Din Minimi, Pemberontak di Aceh Kembali Cinta NKRI

Predikat Minimi resmi Nurdin sandang sejak tahun 2002, ketika dirinya mulai aktif bertempur untuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Nurdin Ismail alias Din Minimi (tengah). (Foto: Tagar/Istimewa)

Aceh Barat – Kalau saja agak sedikit lebih panjang dan melengkung ke bawah, kumis lelaki ini tentu mirip dengan punyanya Danny Trejo, aktor juga pengisi suara kenamaan asal Spanyol yang paling orang kenal dengan karakter Machete. Orang menyebut kumis jenis ini dengan tapal kuda, identik dengan para lelaki berjiwa pemberontak, seperti pria asal Aceh satu ini.

Nama panjangnya adalah Nurdin Ismail, lahir 10 Agustus 1979, di Gampong Ladang Baro, Kecamatan Julok, Aceh Timur. Tanggal kelahirannya tidak berjauhan dengan tanggal penandatanganan nota damai antara Pemerintah RI-Gerakan Aceh Merdeka (GAM), 15 Agustus, dan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus.

Namanya pernah lalu lalang di media beberapa tahun silam, antara 2013-2015. Saat itu, Nurdin bersama kawanannya menyatakan berontak terhadap kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf yang merupakan gubernur dan wakil gubernur Aceh periode 2012-2017.

Aparat mengecapnya sebagai buronan bukan karena tindakan subversi, melainkan karena ia dan kelompoknya cenderung mencoang-coang di media massa akibat tudingan telah melakukan sejumlah aksi kriminal bersenjata. Operasi perburuan terhadap Nurdin mulai getol aparat lakukan pasca pembunuhan yang menimpa dua anggota TNI AD menyeret namanya.

Kematian dua personel intelijen dari komando distrik militer (kodim) itu terjadi di Nisam Antara, salah satu kecamatan pemekaran di Aceh Utara. Sebelum terbunuh, Serda Indra Irawan dan Sertu Hendrianto mendapat tugas untuk menyelidiki keberadaan Nurdin.

Dua anak buahnya, Faisal Rani alias Komeng dan Amiruddin alias Si Pong mengaku jika eksekutor utama dari pembunuhan tersebut tidak lain ialah Nurdin sendiri. Polisi menangkap Komeng dan Si Pong hingga keduanya mendekam di dalam penjara LP Lhoksukon terkait kasus pembunuhan tersebut.

Pada saat itu, media memunculkan sosok Nurdin dengan sebutan Din Minimi. Penambahan nama senjata yang dalam bahasa Prancis berarti Mini-mitraileuse atau senapan mesin mini, pabrikan Fabric Nationale de Herstal, Belgia, di belakang namanya, berkaitan erat dengan ayahnya, Ismail, yang juga menyandang julukan sama, yakni, Abu Minimi.

Terdapat dua versi mengenai penabalan kata Minimi di belakang nama Ismail. Ada yang mengatakan bahwa seorang tentara pernah merenteninya dengan senjata tersebut namun tidak mempan. Menurut Nurdin sendiri, panggilan Abu Minimi ayahnya dapat karena dirinya memang memiliki senjata mesin ringan tersebut.

Din Minimi AcehNurdin Ismail alias Din Minimi berfoto bersama dengan Kepala BIN, Sutiyoso. (Foto: Tagar/Istimewa)

Awalnya merupakan milik seorang tentara, senjata tersebut menemani Ismail selama bergerilya di kawasan Pasee, Panton, hingga Peureulak. Lalu, Ismail pun terjaring dalam sebuah operasi pada tahun-tahun sebelum Soeharto turun takhta.

Kelak, Nurdin mengaku tidak pernah tahu di bagian bumi mana ayahnya terkubur hingga julukan Minimi perlahan mulai menjadi identitasnya. Tujuannya, untuk mengenang perjuangan sang ayah.

