini. Surjan (baju) yang dikenakannya berwarna cokelat bergaris-garis hitam, serasi dengan blangkon (topi khas Jawa) yang berwarna senada. Sementara pin berlogo Keraton Yogyakarta terpasang pada dada kirinya.

Usianya tidak muda lagi, tetapi KPH Suryahadiningrat, Penghageng II Kawedanan Hageng Punakawan Puraraksa, gelar  dan jabatan pria itu, memiliki strategi dan taktik untuk menjaga keamanan di lingkungan Keraton Yogyakarta, terutama saat ada kunjungan-kunjungan pejabat.

KPH Suryahadiningrat, Penghageng II Kawedanan Hageng Punakawan Puraraksa adalah pimpinan yang bertanggung jawab atas keamanan keraton berikut setiap acara di lingkupnya.

Terlahir sebagai cucu Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, RM Aning Sunindyo merupakan salah satu dari dua belas orang yang mendapat gelar KPH (Kanjeng Pangeran Haryo) pada era Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Hobi Olahraga dan Seni

Semasa kecil, KPH Suryahadiningrat cukup akrab dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX muda. Mereka sering bermain bersama, bahkan bermain di salah satu sungai di Yogyakarta, yakni Sungai Winongo. Tapi setelah Sultan HB IX dilantik, ada batasan tertentu yang harus ditaati.

Cerita Pimpinan Penjaga Keraton Yogyakarta (2)KPH Suryahadiningrat, Penghageng II Kawedanan Hageng Punakawan Puraraksa, pimpinan yang bertanggung jawab atas keamanan keraton berikut setiap acara di lingkupnya. (Foto: Tagar/Istimewa/kratonjogja.id)

“Main di kali Winongo. Dulu seperti kawan sendiri. Setelah (beliau) jumeneng, ada batasan-batasan tertentu,” kata dia mengenang, seperti dilansir laman resmi Keraton Yogyakarta.

Meski merupakan keluarga bangsawan, Kanjeng Suryo, sapaannya, tidak tumbuh sebagai pribadi yang manja. Dia terbiasa bekerja keras dan menyukai olahraga serta seni. Hobinya berolahraga itu pula yang kemudian mengantarkannya diterima sebagai anggota TNI Angkatan Darat.

Hobinya berolahraga bukan sekadar hobi. Kanjeng Suryo telah menjadi atlet olahraga hoki atau hockey sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD). Saat itu dia bahkan tergabung dalam kontingen hoki Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kanjeng Suryo juga menjadi atlet hoki nasional yang mengharumkan nama bangsa dalam ajang Asian Games.

Sang ayah, GBPH Suryobrongto, pernah menjabat sebagai Ketua Hockey Yogyakarta. Kecintaan pada olahraga kemudian menurun pada anak-anaknya.

Kudangan (nasihat) ayah (begini), kamu harus sehat. Kalau kamu sehat, apa pun yang kamu inginkan pasti bisa (tercapai). Yang kedua, orang bodoh itu tidak ada. Yang ada (adalah) orang yang tidak mau belajar.

Sementara wejangan sang kakek, Sri Sultan HB VIII, yang paling diingatnya adalah, “Kamu harus bisa menari dan berkuda.” Tak heran, Kanjeng Suryo juga piawai menari, bahkan menjadi salah satu penari klasik istana.

Saat masih remaja, kegiatan Kanjeng Suryo cukup padat. Dia berlatih hoki pada sore hari, setelah itu masih harus belajar menari di keraton.

“Itu berat, tapi harus. Guru yang megang saya ada lima orang, termasuk ayahnya sendiri. Sampai stres, tidak pernah merdeka. Di rumah dan di tempat latihan selalu dilatih,” Kata dia melanjutkan.

Saat menari, Kanjeng Suryo sering berperan sebagai Arjuna, Olehnya itu dia membeli wayang Arjuna, untuk mempelajari dan menjiwai perannya. Selain harus memahami karakter tokoh, dia juga belajar mendengarkan kandha–narasi yang dilantunkan saat pertunjukan.

Kandha menggambarkan situasi pada masa itu. Secara otomatis kejiwaan akan keluar. Tanpa itu, (jiwa penari) kosong dan penonton akan tahu.”

Penerbang TNI Angkatan Darat

Setelah dewasa dan bergabung menjadi anggota TNI AD, Kanjeng Suryo sempat ditugaskan ke berbagai wilayah di Indonesia, bahkan hingga ke luar negeri. Dia bertugas sebagai penerbang angkatan darat selama 21 tahun.

Setelah purnatugas dengan pangkat kolonel, pada tahun 2000, Kanjeng Suryo masih dikaryakan sebagai Ka Mawil Hansip DIY. Pada saat itulah beliau diminta kembali ke keraton menjadi abdi dalem.

Berbekal pengalaman kemiliteran dan kepala dinginnya, Kanjeng Suryo sukses mengamankan event-event besar di Keraton Yogyakarta, termasuk pelantikan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY serta Pawiwahan Ageng Putri-putri Dalem.

