Eks Pentolan GAM: Referendum Bukan Perjuangan GAM

Mantan panglima GAM wilayah Linge, Fauzan Azima menilai wacana referendum bukanlah langkah perjuangan mantan GAM
Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Aceh Rayeuk (Aceh Besar), Saifuddin Yahya. (Foto: Dok Pribadi/Tagar/Fahzian Aldevan)

Banda Aceh - Pernyataan eks Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf alias Mualem, yang menginginkan Aceh menggelar referendum memantik sikap pro dan kontra di banyak kalangan di provinsi berjuluk Serambi Mekah itu.

Mantan panglima GAM wilayah Linge, Fauzan Azima menilai wacana referendum yang digulirkan Ketua Umum Partai Aceh Muzakir Manaf bukanlah langkah perjuangan mantan GAM ke depan. Sebab bagi Fauzan, lebih penting perlindungan nyawa setiap pribadi rakyat Aceh.

"Sejarah Aceh adalah sejarah yang berdarah-darah. Kita baru saja menempel luka dengan perdamaian di Helsinki, Finlandia. Karenanya, dengan alasan apapun mantan GAM jangan lagi menorehkan luka baru," kata Fauzan dalam keterangannya diterima Tagar, Rabu 29 Mei 2019 malam.

Menurutnya, perdamaian RI dan GAM bukanlah akhir dari tanggung jawab sosial dan sejarah para mantan GAM terhadap tanah dan rakyat Aceh. Tanggung jawab tersebut masih harus diwujudkan, paling kurang adalah pemenuhan secara sempurna butir-butir MoU Helsinki pada tahun 2005.

"Tentu saja, kita tidak berharap sejarah kelak akan mencatat bahwa GAM adalah institusi yang menjadikan rakyat Aceh sebagai tumbal dalam mewujudkan ambisi kelompok dan golongan melalui wacana referendum," ujarnya.

Bumi Aceh sudah cukup menampung tetesan darah, air mata dan jasad korban nyawa sebagai sejarah kelam.

"Tugas dan tanggung jawab mantan GAM untuk merubah sejarah Aceh ke depan sebagai daerah yang aman, damai dan tanpa kekerasan," ucapnya.

Sementara itu, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Aceh Rayeuk (Aceh Besar) Saifuddin Yahya menilai, referendum harus dilihat sebagai sikap politik di Aceh.

"Jadi, pernyataan tersebut jauh dari tendensi hasil politik Pilpres 2019," kata Saifuddin Yahya, Rabu malam.

Menurut Saifuddin, keterlibatan pihaknya pada Pilpres 2019 murni sebagai bentuk perjuangan politik Aceh di mana pasca perjanjian Helsinki masuk ranah politik.

"Terutama memastikan beberapa isu yang belum terlaksana pada perjanjian Helsinki dan UUPA. Jadi, atas nama ketua KPA/PA Aceh Rayeuk dan seluruh jajaran sangat mendukung pernyataan politik Mualem tersebut," ujarnya.

Saifuddin yang akrab disapa Pak Cek berharap kepada rakyat Aceh agar membangun diskursus yang sehat atas pernyataan Mualem tersebut dan saling menghargai jikapun nantinya tidak sepakat.

Akan tetapi bagi yang sepakat, untuk mempersiapkan langkah dan agenda politik menunju terselenggaranya referendum tersebut.

"Kita perlu melakukan konsolidasi politik secara internal Aceh, melakukan kampanye politik, melakukan lobi-lobi internasional dan bahkan dukungan seluruh rakyat Indonesia supaya agenda ini bisa terlaksana," katanya.

Caleg terpilih DPRA periode 2019-2024 ini kembali meyakini bahwa gerakan ini akan mendapatkan dukungan penuh dari seluruh rakyat Indonesia karena ini murni perjuangan politik, jauh dari kekerasan dan demokratis.

"GAM yang bertransformasi dalam gerakan politik menjadikan Partai Aceh sebagai saluran politik baru dalam memperjuangkan kepentingan politik Aceh, mengokohkan kembali harga diri, harkat dan martabat, identitas, kedaulatan, keadilan dan kesejahteraan rakyat Aceh," pungkasnya.[]


Berita terkait