Nurdin mulai mengenal senjata api sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) karena dirinya memang besar di lingkungan seperti itu. Rumah Ismail di Geureudong Pase sendiri menjadi tempat rapat perjuangan GAM juga tempat mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia lainnya, di mana Nurdin masih berumur 12 tahun kala itu.

Kalau seberapa cinta saya kepada NKRI, NKRI adalah hidup atau mati (saya).

Predikat Minimi resmi Nurdin sandang sejak tahun 2002, ketika dirinya mulai aktif bertempur untuk GAM. Senjata yang dia gunakan selama menjadi bagian dari partisan salah satunya ialah FN Minimi peninggalan ayahnya.

Dia pernah berada di balik terali besi pada 2003 atau setahun lebih menjelang bencana gempa dan semong terjadi di Aceh setelah tentara menangkapnya. Ia mendekam selama satu tahun di dalam penjara Langsa pada masa itu.

Karena Kecewa

Kecewa. Itulah alasan Din Minimi mengapa dirinya berlepas diri dan berontak terhadap kepemimpinan Zaini-Muzakir. Dia menilai kedua orang yang pernah memiliki jabatan atau posisi teras dalam struktur elite GAM tersebut telah lupa apa tujuan dan maksud dari perjuangan dulu.

Rezim yang berkuasa di Aceh saat itu menurutnya hanya leyeh-leyeh serta menikmati segala fasilitas di atas singgasana, sementara, hak-hak anak yatim, inong balee (janda) korban konflik serta mantan dan keluarga kombatan belum tersentuh sama sekali. Din Minimi pun berang alang kepalang, padahal, ia sendiri masuk dalam tim kampanye partai lokal yang mengusung Zaini-Muzakir.

Bersama seratusan lebih anak buahnya Din Minimi memutuskan naik ke gunung. Istilah naik gunung atau ek gunong dalam bahasa Aceh, merujuk tindakan kelompok separatis yang bertahan hidup serta bergerilya di dalam hutan belantara.

Oktober 2014, Din Minimi mendeklarasikan keberadaan ia dan kelompoknya dengan bantuan salah satu media lokal, namun, fotonya saat itu tidak sedang memangku FN Minimi melainkan senapan serbu Avtomat Kalashnikova 1947 (AK-47). Sejak itu, Din Minimi cum suis (cs) mulai jadi sorotan.

Din Minimi AcehNurdin Ismail alias Din Minimi mengenakan kaus berlogo Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) yang merupakan nama organisasi GAM untuk kancah internasional. (Foto: Tagar/Istimewa)

Terlibat Sejumlah Kasus

Nama Din Minimi cs terdata di desk kepolisian sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang bertanggung jawab atas sejumlah kasus kriminal. Penelusuran Tagar, ada belasan laporan mengenai tindak kejahatan yang pelakunya polisi tuduhkan kepada Din Mimini cs.

Di pihak lain, ada yang menganggap Din Minimi bramacorah alias Robin Hood yang membagi-bagikan sebagian hasil rampokan kepada masyarakat miskin. Demikian yang Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) tulis dalam laporan mereka berjudul The Strange Story of an Armed Group in Aceh, Indonesia.

Yang penting Indonesia ini harus kokoh. Supaya bersatu kembali harus ada kesatuan kompak, undang-undang, Pancasila, itu jangan diubah.

Rumor lain menyebutkan bahwa semua hasil rampokan yang Din Minimi dapat selama ini ia pakai hanya untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja. Apa pun kisahnya, polisi tetap mengecapnya sebagai dedengkot KKB.

Turun Gunung

Desember 2015, Din Minimi cs mengakhiri petualangannya setelah terjadi proses negosiasi. Orang yang berhasil membujuknya untuk turun dari gunung waktu itu ialah Kepala BIN, Sutiyoso.