Strategi pengamanan yang diterapkannya adalah tanpa terlihat menyolok. Dia memilih pendekatan efisien, tanpa banyak rapat, dan taktik halus agar tidak menimbulkan ketidaknyamanan pada pihak-pihak yang diamankan, termasuk tamu-tamu agung, seperti presiden atau duta negara lain.

“Pengamanan keraton seharusnya seperti itu, tidak kelihatan, tapi aman,” jelasnya.

Sepanjang karier kemiliterannya, Kanjeng Suryo pernah menjabat Kasi Operasi Korem Makutoromo Salatiga, lalu menjadi Dandim Sleman, Yogyakarta, dan selanjutnya Wakil Asisten Perencana di Kodam IV, Diponegoro, Semarang.

Cerita Pimpinan Penjaga Keraton Yogyakarta (3)Salah satu bangunan yang ada di area Keraton Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Mantan Ketua Taekwondo Jawa Tengah Jakarta ini juga pernah dipercaya untuk mengelola koperasi di Kodam Semarang. Saat itu dia mengetuai pembangunan rumah bagi 200 orang anggotanya. Tapi, untuk dirinya pribadi, Kanjeng Suryo memilih untuk tidak mendapatkannya.

”Saya tidak mau dituduh (korupsi) karena ketua koperasi,” ujarnya.

Setelah itu jabatan demi jabatan di Yogyakarta dan Jawa Tengah beliau emban hingga terakhir menjabat sebagai Kadit Sospol DIY. Kadit Sospol adalah jabatan yang harus diemban oleh lulusan Sesko (Sekolah Staff Komando AD) yang waktu itu masih sangat sedikit.

“Karena saya putra daerah, orang keraton, dan Sri Paduka (Pakualaman VIII, Gubernur DIY saat itu) sudah sepuh (lanjut usia). Saya harus selalu mendampingi beliau.”

“Panglima dulu bilang, kalau kita diminta oleh masyarakat, kasih yang terbaik,” ucap dia lagi. Prinsip itu dipegangnya sampai sekarang.

Kanjeng Suryo juga mengaku sangat menikmati kehidupannya sebagai tentara, meski hal itu tidak memberinya kekayaan berlebih. Bahkan dia berpendapat bahwa menjadi tentara yang kaya raya itu saru atau “memalukan”.

“Jadi tentara kaya raya itu saru. Wong gajinya kurang, kok kaya. Pandawa lima hanya kalung aja aksesorinya. Biar sederhana tapi kesatria. Tentara itu keras, tapi hatinya baik.”

Bagi Kanjeng Suryo, struktur organisasi di keraton memiliki kemiripan dengan kemiliteran, misalnya aturan kepangkatan dan beberapa lainnya. Sehingga dalam memimpin Puraraksa, Kanjeng Suryo juga menerapkan nilai-nilai kemiliteran, seperti kedisiplinan dan konsentrasi pada satu komando.

Meski demikian, dia mengembangkan sikap fleksibel dan terbuka pada perubahan. Kanjeng Suryo memimpin sekitar 400 tenaga keamanan di bawah Tepas Security Puraraksa.

“Berkarya bisa di mana saja. Saya berusaha untuk tidak (tampil) sebagai militer di sini, tapi kadang timbul juga militernya,” ujarnya sambil tertawa.

Bagi peraih penghargaan Bintang kehormatan Kartika Eka Paksi Nararya ini, berkarya di keraton merupakan panggilan hati, “Kalau saya masih bisa bermanfaat untuk keraton, mengapa tidak?”.

Kanjeng Suryo menikah dengan Tuti Asfriani, putri KSAD pada masa itu. Mereka memiliki satu putri dan tiga putra yang semuanya menekuni olahraga selain bidang profesional yang mereka geluti.

“Saya tidak pernah mengikat anak-anak saya, yang penting bisa berinteraksi dengan baik dengan lingkungan,” ujarnya menambahkan.

Dia juga mengaku masih ingat dan menghayati pesan almarhum mertuanya, yang menyatakan kesuksesan ada di tangan kita masing-masing.

“Sekolah secara formal itu bekal, tapi yang mensukseskan kamu itu ya kamu sendiri,” ujarnya mengutip petuah ayah mertua.

Untuk keraton, Kanjeng Suryo memiliki harapan besar. Dia ingin keraton lestari, paling tidak seperti yang sekarang. Syukur lebih baik lagi. []

Berita terkait
Nama 10 Pasukan Keraton Yogyakarta dan Filosofinya
Keraton Yogyakarta memiliki 10 pasukan atau bregodo, dua di antaranya berasal dari Sulawesi. Masing-masing mempunyai makna filosofis tersendiri.
Artis Dangdut Yogyakarta Luncurkan Single saat Butik Sepi
Ratih Puspita, seorang penyanyi dangdut personel band Hasoe Angels yang popular di Yogyakarta meluncurkan single kedua berjudul Ora Iso Garing.
Sejarah Peperangan Kerajaan Cikal Bakal Banyuwangi
Sejarawan Banyuwangi menjelaskan cikal bakal Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, sejak zaman Kerajaan Blambangan, termasuk peperangan yang terjadi
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.