Disebut Lakukan Kejahatan Lingkungan di Dairi, PT DPM Bungkam

Manajemen PT Dairi Prima Mineral enggan berkomentar tuduhan perusahaan tersebut telah melakukan kejahatan lingkungan serius.
Proses pembangunan gudang bahan peledak milik PT DPM yang cukup dekat dengan permukiman warga di Kabupaten Dairi, Sumut. (Foto: Tagar/Ist)

Dairi - Manajemen perusahaan tambang PT Dairi Prima Mineral (DPM) enggan berkomentar jauh, ditanya tanggapannya atas pendapat berbagai pihak yang menyebut bahwa perusahaan tersebut telah melakukan kejahatan lingkungan serius.

Manager External Relation PT DPM Holy Nurrachman melalui Humas CSR DPM Budianto Situmorang hanya menyebut bahwa perusahaan itu bekerja sesuai analisis dampak lingkungan (Andal) di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.

“Saya tidak bisa menjawab hal-hal tersebut. Semuanya dari kantor kami Jakarta. Yang pasti DPM senantiasa bekerja atas izin Andal dan yang sedang berlangsung saat ini di Jakarta,” kata Budianto singkat lewat WhatsApp, Rabu, 9 Desember 2020.

Ditanya lebih lanjut terkait beberapa hal yang diduga dilanggar DPM dalam aktivitasnya sebagaimana disampaikan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Budianto tidak memberikan jawaban.

Sebagaimana diberitakan, Koordinator Studi dan Advokasi Bakumsu, Juniaty Aritonang dalam keterangan pers diterima Tagar, Selasa, 8 Desember 2020 mengatakan, PT DPM telah melakukan kejahatan lingkungan serius.

PT DPM disebut tengah membangun fasilitas gudang bahan peledak berkisar 50 meter dari rumah warga di Dusun Sipat, Desa Longkotan, Kabupaten Dairi, Sumut.

Ironisnya, pembangunan itu dilakukan di tengah perusahaan tersebut masih dalam proses pengajuan addendum (amandemen) Andal untuk dapat melakukan perubahan kegiatan operasi.

Andal adalah salah satu bagian dari dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang merupakan persyaratan pemberian Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan (SKKLH) dan Izin Lingkungan.

UU No 32/2009 dan PP No 27/2012 menegaskan, tanpa adanya Amdal, SKKLH, dan Izin Lingkungan, suatu kegiatan yang berdampak penting bagi lingkungan, seperti penambangan tidak dapat dilaksanakan, dan tidak akan mendapatkan Izin Usaha.

Dalam addendum tersebut, PT DPM mengusulkan melakukan tiga perubahan izin lingkungan, yaitu perubahan lokasi gudang bahan peledak, mengubah lokasi tailing storage facility (TSF), dan penambahan lokasi mulut tambang.

Dari jumlah tersebut, perubahan fasilitas penyimpanan bahan peledak, dan perubahan fasilitas penyimpanan tailing adalah yang paling memprihatinkan.

PT DPM meminta izin untuk lokasi baru. Namun perusahaan itu sudah membangun fasilitas penyimpanan bahan peledak di lokasi baru, dan hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah terdekat di Dusun Sipat, Desa Longkotan.

"PT DPM sudah membangun fasilitas penyimpanan bahan peledak di lokasi baru, di luar kawasan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dan hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah terdekat di Dusun Sipat, Desa Longkotan,” kata Juniaty.

Kami juga sangat khawatir jika suatu saat bahan peledak yang disimpan di gudang meledak, kami yang di sekitar akan terkena dampak

Juniaty kemudian menyebut, dokumen addendum tidak memiliki Analisis Risiko Lingkungan dan Analisis Risiko Bencana.

Dokumen tersebut tidak menjelaskan secara rinci poin-poin penting dalam addendum Andal RKL-RPL Tipe A.

Permen LHK No 23 Tahun 2018 tentang uraian rencana usaha dan atau kegiatan menyatakan harus menjabarkan secara rinci rencana usaha dan atau kegiatan yang disiapkan sesuai dengan pedoman undang-undang.

"Namun jika dilihat dari dokumen addendum Andal tentang TSF tidak dijelaskan secara detail. Tampaknya dokumennya tidak disiapkan dengan matang,” katanya.

Gudang Bahan Peledak PT DPM di DairiPlank gudang bahan peledak milik PT DPM di Kabupaten Dairi, Sumut. (Foto: Tagar/Ist)

Kekhawatiran dengan letak gudang bahan peledak ini disampaikan salah seorang warga Kabupaten Dairi, Mangatur Pardamean Lumbantoruan.