Negosiator asal Finlandia juga Ketua Aceh Monitoring Mission (AMM), Juha Cristensen, yang telah menjembatani pertemuannya dengan mantan Gubernur Jakarta tersebut. Namun, sebagai syarat agar ia dan para pengikutnya menyerahkan diri, Din Minimi melempar beberapa tuntutan.

Yaitu, melanjutkan proses reintegrasi dan kesepakatan damai MoU Helsinki, menjamin kesejahteraan inong balee dan anak yatim korban konflik, termasuk mantan GAM beserta keluarga mereka. Selain itu, ia minta KPK menyelidiki dugaan penyelewengan anggaran oleh pemda, membentuk pemantau independen dalam Pilkada Aceh 2017, serta memberi amnesti alias pengampunan hukuman kepada ia dan orang-orangnya.

Di awal-awal, terhitung 120 orang termasuk Din Minimi yang menyerah, belakangan, totalnya mencapai 140 orang. Selain menyerahkan 15 pucuk senjata api, saat itu, Din Minimi dan kelompoknya turut menyerahkan sekarung penuh amunisi.

Juli 2016, 70 orang pengikut Din Minimi mendapat pengampunan. Sebelumnya, ada 49 orang yang sudah membaur kembali ke dalam masyarakat, sementara 21 orang sisanya masih mendekam di dalam penjara.

Din Minimi AcehDin Minimi berfoto dengan Kapoksahli Pangdam IM Brigjen TNI Bambang Indrayanto. (Foto: Tagar/Istimewa)

Nasionalis Sejati

Kini, Din Minimi hidup laiknya orang biasa di kampung halamannya, Ladang Baro. Ia di sana bersama seorang istri bernama Linawati, serta tiga orang anak mereka, Maulana, Mahdalena, dan Amiranda, masing-masing berumur 19, 16, dan 8 tahun.

Tagar menghubungi Din Minimi beberapa waktu lalu. Menariknya, lelaki yang mengaku menyukai semua hal yang berbau olahraga ini punya catatan sendiri dalam memperingati HUT ke-75 RI ini.

"Yang penting Indonesia ini harus kokoh. Supaya bersatu kembali harus ada kesatuan kompak, undang-undang, Pancasila, itu jangan diubah itulah tujuan untuk kekompakan," ujarnya.

Ketika Tagar menanyakan pendapatnya tentang kemunculan fenomena eksklusi kelompok belakangan ini, ia kembali menekankan betapa pentingnya menjaga amanah Pancasila sebagai pilar ideologis. Terutama, sila ketiga atau Persatuan Indonesia.

Dia pun setuju jika menyambut hari kemerdekaan tidak semata mengibarkan Sang Saka Merah Putih tiap 17 Agustus. Tetapi, ianya harus terpacak di dalam hati dengan cara memedomani Pancasila di dalam kehidupan sehari-sehari sebagai praktiknya.

"Kalau bagi saya, itu sudah sangat benar," ujar dia.

Dia mengklaim bahwa ia sebenarnya tidak pernah berniat untuk bermusuhan dengan TNI/Polri atau memberontak terhadap NKRI. Yang dia lawan waktu itu adalah elite pemerintah daerah.

"Kalau seberapa cinta saya kepada NKRI, NKRI adalah hidup atau mati (saya)," katanya. []

Baca juga: 

Berita terkait
Kata Mualem Soal MoU Helsinki di 15 Tahun Damai Aceh
Eks Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf (mualem) meminta pemerintah pusat segera merealisasi butir-butir perjanjian MoU Helsinki.
15 Tahun Damai Aceh Ricuh, Massa Kejar Wali Nanggroe
Peringatan 15 tahun damai Aceh berakhir ricuh, Sekelompok massa tampak mengejar Wali Nanggroe Aceh, Malek Mahmud.
Tour Moge 15 Tahun Damai Aceh Disorot
Perdamaian Aceh merupakan harapan besar masyarakat untuk dapat merasakan hidup lebih aman, damai dan sejahtera.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.