Jakarta - Pengamat Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan gasifikasi dimethyl ether (DME) yang sudah diuji coba sejak 2017 sebagai alternatif pengganti Liquified Petroleum Gas (LPG), semestinya sudah bisa diterapkan pada 2021.
Permasalahannya, kata dia pemerintah belum bisa mengkalkulasi berapa harga yang harus di keluarkan masyarakat untuk bisa menggunakan DME.
"Hanya saja pemerintah belum memastikan harga keekonomiannya, karena masih melihat beberapa hal seperti misalnya bahan baku," kata Yusuf kepada Tagar, Selasa, 28 Juli 2020.
Baca juga: Ganti LPG dengan DME, Pengamat: Jangan Cuma Wacana
Untuk menentukan harga DME, menurut dia pemerintah harus dapat menghitung berapa banyak batu bara yang dibutuhkan untuk membuat DME. Karena, meski Indonesia merupakan salah satu produsen batubara terbesar di dunia kebutuhan batubara dalam negeri sangat besar.
Salah satunya untuk menyuplai pembangkit listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sementara dari segi ekspor, batu bara masih menjadi salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia.
"Inilah yang kemudian perlu dipertimbangkan kemudian sebelum penentuan harga keekonomian dari DME ini sendiri," ucapnya.
Baca juga: Indonesia Cari Investor Rare Earth, Selain China Ada?
Ia memperkirakan DME akan diproduksi dalam dua ukuran sebagaimana LPG, untuk menjangkau berbagai kalangan masyarakat. Jika semua sudah di tahap akhir kalkulasi, kata Yusuf bukan tidak mungkin harga DME akan lebih kompetitif ketimbang LPG.
Sekarang, menurutnya pemerintah hanya perlu konsentrasi di proses awal saja. "Paling tantangannya di investasi awal saja untuk mengelola batubara menjadi gasifikasi dalam DME," ujar Yusuf.
Pemerintah berencana mengurangi ketergantungan pada impor elpiji dan mempertimbangkan untuk mengembangkan gasifikasi batubara atau DME sebagai energi alternatif pengganti elpiji untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pengembangan DME terutama diarahkan sebagai subtitusi penggunaan LPG yang pada awalnya untuk mensubstitusi minyak tanah.
"Apalagi 75 persen penggunaan LPG di dalam negeri itu berasal dari impor. Kalau kita tergantung impor, dari sisi ketahanan energi akan tidak terlalu baik," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Minereal, Agung Pribadi dalam keterangan tertulis, Kamis, 23 Juli 2020. []