“Kami sangat khawatir dengan letak gudang bahan peledak yang dekat dengan permukiman, dan tanpa pelibatan masyarakat," kata dia.

Harusnya kata Mangatur, ada informasi yang transparan dan lengkap, serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.

"Kami juga sangat khawatir jika suatu saat bahan peledak yang disimpan di gudang meledak, kami yang di sekitar akan terkena dampak dari semua itu,” ungkap Mangatur.

Juniaty mengungkap, dalam dokumen addendum Andal RKL-RPL Tipe A PT DPM disebutkan, akan membangun gudang bahan peledak sejauh 293 meter sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara No. 309.K/30/DJB/2018 yang menyebutkan jarak aman yang diizinkan.

Baca juga: 

Jarak 293 meter itu dari bangunan yang didiami manusia, rumah sakit, dan bangunan lain atau kantor.

Kemudian jarak 244 meter terhadap tangki bahan bakar, bengkel, dan jalan utama, serta 87 meter terhadap rel kereta api, dan jalan umum kecil.

Selain soal gudang bahan peledak warga juga mempersoalkan TSF. Ini merupakan sarana pengolahan limbah untuk dapat menyalurkan batuan sisa halus berupa slurry (tailing).

Melalui addendum, PT DPM berencana memindahkan TSF dari lokasi semula di kawasan hutan lindung 500 meter dari lokasi pabrik pengolahan, ke Bondar Begu, Dusun Sopokomil, berjarak dua kilometer dari lokasi semula.

Bahan yang akan dipompa ke fasilitas tailing yang diusulkan adalah sulfida yang bercampur dengan air, dan oksigen untuk menghasilkan asam.

Jika kondisi asam dibiarkan tetap ada, logam berat dapat larut ke dalam air di fasilitas tailing, sehingga ada kerusakan pada lapisan bendungan atau dinding bendungan runtuh, dan bahan beracun dilepaskan.

Hal ini membuat stabilitas fasilitas bendungan tailing menjadi penting, harus tahan terhadap banjir, dan harus tahan terhadap gempa yang mungkin terjadi.

Disebutkan, dua ahli internasional telah meninjau dokumen addendum Andal PT DPM dan mengatakan bahwa rancangan fasilitas bendungan tailing yang diusulkan jauh di bawah standar internasional, dan standar yang disyaratkan oleh hukum Indonesia.

Dr Steve Emerman, seorang ahli hidrologi dan lingkungan untuk tambang telah mengkaji addendum Andal PT DPM.

Kegagalan fasilitas tailing secara virtual dapat dipastikan, terutama karena fasilitas yang diusulkan terletak di salah satu zona risiko gempa bumi tertinggi di dunia

Dalam kajiannya dikatakan, fasilitas bendungan tailing belum dirancang untuk kemungkinan banjir atau curah hujan terbesar.

Muhammad Jamil dari Jatam Nasional ikut mempertanyakan soal tambang yang ilegal di China, justru diizinkan untuk dibangun perusahaan China di Indonesia.

“Kami meminta pemerintah Indonesia untuk tidak memberikan izin terhadap tambang DPM serta menolak untuk menyetujui addendum Andal,” tukas dia.

Berkenaan dengan gempa bumi, dan fasilitas penyimpanan tailing, pakar internasional, Dr Richard Meehan mengatakan, normalnya perusahaan pertambangan akan meninjau rencana mereka, dan disertifikasi oleh perusahaan teknik sipil internasional yang memiliki reputasi baik.

Kemudian data tersebut harus tersedia untuk umum, sehingga orang lain dapat meninjau, dan memeriksa keamanan fasilitas bendungan tailing yang diusulkan.[Robert Panggabean]

Berita terkait
Kasus Covid di Dairi Meningkat, 16 Terkonfirmasi Positif
Penyebaran Covid-19 di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, menunjukkan grafik peningkatan drastis di awal Desember 2020.
Kasus Dugaan Korupsi Dana Desa Dua Kades di Polres Dairi
Diduga melakukan korupsi Dana Desa 2018, dua kepala desa di Kabupaten Dairi dilaporkan ke kepolisian setempat.
Seorang Pejabat Pemkab Dairi Wafat Karena Covid-19
Seorang pejabat Pemkab Dairi, Sumatera Utara meninggal dunia di RS Siloam Medan. Almarhum terkonfirmasi positif Covid.
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)